Kasus WA, anak perempuan yang diadili karena mengguÂgurkan kandungan hasil perkoÂsaan oleh kakak kandungnya di Jambi, saat ini sedang memasuki tahap pemeriksaan di tingkat kasasi.
Penegak hukum, khususnya para hakim, hendaknya memperÂtimbangan aspek perlindungan bagi perempuan korban kekÂerasan seksual.
Peneliti
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Genoveva Alicia meminta Mahkamah Agung (MA) memeriksa perkara WA dengan hati-hati.
"Jangan lagi melakukan kesalahan yang sama dengan menjatuhkan putusan pidana terhadap korban tindak pidana, yang sebelumnya diputus bebas di Pengadilan Tinggi Jambi," katanya.
Pada 19 Juli 2018 lalu, hakim pada Pengadilan Negeri Muara Bulian memutus perkara WA. WA divonis 6 bulan penjara karena melakukan pengguguÂran kehamilan hasil perkosaan. Ironisnya, pelakunya adalah kakak kandung korban yang juga masih berusia anak dipidana 2 tahun penjara.
Kemudian, 27 Agustus 2018, Pengadilan Tinggi Jambi memuÂtus lepas anak korban perkosaan dan melepaskannya dari segala tuntutan dengan pertimbangan adanya daya paksa ketika WA melakukan perbuatannya. Jaksa kemudian mengajukan kasasi kepada MA atas putusan bebas ini
"MA harus memahami, dalam kerangka perlindungan korban kekerasan seksual, terdapat prinÂsip-prinsip yang memang tidak dapat diabaikan. Bahwa korban dalam keadaan apapun harus diberikan perlindungan yang maksimal," kata Genoveva.
MA terikat dengan Perma no. 3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum. "Harus dipahami, pemidanaan terhadap WA sama sekali bukanÂlah hal yang tepat. Mengingat posisi WA sebagai korban perkoÂsaan yang seharusnya direhaÂbilitasi. Bukan justru dipidana," jelasnya.
MA juga harus membuktikan integritas lembaganya sebagai lembaga peradilan yang berkeÂwajiban menegakkan hukum. Di samping juga berkewajiban memberikan keadilan kepada seluruh pihak. Termasuk kepada korban.
Selama ini, ICJR melihat ada kecenderungan Mahkamah Agung untuk melampaui keÂwenangannya sebagai 'judex juris'. Atau mengadili penÂerapan hukum dalam memeriksa perkara di tingkat kasasi. Hal ini terlihat juga dalam kasus Baiq Nuril.
"MA harus dapat melihat kedudukan WA sebagai korÂban dalam kasus. Sehingga dalam penerapan hukumnya, memang harus dilakukan teroÂbosan. Sebagaimana dilakukan oleh hakim di tingkat bandÂing, yang mempertimbangkan, bahwa WA melakukan pengÂguguran atas adanya daya paksa yang melingkupinya. Sehingga WA dinyatakan bebas," tandas Genoveva.
Sebelumnya, Ketua Komnas Perempuan, Azriana menyebutÂkan, salah satu hambatan akses keadilan perempuan korban kekerasan seksual adalah sistem hukum yang tidak mengenali para korban. Untuk itu, Komnas Perempuan dengan jaringannya terus mendorong supaya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual segera dibahas dan disahkan.
"RUU ini mencoba mengatur secara komprehensif perlindunÂgan yang harus diberikan kepada warga negara korban kekerasan seksual. Bukan hanya peremÂpuan. Tapi semua jenis kelamin yang berpotensi mendapatkan kekerasan seksual," katanya.
Azriana mengingatkan, jika tidak ada aturan yang mengatur tentang pelecehan seksual, tindak pidana tersebut akan mengacu lagi kepada KUHP. "Sekarang di KUHP cuma ada satu pasal yang paling mungkin digunakan unÂtuk itu. Yaitu pasal pencabulan. Tapi faktanya, selama ini tidak mudah," imbuhnya. ***
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.