Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Pemidanaan Penyebar Hoaks Harus Hati-hati

Supaya Keadilan Tidak Terciderai

Rabu, 10 Oktober 2018, 08:17 WIB
Pemidanaan Penyebar Hoaks Harus Hati-hati
Foto/Net
rmol news logo Isu kasus penyebaran berita bohong atau hoaks belakangan masih marak dibicarakan. Terutama setelah ka­sus yang melibatkan aktivis Ratna Sarumpaet yang sempat diberitakan menjadi korban pengeroyokan.

Peneliti dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Genoveva Alicia menerang­kan, berkaitan dengan berita bohong yang menyebabkan keonaran, ada sejumlah pasal yang biasa digunakan untuk menjerat perbuatan tersebut. Antara lain, UU no. 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana khususnya Pasal 14 dan 15 serta Pasal 28 ayat (1) UU ITE.

"Dalam pasal-pasal persang­kaan terkait penyebaran berita bohong, terdapat beberapa unsur yang harus dipenuhi. Sebelum seseorang dapat dikatakan melakukan perbuatan pidana penye­baran berita bohong," katanya.

Pertama, penyiaran berita atau pemberitahuan bohong tersebut harus dengan sengaja atau memi­liki niat menimbulkan keonaran di kalangan masyarakat. Kedua, orang tersebut harus mengeta­hui, berita tersebut adalah berita bohong. Atau, orang tersebut setidaknya harus memiliki per­sangkaan, bahwa berita tersebut adalah berita bohong.

Menurut Genoveva, unsur pertama merupakan unsur yang merupakan hal yang paling kru­sial dibuktikan dalam perbuatan ini adalah keonaran. Keonaran yang dimaksudkan dalam pasal tersebut memiliki ukuran, bahwa dalam masyarakat terjadi pergo­lakan dan kepanikan.

"Ukuran keonaran yang ditetapkan dalam pasal ini sangat tinggi. Sehingga penegak hu­kum tidak dapat serampangan menetapkan seseorang sebagai tersangka. Bila unsur tersebut tidak terpenuhi," terangnya.

Unsur lain yang harus diper­hatikan dalam pemberitaan ini adalah, unsur yang menyebut­kan, orang yang menyebarkan berita bohong dan berlebihan harus mengetahui bahwa berita tersebut memang benar berita bohong. Atau patut menduga, bahwa berita tersebut adalah berita bohong.

"Hal itulah yang harus digali secara hati-hati oleh aparat penegak hukum. Karena unsur ini yang kemudian berhubungan dengan niat jahat pelaku tindak pidana. Apakah memang benar niat tersebut ada dalam perbua­tannya," imbuhnya.

ICJR menyarankan agar ke­polisian berhati-hati melakukan penangkapan dan penahanan terhadap seseorang dan me­netapkan seseorang sebagai tersangka. Sebab, untuk menya­takan seseorang telah melakukan sebuah tindak pidana, terdapat element of crime yang harus dipenuhi. Yakni actus reus atau perbuatan.

Dalam hal ini, menyebarkan berita yang tidak benar dan kedua adalah mens rea yakni niat jahat. "Meski seseorang me­nyebarkan berita bohong, namun niat jahatnya tidak ditemukan dalam dirinya, perbuatan terse­but tidak dapat disebut sebagai perbuatan atau tindak pidana," kata Genoveva.

Maka dari itu, penegakan hukum pidana terhadap berita bohong harus dilakukan secara selektif dan presisi. Sesuai ke­tentuan hukum yang berlaku. "Proses pemidanaan terhadap orang-orang yang dianggap me­nyebarkan berita bohong, harus dilakukan hati-hati. Karena banyak kasus berita bohong yang sebenarnya tidak layak dipidana," tandasnya.

Sebelumnya, polisi menyata­kan telah menerima tiga laporan masyarakat. Terkait kabar bo­hong atau hoaks yang menyeret nama aktivis Ratna Sarumpaet terkait kasus dugaan pengeroyo­kan di Bandung. Dua laporan tersebut dilakukan di Polda Metro Jaya. Sementara yang lain diterima Bareskrim Polri.

"Dalam laporan tersebut, mereka mencantumkan agar polisi minta menyelidiki terkait pemberitaan hoaks. Polri sudah melakukan penyelidikan, terkait hal tersebut," kata Dirkrimum Polda Metro Jaya Kombes Nico Afinfa. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA