Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Geruduk MK, Mahasiswa Tuntut Presidential Threshold Dibatalkan

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Jumat, 21 September 2018, 17:05 WIB
Geruduk MK, Mahasiswa Tuntut <i>Presidential Threshold</i> Dibatalkan
rmol news logo Mahasiswa yang mengatasnamakan Gerakan Lintas Kampus melakukan unjuk rasa ke Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), menuntut dibatalkannya Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) mengenai Presidential Threshold.

Mahasiswa memandang diterbitkannya Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tersebut bertentangan dengan rasionalitas dan moralitas terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Padahal, UUD 1945 merupakan ruh dari kehidupan bernegara dengan sistem apapun dan dijaman kapanpun. UUD adalah otoritas hukum tertinggi. Dan konstitusi yang ideal itu dibangun melalui filosofi pemerintahan yang mengakomodir kepentingan rakyat secara universal.

Karena itu konsekuensi logisnya adalah segala sesuatu atau Undang-Undang yang bersifat normatif harus merupakan turunan atau bersumber dari UUD 1945.

Bahan analisis para pengamat dan pakar hukum, terdapat banyak kelemahan serta kejanggalan dari Presidential Threshold meskipun ketentuan ini diatur di dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 (merupakan open legal policy), namun pembahasannya di DPP tidak seluruhnya setuju. Sebab Partai Gerindra, Partai Demokrat, dan PKS memilih walk out/tidak setuju dengan kebijakan tersebut, artinya Presidential Threshold merupakan legal policy yang tidak bulat.

"20 persen dari jumlah kursi DPR atau 25 persen suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya, sudah digunakan untuk mengusung calon presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, sehingga tidak relevan lagi untuk digunakan pada pemilu 2019 alias sudah kadaluarsa," tegas Koordinator Aksi, Yaseer di depan Gedung MK, Jumat (21/9).

Dikatakannya, masih banyak lagi kelemahan yang bersifat fundamental yang dilihat oleh Pengamat Politik serta Pakar Hukum. Hal tersebut kata dia bisa terjadi karena adanya kekuatan mayoritas koalisi yang memaksakan kehendak melalui kekuatan voting.

Pemberlakuan peraturan Presidential Threshold 20 persen dinilainya terbukti berakibat tidak baik dalam perkembangan demokrasi selanjutnya, terutama pada proses pencalonan Capres dan Cawapres, banyak diwarnai oleh kepentingan-kepentingan yang sifatnya transaksional. Dan akibatnya pemerintah kedepan mengarah kepada Oligarki Transaksional.

Menurutnya, Presidential Threshold tujuannya adalah untuk membatasi jumlah calon dengan alasan biaya dan teknik. Maka yang terjadi dari minimalis calon adalah head to head. Dimana semua mata dapat melihat, telinga dapat mendengar telah terjadi permusuhan dua kubu yang semakin hari semakin memanas, sangat beresiko tinggi terjadinya konflik bahkan bisa jadi perang saudara.

Semua kondisi tersebut seharusnya menjadi perhatian serius dari pihak yang sangat berwenang memegang mandat konstitusi yaitu Mahkamah Konstitusi. MK harus lebih jernih berpikir dan lebih memprioritaskan kepentingan dan keselamatan rakyat.

"Atas dasar semua rasionalitas tersebut, kami meminta MK untuk membatalkan peraturan Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017, karena telah menistakan intelektual rakyat dan menciptakan ketegangan Pilpres 2019," tandasnya. [rry]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA