Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Awas, Mahkamah Agung Salah Putus Kasus "WA"

Vonis Baiq Nuril Cederai Rasa Keadilan

Sabtu, 24 November 2018, 09:03 WIB
Awas, Mahkamah Agung Salah Putus Kasus "WA"
Foto/Net
rmol news logo Kasus Baiq Nuril, belum selesai, Muncul lagi perempuan korban kekerasan seksual yang malah dikriminalisasi.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Kasus WA, anak perempuan yang diadili karena menggu­gurkan kandungan hasil perko­saan oleh kakak kandungnya di Jambi, saat ini sedang memasuki tahap pemeriksaan di tingkat kasasi.

Penegak hukum, khususnya para hakim, hendaknya memper­timbangan aspek perlindungan bagi perempuan korban kek­erasan seksual.

Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Genoveva Alicia meminta Mahkamah Agung (MA) memeriksa perkara WA dengan hati-hati.

"Jangan lagi melakukan kesalahan yang sama dengan menjatuhkan putusan pidana terhadap korban tindak pidana, yang sebelumnya diputus bebas di Pengadilan Tinggi Jambi," katanya.

Pada 19 Juli 2018 lalu, hakim pada Pengadilan Negeri Muara Bulian memutus perkara WA. WA divonis 6 bulan penjara karena melakukan penggugu­ran kehamilan hasil perkosaan. Ironisnya, pelakunya adalah kakak kandung korban yang juga masih berusia anak dipidana 2 tahun penjara.

Kemudian, 27 Agustus 2018, Pengadilan Tinggi Jambi memu­tus lepas anak korban perkosaan dan melepaskannya dari segala tuntutan dengan pertimbangan adanya daya paksa ketika WA melakukan perbuatannya. Jaksa kemudian mengajukan kasasi kepada MA atas putusan bebas ini

"MA harus memahami, dalam kerangka perlindungan korban kekerasan seksual, terdapat prin­sip-prinsip yang memang tidak dapat diabaikan. Bahwa korban dalam keadaan apapun harus diberikan perlindungan yang maksimal," kata Genoveva.

MA terikat dengan Perma no. 3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum. "Harus dipahami, pemidanaan terhadap WA sama sekali bukan­lah hal yang tepat. Mengingat posisi WA sebagai korban perko­saan yang seharusnya direha­bilitasi. Bukan justru dipidana," jelasnya.

MA juga harus membuktikan integritas lembaganya sebagai lembaga peradilan yang berke­wajiban menegakkan hukum. Di samping juga berkewajiban memberikan keadilan kepada seluruh pihak. Termasuk kepada korban.

Selama ini, ICJR melihat ada kecenderungan Mahkamah Agung untuk melampaui ke­wenangannya sebagai 'judex juris'. Atau mengadili pen­erapan hukum dalam memeriksa perkara di tingkat kasasi. Hal ini terlihat juga dalam kasus Baiq Nuril.

"MA harus dapat melihat kedudukan WA sebagai kor­ban dalam kasus. Sehingga dalam penerapan hukumnya, memang harus dilakukan tero­bosan. Sebagaimana dilakukan oleh hakim di tingkat band­ing, yang mempertimbangkan, bahwa WA melakukan peng­guguran atas adanya daya paksa yang melingkupinya. Sehingga WA dinyatakan bebas," tandas Genoveva.

Sebelumnya, Ketua Komnas Perempuan, Azriana menyebut­kan, salah satu hambatan akses keadilan perempuan korban kekerasan seksual adalah sistem hukum yang tidak mengenali para korban. Untuk itu, Komnas Perempuan dengan jaringannya terus mendorong supaya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual segera dibahas dan disahkan.

"RUU ini mencoba mengatur secara komprehensif perlindun­gan yang harus diberikan kepada warga negara korban kekerasan seksual. Bukan hanya perem­puan. Tapi semua jenis kelamin yang berpotensi mendapatkan kekerasan seksual," katanya.

Azriana mengingatkan, jika tidak ada aturan yang mengatur tentang pelecehan seksual, tindak pidana tersebut akan mengacu lagi kepada KUHP. "Sekarang di KUHP cuma ada satu pasal yang paling mungkin digunakan un­tuk itu. Yaitu pasal pencabulan. Tapi faktanya, selama ini tidak mudah," imbuhnya. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA