Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Pemerintah Tak Serius Bela Anak Buah Kapal Nelayan

Di Bidang Perikanan

Minggu, 16 September 2018, 09:11 WIB
Pemerintah Tak Serius Bela Anak Buah Kapal Nelayan
Foto/Net
rmol news logo Kebijakan perikanan Indonesia dinilai belum berdampak positif bagi perlindungan Anak Buah Kapal (ABK) Ne­layan.
Hal ini ditegaskan Ketua Harian DPP Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Marthin Hadiwinata. Setidaknya, ada empat temuan lapangan dari situasi pekerja ABK Nelayan.

Temuan ini menunjukkan, kebijakan perikanan terhadap perlindungan nelayan ABK kapal perikanan di atas 10 GT tidak berdampak positif terhadap perlindungan ABK Nelayan. "Padahal, berdasarkan penelusuran KNTI, ada tujuh pera­turan yang mengikat komitmen pemerintah, untuk memasti­kan berjalannya perlindungan pekerja perikanan sebagai ABK Nelayan," tuturnya.

Pada hasil temuan lapangan di Provinsi Sulawesi Utara, ungkap Marthin, menunjukkan tak ada kehadiran pemerintah da­lam melindungi ABK Nelayan. Pekerja ABK Nelayan masih belum memiliki kontrak kerja atau perjanjian kerja di atas laut. Sehingga terjadi ketidakpastian hubungan kerja. Pihak ABK Nelayan pun dalam posisi lemah, tidak mendapatkan kedudukan hukum.

"Ini karena tak ada penga­wasan lapangan dari pemerintah terhadap perjanjian kerja laut dan tidak terintegrasi dalam perizinan," ujarnya.

Kedua, dari sisi pendapatan. Bentuk model bagi hasil perika­nan belum sesuai ketentuan bagi hasil perikanan. Padahal ini telah diatur sejak UU No. 16/1964 tentang Bagi Hasil Perikanan yang mengatur pembagian 40% hasil bersih pendapatan diperun­tukan bagi ABK Nelayan.

Menurut Marthin, ini menun­jukkan, pemerintah masih mem­biarkan lemahnya perlindungan ekonomi dari ABK Nelayan. Di samping konteks pengawasan dan syarat perizinan yang tidak ditegakkan.

Ketiga, minimnya asuransi perikanan bagi ABK Nelayan. Padahal, usaha perikanan telah dinyatakan bersama sebagai pro­fesi yang tinggi risiko ancaman kecelakaan laut. "Tapi hal terse­but tidak mendorong asuransi perikanan diberikan kepada ABK Nelayan," ujarnya.

Keempat, pendekatan HAM yang terus digaungkan Pemerintah seolah hanya di atas kertas. Di lapangan, jelas Marthin, perusahaan tidak mengetahui berbagai kebijakan terkait ser­tifikasi hak asasi manusia untuk usaha perikanan.

Di arah yang sama, perusahaan tidak dalam pandangan yang sama untuk menerapkan hak asasi manusia dalam melakukan kegiatan usaha perikanan dengan menghormati dan melindungi hak asasi ABK Nelayan.

Akibatnya, meski banyak ke­bijakan, namun tidak membuat kesejahteraan ABK Nelayan jadi lebih baik. Minimnya imple­mentasi dan pengawasan lapangan dari peraturan tersebut, menunjukkan tak ada inovasi implementasi kebijakan oleh Pemerintah di lapangan.

Ditambah lagi, kebijakan perlindungan ABK Nelayan yang substansial dan mendasar, belum terintegrasi dalam sistem perizinan perikanan usaha peri­kanan. Seperti kewajiban adanya perjanjian kerja laut dan asuransi perikanan tadi.

Di sisi lain, situasi perizinan yang terhambat masalah akses perizinan secara daring (online) mendorong pemerintah daerah mengambil jalan pintas melalui Surat Keterangan Melaut (SKM). "SKM ini dapat menyebabkan ber­bagai permasalahan baru. Misalnya dalam verifikasi berbagai syarat perizinan. Termasuk mark down ukuran kapal sebagai salah satu masalah umum yang telah lama ditemukan," tutup Marthin. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA