Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Politik Pintu Terbuka, Koeli-sasi Zaman Old Dan Kolonisasi Zaman Now

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/haris-rusly-moti-5'>HARIS RUSLY MOTI</a>
OLEH: HARIS RUSLY MOTI
  • Senin, 19 November 2018, 22:06 WIB
Politik Pintu Terbuka, Koeli-sasi Zaman Old Dan Kolonisasi Zaman Now
REVISI paket kebijakan ke-16 itu telah diumumkan. Paket itu berisi liberalisasi ekonomi, keterbukaan dan kemudahan investasi asing. Paket kebijakan itu dapat dikatakan sebagai sebuah bentuk "kolonisasi" dan "koeli-sasi" zaman now.

Di antara paket kebijakan itu adalah mengizinkan puluhan bidang usaha untuk dapat dikuasai 100 persen oleh modal asing. Bahkan, bidang usaha yang menghidupkan UKM dan koperasi pun diizinkan untuk dikuasai 100 persen oleh modal asing. Negeri ini nyaris tidak ada lagi tirai atau "barrier" yang memproteksi kepentingan nasional bangsa kita.

Jika kita cermati, watak dari paket kebijakan seperti itu sebetulnya tidak jauh berbeda dengan "opendeur politiek" politik pintu terbuka, yaitu terbuka untuk modal asing, yang pernah terapkan oleh kompeni Belanda di negeri kita.

Air Bah Revolusi Perancis

Perancis 1789-1799, di tahun-tahun itu revolusi sosial meluap bagaikan air bah. Revolusi itu dibangun di atas persekutuan kaum pemodal yang sedang mekar dengan rakyat jelata. Air bah revolusi itu berhasil meruntuhkan tatanan monarki absolut yang bersekutu dengan kaum agamawan korup.
Raja Louis XIV dan permaisurinya Marie Antoinette dipenggal kepalanya dengan guillotine. Louis adalah seorang raja diktator dan korup. Raja ini sangat terkenal dengan ucapannya "La etat c’est moi" (negara adalah saya). Konon kidaktatoran Louis itu terinspirasi oleh buku "Il Principe" (Sang Pengeran). Buku itu ditulis oleh Niccolo Machiavelli.

Liberte (kebebasan), egalite (persamaan) dan fraternite (persaudaraan) adalah semboyan yang menggerakan revolusi itu. Bagaikan "air bah" gagasan revolusi itu menginspirasi dan meluap di Eropa. Kaum liberal di sejumlah negara di Eropa itu bangkit. Mereka mendapatkan limpahan politik dari revolusi Perancis tersebut, tidak terkecuali Belanda.

Di mulai pada tahun 1850, kaum liberal berhasil mengirimkan wakilnya di parlemen di sejumlah negara di Eropa. Di negeri Belanda kaum liberal juga berhasil menguasai parlemen. Mereka bertarung dengan wakilnya kaum konservatif, yang berpihak pada kepentingan monarki.

Di Perancis, kaum liberal itu berhasil menunggangi rakyat jelata untuk meruntuhkan monarki. Mereka kemudian menciptakan kebebasan dan kesetaraan di bidang politik dan hukum. Tidak boleh lagi ada privilege untuk kaum bangsawan dan agamawan. Semua orang mempunyai kesamaan hak politik, dan setara di depan hukum.

Mereka juga menghendaki liberalisasi dan persamaan hak di dalam bidang ekonomi, khususnya dalam berusaha. Katanya, pemerintah tidak diperkenankan mencampuri urusan perekonomian negaranya, cukup jadi wasit saja. Termasuk urusan di tanah jajahan, mereka tidak menghendaki eksploitasi dimonopoli oleh pihak kerajaan.

Air bah revolusi Perancis itu juga meruntuhkan penjajahan "gaya old" yang bertendensikan 3G (Gold, Glory dan Gospel). Tendensi seperti itu katanya hanya menguntungkan kaum bangsawan dan agamawan semata. Di dalam sidang Staten Generaal (parlemen Belanda), wakil dari kaum liberal itu berhasil memenangkan sejumlah pasal politik untuk tanah jajahan.

Di antaranya revisi terhadap sejumlah pasal politik tentang tanah jajahan di buat oleh Staten Generaal. Pasal politik yang sangat penting itu adalah menghentikan sistem tanam paksa atau "cultuurstelsel", bahasa Inggrisnya "cultivation system". Pada tahun 1870 tanaman paksa resmi diputuskan untuk dihentikan. Meskipun untuk tanaman kopi di luar pulau Jawa masih terus berlangsung hingga 1915.

Sistem tanam paksa, click, itu diterapkan di era Gubernur Jenderal van den Bosch. Pada tahun 1830, Bosch yang konservatif diangkat menggantikan van der Capellen. Melalui tanam paksa diharapkan Kerajaan dapat memperoleh pendapatan sebanyak mungkin dalam waktu sesingkat mungkin.

Sistem tanam paksa ditujukan untuk dapat mengatasi kebangkrutan kerajaan Belanda. Perang Diponegoro, sering disebut "Perang Jawa", De Java Oorlog, merupakan sebuah perang besar yang telah membangkrutkan si tuan kompeni tersebut. Perang tersebut berlangsung di Jawa lima tahun lamanya (1825-1830), katanya menghabiskan biaya kurang lebih 20.000.000 Gulden.

Pasal politik lain yang sangat penting tentang tanah jajahan adalah liberalisasi ekonomi, yang disebut "opendeur politiek", politik pintu terbuka, terbuka untuk modal swasta asing. Keputusan itu diambil oleh Staten Generaal untuk mengakhiri monopoli pihak kerajaan di tanah jajahan. Maksudnya agar para pengusaha Belanda sebagai pendukung Partai Liberal mempunyai kesamaan kesempatan untuk menanamkan modalnya di tanah jajahan.

Opendeur Politiek Zaman Old

"Opendeur politik" atau politik pintu terbuka adalah kebijakan liberalisasi ekonomi untuk membuka pintu bagi modal asing. Tanah jajahan dibuka untuk seluruh pemodal swasta asing. Kebijakan itu menggusur peran pihak Kerajaan yang memonopoli eksploitasi di tanah jajahan. Bung Karno menyebutnya sebagai bentuk imperialisme yang lebih moderen yang pertamakali diterapkan di negeri kita.
Di dalam risalah Mencapai Indonesia Merdeka (1933), Bung Karno menulis: "Sejak adanya openduer-politiek, sejak itu, terutama di dalam tahun 1905, maka modal yang boleh masuk ke Indonesia bukanlah lagi modal Belanda saja, tetapi juga modal Inggris, juga modal Amerika, juga modal Jepang, juga modal Jerman, juga modal Perancis, juga modal Italia, juga modal lain-lain, sehingga imperialisme di Indonesia mulai saat itu adalah imperialisme yang internasional karenanya".

Karena itu opendeur politiek itu ditujukan untuk: Pertama, mengubah tanah jajahan Hindia Belanda sebagai sebagai surga investasi modal asing. Semacam investor haven country (negara surga investasi), persis seperti saat ini dijalankan oleh pemerintah yang sedang berkuasa.

Di samping modal Belanda yang masuk ke negeri kita, juga modal dari Inggris, Amerika, Jepang, Italia, Perancis dan Belgia. Modal-modal asing yang masuk itu ditanam di sejumlah sektor strategis seperti perkebunan dan pertanian (karet, teh, kopi, tembakau, tebu), juga pertambangan (timah dan minyak).

Kedua, mengubah fungsi tanah jajahan sebagai pemasok bahan mentah untuk pabrik-pabrik di Eropa. Ketiga, menempatkan tanah jajahan sebagai pasar penjualan barang-barang produk industri di Eropa. Keempat, mendapatkan tenaga kerja upahan yang super murah.

Untuk memuluskan Opendeur Politiek itu, sejumlah infrastruktur, seperti sistem irigasi dibangun untuk menopang tanaman ekspor. Demikian juga pembangunan sarana transportasi lantas digenjot untuk untuk menopang investasi asing tersebut. Maksud infrastruktur itu dibangun untuk mengangkut hasil bumi seperti kopi, cengkeh, tembakau, teh, gula, karet dan lain-lain.

Sebagai contoh di antaranya keberhasilan Nederlands Indische Stroomtram Maatschappij (NISM), membangun jalan kereta api Semarang-Surakarta (1870) sepanjang 110 kilometer. NISM adalah sebuah perusahaan kereta api swasta milik Belanda. Pada 1878, NISM juga membuka jalur Surabaya-Pasuruan-Malang. Berikutnya 1879 membuka jalur Bangil-Malang. Selanjutnya pada 1894 NISM meresmikan penggunaan jalur kereta Tasikmalaya dan Kesugihan.

Di luar Jawa, pada 1876 Staats Spoorwegen juga membangun jalur Ulele-Kutaraja (Aceh). Selanjutnya lintasan Palu Aer-Padang (Sumatera Barat) pada 1891. Di Sumatera Utara, NV. Deli Spoorweg Mij juga membangun lintasan Labuan-Medan (1886).

Politik pintu terbuka itu telah mendatangkan keuntungan yang sangat besar kepada pemodal swasta Belanda dan pemerintah kolonial Belanda. Hasil produksi perkebunan dan pertambangan mengalir deras memenuhi lumbung dan kas di negeri Belanda. Opendeur politiek selain berhasil mengatasi ancaman kebangkrutan, juga menjadikan negeri Belanda sebagai pusat perdagangan bahan mentah di Eropa.

Di sisi yang berbeda, terjadi kemerosotan ekonomi rakyat. Nasib rakyat sangat malang dan menderita. Opendeur Politiek itu juga menyebabkan terjadinya deindustrialisasi usaha rakyat,  karena kalah bersaing dengan gempuran barang-barang impor dari Eropa. Demikian juga usaha pengangkutan dengan gerobak menjadi merosot penghasilannya setelah adanya angkutan dengan kereta api.

Kemerosotan ekonomi rakyat itu makin diperparah lagi karena adanya krisis perkebunan pada tahun 1885. Ketika itu, harga kopi dan gula jatuh, persis seperti jatuhnya harga minyak, batu bara dan sawit saat ini. Akibatnya uang sewa tanah dan upah pekerja menurun.

Kolonisasi dan Koeli-sasi Zaman Now
Situasi ekonomi dan politik di zaman kolonialisme di atas yang menyebabkan kata "kompeni" sangat membekas di hati dan pikiran rakyat Indonesia. Kata itu sebutan lain dari kata “penjajah”. Kompeni dari bahasa Belanda, compagnie, artinya perusahaan.

Kata "kompeni" itu dipakai oleh perusahaan Belanda Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC). Setelah VOC dibubarkan, berikutnya juga yang datang menjajah tetap kompeni, compagnie, company atau perusahaan, hingga saat ini. VOC boleh bubar, tapi berganti datang kompeni yang lainnya.

Keadaan negara kita makin tragis nasibnya karena Pemerintahan yang berkuasa saat ini bermental "kacung kompeni." Presiden yang memimpin negara berfungsi seperti Gubernur Jenderal zaman kompeni dulu.

Mereka justru membuat kebijakan liberal persis seperti "opendeur politik", yaitu menggelar karpet merah untuk mengundang kehadiran kompeni atau investor asing untuk dapat menanam modalnya di Indonesia.

Mereka tidak pernah berpikir untuk memproteksi industri nasional kita yang sedang runtuh. Padahal, di Amerika, upaya keras dilakukan oleh Donald Trump yang kapitalis untuk memproteksi industri nasionalnya dari serangan industri China. Demikian juga China, seluruh kebijakannya negara diarahkan untuk memproteksi kepentingan nasional, khususnya industri nasional nya.

Karena itu, maksud dari uraian singkat tentang Opendeur Politiek zaman old di atas untuk menggambarkan  bahwa model kebijakan yang dipakai oleh Pemerintah saat ini nyaris tidak jauh berbeda dengan yang pernah dipakai oleh kompeni Belanda zaman old. Keputusan untuk mengeluarkan 16 Paket Kebijakan Ekonomi tersebut sebetulnya hanya pengulangan saja. Bisa saja kebijakan itu adalah copy paste saja dari kebijakan yang diterapkan oleh kompeni zaman old tersebut.

Bedanya, di era kompeni zaman old, kebijakan itu dinamakan "opendeur politiek," politik pintu terbuka, terbuka untuk modal asing. Sementara di era kolonisasi zaman now, kebijakan itu diberi judul Daftar Negatif Investasi (DNI). Maksudnya adalah daftar jenis usaha yang diizinkan untuk dikuasai 100 persen oleh asing.

Bisa dibayangkan jika pembangunan infrastruktur saat ini dimaksudkan untuk memuluskan investasi asing sebagaimana kompeni zaman old. Demikian juga jika bidang usaha yang menghidupkan UKM dan koperasi pun diizinkan untuk dikuasai 100 persen modal asing. Maka koeli-sasi zaman now, terutama di era digital, adalah sebuah kekuatiran yang akan menjadi kenyataan.

Karena itu, kebijakan opendeur politiek zaman now, berupa 16 paket kebijakan ekonomi itu harus dihentikan. Jika tidak, maka apa yang dikuatirkan Bung Karno (1963) tentang ancaman "koeli-sasi" bangsa kita akan makin nyata terjadi pada rakyat dan bangsa kita.

Mari kita baca kembali petuah Bung Karno tersebut sebagai renungan kita: "..Dan sejarah akan menulis, di sana di antara benua Asia dan Australia, antara Lautan Teduh dan Lautan Indonesia, adalah hidup satu bangsa yang mula-mula mencoba untuk kembali hidup sebagai bangsa, tetapi akhirnya jatuh kembali menjadi bangsa kuli dan kuli di antara bangsa-bangsa (een natie van koelies, en een kolie onder de naties)..." [***]

Penulis adalah eksponen gerakan mahasiswa 1998 Yogyakarta dan pemrakarsa Intelligence Finance Community (Infinity)

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA