Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Rezim Impor Beras Tak Perlu Terjadi Jika Lahan Kritis Dikelola

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Minggu, 23 September 2018, 13:21 WIB
rmol news logo Alasan adanya ancaman ketersediaan pangan tidak seharusnya direspon dengan impor.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Pengamat  Kebijakan Publik Universitas Parahyangan, Thomas Sitepu meminta agar pemerintah tidak hanya sibuk dengan pemenuhan kebutuhan pangan jangka pendek.

"Enggak perlu ada impor-imporan, enggak perlu ada sebutan rezim impor beras, jika memang pemerintah mau dan mampu mengelola lahan yang masih luas untuk pertanian kita,” ujar Thomas.

Dia pun menyarankan pemerintah segera melakukan upaya rehabilitasi dan revegetasi lahan-lahan bekas tambang serta lahan-lahan kritis lainnya.

Menurut dia, lahan kritis dan eks tambang jangan dibiarkan menganggur. Lahan-lahan seperti itu malah bisa dikelola produktif untuk menghasilkan pangan.

“Sesungguhnya, saat ini impor hanyalah pemenuhan kebutuhan pangan jangka pendek. Solusi yang ditawarkan hanya bersifat sporadis, bahkan impor menjadi kebiasaan. Seharusnya, salah satu upaya menjaga ketahanan dan kedaulatan pangan jangka panjang dapat dilakukan dengan melakukan rehabilitasi dan revegetasi lahan bekas tambang dan lahan-lahan kritis. Itu jumlahnya luas banget. Bisa produktif untuk pangan," tutur Thomas.

Dia menyebutkan,  di Indonesia banyak sekali lahan eks tambang yang terbengkalai dan tidak produktif, yang malah dibiarkan begitu saja. Misal lahan-lahan eks tambang batu bara, emas, timah, dan lain sebagainya, yang sudah digali, dibiarkan dan atau pun ditinggalkan.

“Selama ini dibiarkan saja oleh para pengusaha ataupun pemerintah daerah. Seharusnya, lahan-lahan eks tambang tersebut direhabilitasi dan direvegetasi. Atau istilah lainnya,  ditanami kembali, atau populer juga dengan dilakukan penghijauan kembali,” ujarnya.

Dalam perjalanannya, lanjut Thomas, terjadi kesulitan mengelola lahan eks tambang dikarenakan para pengusaha pertambangan pada saat izin diterbitkan, dibebankan iuran atau  pungutan atas setiap penggalian yang dilakukan kepada Pemda setempat atau Pemerintah Pusat.

“Iuran atau pungutan yang dibebankan kepada pengusaha, mungkin sudah dibayarkan sesuai dengan sebenarnya ataupun lebih kecil,” imbuhnya.

Mungkin juga iuran yang ditentukan pada saat diterbitkan perizinan terlalu kecil, sementara kenyataannya di lapangan untuk biaya Penghijauan Kembali membutuhkan biaya yang sangat besar.

Dari kenyataan itulah, maka pengusaha ataupun pemda melakukan Penghijauan Kembali, tetapi tidak sepenuhnya.

"Asal aja selama ini. penghijauan yang dilakukan pun hanya untuk memenuhi peraturan yang telah diterbitkan. Atau bahkan mungkin sama sekali tidak pernah dilakukan  penghijauan kembali. Itu sudah berlaku sangat lama, bukan 1-2 tahun saja,” jelasnya.

Polemik impor beras kembali mencuat setelah sikap keras Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso.

Mantan kepala Badan Narkotika Negara itu bahkan mengumpat pernyataan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita bahwa Kemendag tidak berurusan dengan gudang Bulog yang penuh.[wid]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA