Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Kalimat Tauhid Dan Tauhidul Kalimah Dalam NKRI

Selasa, 13 November 2018, 14:53 WIB
Kalimat Tauhid Dan Tauhidul Kalimah Dalam NKRI
Iwan Sumule/Net
BELAKANGAN ini, pemberitaan disesaki dengan isu seputar bendera berlafal kalimat Tauhid, sementara kalangan memaknai bendera tersebut sebagai bendera Hizbut Tahrir. Sebagian lain memaknainya sebagai bendera Tauhid.

Peristiwa pembakaran bendera berlafaz kalimat tauhid tepat pada hari santri, menjadi titik di mana kegaduhan bermula. Tak terhindarkan, polemik mengemuka. Agama atau hal-hal berkenaan dengan agama, sepertinya selalu saja menjadi instrumen yang sensitif. Sepertinya ini gambaran bahwa betapa pun tampak sekuler, namun masyarakat kita memiliki Sense of Belonging yang signifikan pada isu agama.

Tak lama berselang, soal Bendera Tauhid ini pun menjadi permasalahan di negeri lain, Saudi Arabia. Oknum tak dikenal, memasang bendera Tauhid di kediaman Imam Besar Habib Muhammad Rizieq Bin Husein Shihab. Tak pelak, hal ini mendatangkan masalah. HRS pun harus berurusan dengan pihak Kepolisian Kerajaan Saudi Arabia. Seolah bola salju yang menggelinding sangat gesit, isu bendera tauhid ini jika tak menggilas, setidaknya menyerempet banyak pihak.

Saya pribadi terkena imbas dari soal Bendera Tauhid ini. Foto saya tiba-tiba menjadi viral dan ramai menuai komentar di sosial media. Pada foto itu, saya berpose memegang bendera Tauhid. Ini sengaja saya lakukan sebagai bentuk dukungan moral saya yang tidak sepakat dengan aksi pembakaran bendera tersebut. Terlepas dari apakah itu bendera Tauhid atau bendera HTI (meski tak ada tulisan HTI pada bendera itu), siapa yang bisa menyangkal bahwa pada kain hitam yang disebut bendera itu terdapat lafaz kalimat Tauhid.

Sebagai anak bangsa yang tumbuh dalam kultur heterogen, saling menghargai, dan menjunjung nilai kebhinnekaan, saya merasa terusik jika NKRI di satu sisi diatasnamakan, namun pada praktiknya kebhinnekaan telak dicederai dengan aksi intoleran berupa pembakaran bendera berlafaz kalimat tauhid.

Sebagian saudara muslim saya boleh jadi berkata bahwa ada dalilnya, tak apa membakar kalimat itu dan sebagainya. Dari saudara muslim saya yang lain juga saya memahami bahwa ada cara untuk memuliakan lafaz suci, entah itu potongan ayat atau nama dari asma'ul husna dan semacamnya dengan membakarnya.

Misalnya jika kita punya undangan perkawinan yang bertuliskan lafaz bismillah di mana di dalamnya ada lafaz nama Tuhan yang digambarkan dengan 'Allah', 'Ar-Rahman', dan 'Ar-Rahim', maka agar tidak terinjak, terduduki, atau terbuang ke tempat sampah, lebih baik dibakar agar hilang lafaznya. Namun hal ini dilakukan dengan niat memuliakan, bukan niat selainnya.

Namun demikian, ada orang yang menyerang saya sebab saya seorang Kristen, dan saya Ketua DPP Gerindra, juga saya Caleg DPR RI Dapil Jakarta Timur. Keprihatinan saya semakin menjadi-jadi. Apakah tidak boleh saya memberi dukungan moral pada kasus pembakaran bendera Tauhid? Apakah Saya memberi dukungan dalam kapasitas sebagai seorang Kristen? Sebagai Ketua DPP Gerindra atau sebagai Caleg DPR RI dapil Jakarta Timur? Jawabnya adalah bahwa saya memberi dukungan moral sebagai warga negara, sebagai bangsa Indonesia, sebagai anak kandung NKRI yang berusaha menjunjung nilai-nilai toleran. Bahwa itu salah di mata sementara kalangan, saya rasa teman-teman itu harus sekali lagi belajar menjadi Indonesia.

Terlepas dari semua itu, saya merasa prihatin bahwa kalimat tauhid yang seharusnya menjadi pemersatu malah menjadi titik pecah antar anak bangsa. Kalimat Tauhid, seharusnya menjadi Tauhidul Kalimah atau komitmen bersama sebagai anak bangsa, anak kandung NKRI. Kalimat Tauhid sebagai landasan 'hablum minallah' seharusnya berkorelasi dengan Tauhidul Kalimah sebagai landasan 'hablum minannas'.

Dalam kehidupan bernegara, kita mengenal Ketuhanan Yang Maha  Esa tapi juga Bhinneka Tunggal Ika. Dalam kehidupan berbangsa, Ketuhanan sebagai sebuah nilai sepatutnya berkorelasi dalam hubungan kemanusiaan. Maka aneh rasanya ketika saya melihat betapa orang bisa mengklaim dirinya paling menjunjung toleransi sementara secara telanjang mata jelas-jelas ia bersepakat, bersepaham, bahkan merestui tindak intoleran.

Menjadi bangsa Indonesia yang baik, pada saat yang sama juga bisa saja menjadi ummat beragama yang taat. Namun pengalaman ini mengajarkan kita bahwa Menjadi Indonesia bukan sekadar retorika. Menjadi Indonesia adalah soal komitmen bersama, soal Tauhidul Kalimah.[***]

Iwan Sumule
Aktivis '98, Caleg DPR RI Partai Gerindra, Dapil Jakarta Timur Nomor 6

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA