Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

WAWANCARA

Sandiaga Uno: Definisi Ulama Berbeda-beda, Saya Punya Ilmu Entrepreneur, Silakan Nilai Sendiri

Jumat, 21 September 2018, 09:18 WIB
Sandiaga Uno: Definisi Ulama Berbeda-beda, Saya Punya Ilmu Entrepreneur, Silakan Nilai Sendiri
Sandiaga Uno/Net
rmol news logo Wakil Ketua Dewan Majelis Syuro Partai Keadlian Sejahtera (PKS) Hidayat Nur Wahid (HNW) menyebut Sandiaga Uno sebagai seorang ulama. Menurut Wakil Ketua MPR itu, terminologi ulama tidak terkait dengan ilmu agama. Ulama, menurutnya adalah seorang yang paham ilmu pengetahuan. Pernyataan ini pun menuai pro dan kontra. Banyak yang mem­pertanyakan gelar Sandi sebagai seorang ulama. Pasalnya, selama ini Sandi tidak pernah dikenal sebagai ulama, dia justru lebih dikenal sebagai pengusaha mu­da. Lantas bagaimana tanggapan Sandi terhadap gelar tersebut? Apakah dia merasa sebagai ulama atau justru pengusaha? Berikut penuturan lengkapnya.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Bagaimana tanggapan Anda soal pernyataan HNW?
Lihat aja sendirilah, karena definisinya itu mungkin beda-beda. Saya ketemu Pak Hidayat, beliau bilang, "saya sudah me­nyebut Pak Sandi itu ulama." Saya bilang ulama dasarnya apa? Terus dia menyebut dasar beberapa surat di Al-Quran.

Kalau saya karena keter­batasan pengetahuan saya di bidang agama, dan saya sekolah di tempat yang multikultur, multireligi, multietnis, saya per­nah sekolah di luar negeri, juga fokus saya di ekonomi, kegiatan saya sebagai entrepreneur, dan sekarang sudah berpengalaman sempat menjadi birokrat, dan masuk ke politik.

Menurut saya definisi itu tidak penting, tapi saya kembalikan lagi apa yang diperlukan oleh bangsa ini, bangsa ini perlu ekonomi. Kalau kita sampai­kan jihad, ya jihad di bidang ekonomi. Ini yang harus kami lakukan, membuka lapangan kerja, menciptakan peluang, sehingga harga-harga yang sekarang ini membebani bisa diselesaikan.

Salah satunya juga masalah ketersediaan pangan, yang seka­rang ini jadi ribut sekali antara sisi masing-masing, sampai-sampai di pemerintahan yang sama berdebat terbuka, dan ada ketidakcocokan. Dan ini membuat kebingungan bagi masyarakat. Jadi menurut saya definisi ini tidak penting, ulama atau umaro. Tapi kayaknya saya umaro.

Tidak masalah disebut seba­gai ulama?
Ulama, kalau dipandangan­nya saya itu yang mengajar di pesantren, yang mengajar ngaji, saya enggaklah. Tapi kalau ulama yang dimaksud Pak Hidayat adalah orang yang memiliki kelimuan, atau penga­tahuan di bidang tertentu, maka mungkin saya termasuk yang punya pengatahuan di bidang tertentu. Saya kan punya penge­tahuan di bidang entrepreneur, di bidang ekonomi, di bidang-bidang penciptaaan lapangan kerja. Jadi sekali lagi saya minta masyarakat tidak terombang-ambing terhadap definisi.

Seperti definisi antara emak-emak dengan ibu bangsa. Jangan lagi kita terus bergerak di luar subtansi. Jadi silakan masyarakat ingin menilai seperti apa, tapi inilah keseharian saya, saya kan tidak bisa menilai diri saya sendiri. Tapi rekam saya, jejak saya jelas, saya pernah di pro­fesional dan saya di-PHK, terus saya berwirausaha, lalu saya masuk Gerindra dan saya resign. Jadi masyarakat bisa menilai, lebel apa yang ingin dilekatkan kepada saya.

Tapi menurut Fahri Hamzah Anda pedagang, bukan ula­ma?

Saya tidak pernah berdagang, mungkin saya harus digaris­bawahi, saya entrepreneur iya, saya entrepreneur di bidang keuangan dan investasi iya. Saya tidak pernah berdagang di pasar gitu, saya enggak pernah. Tapi soal pasar tradisional saya ngerti banget, karena saya Ketua Asosiasi Pedagang Pasar. Jadi ini kembali lagi kepada defi­nisi melawan definisi, yang bisa mengaburkan sesuatu diskusi, atau isu yang subtansif seperti ekonomi, isu yang substantif itu ya ekonomi.

Hari ini Anda akan ke KPU jam berapa?
Ya rencananya sesuai aja kita dateng, terus kita Bismillah se­mua proses lancar, nomor mana saja siap. Yang penting menyam­paikan ke masyarakat kita komit menghadirkan pemerintahan yg kuat, membuka lapangan kerja, prioritas ekonomi, kita ingin mempersatukan, kita ingin keberagaman dijadikan sebuah harga mati buat kita.

Relawan juga pada da­tang?

Tidak ada, saya bilang jan­ganlah, ngabis-ngabisin en­ergi. Kalau mereka mau datang tertib, jangan bikin macet, jan­gan bikin tidak simpati publik masyarakat.

Nanti ke KPU pake baju adat?

Kalau mengambil nomor kan belum baju adat. Nanti kita liat saja dresscode-nya apa.

Kepala Bulog dan Mendag ribut soal impor. Bagaimana tanggapan Anda terkait hal ini?

Saya Alhamdulillah punya pengalaman dalam dunia usaha ekonomi. Kemarin saya di DKI melihat dengan mata kepala sendiri, ada isu besar di masalah pangan kita. Dan salah isu terbe­sarnya adalah masalah data.

Kami melihat data yang dimi­liki pemerintah ini, antara mas­ing-masing kementerian harus disinkronkan. Saya melihat ini betul-betul saatnya pemerintah yang kuat, dengan pola kepemimpinan yang tegas bisa berdiri di atas semua kepent­ingan, dan menyatakan bahwa kebijakan ini adalah yang terbaik untuk Indonesia.

Kemarin di DKI kami me­mutuskan tidak membeli beras impor. Karena hasil kunjungan kami ke Sulawesi Selatan ber­sama Food Stations terlihat bahwa stok masih cukup.

Oleh karena itu, kami pu­tuskan hanya beli beras yang diproduksi oleh petani-petani lokal di beberapa wilayah Indonesia. Jadi itu pengalaman singkat saya. Alhamdulillah dalam waktu 10 bulan inflasi di DKI itu, rekor terendah sepan­jang sejarah, terutama yang food prices di DKI itu bisa terselesi­kan. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA