Daerah tujuan hijrah Ibrahim ASini juga didukung oleh ijma' ulama. Untuk mengobati rasa keterasingan dari kampung halamannya, Nabi Ibrahim berdo'a agar dianugerahi seorang anak shaleh yang dapat memotivasinya untuk senantiasa taat kepada Allah swt. Untuk itu, Allah swt. menggembirakannya dengan seorang anak yang sangat sabar. Anak tersebut, menurut mereka, adalah Ishaq. Hal tersebut didasarkan pada kata ma'a pada ayat Q.S. as-Shaffat: 102: Falamma balagha ma'ahus sa'y.., yaitu bahwa anak yang menyertainya ke Syam adalah Ishaq. Mereka meyakini bahwa penyembelihan itu terjadi di Syam, bukan di Mina ataupun Baytul Muqaddas.
Alasan Ketiga bagi orang yang berpendapat yang disembelih ialah Malaikat, maka sebuah riwayat shahih yang bersumber dari Abdullah bin Mas'ud bahwa seseorang berkata kepaÂdanya: "Wahai anak orang tua yang mulia"! (
ya ibna al-asyakh al-kiram!). Abdullah bin Mas'ud berkata: Orang itu ialah Yusuf bin Ya'qub bin Ishaq sembelihan Allah (
dzabihullah) bin Ibrahim. Ulama Asy'ariyah berpendapat bahwa Allah swt. terkadang memerintahkan sesuatu yang tidak menghendakinya untuk terjadi. Atas dasar ini pula, mereka berpendapat bahwa boleh menaÂsakh hukum sebelum waktu terjadinya pelaksaÂnaan perintah tersebut (jawâz naskh al-hukm qabla wajûd zaman al-imtitsâl). Sebagai buktinya adalah perintah dalam ayat ini. Dari ayat ini juga, ulama Mu'tazilah berpendapat bahwa terkadang suatu perintah tidak disertai dengan keinginan (
irâdah). Perintah kepada Ibrahim untuk meÂnyembelih anaknya adalah perintah ujian (amr al-ibtila'), bukan perintah hukum (
amr al-tasyri'), tujuannya untuk menguji kesungguhan orang yang diuji dan meneguhkan ketinggian martaÂbatnya dalam menaati Allah. Perintah tersebut diperoleh melalui mimpi. Lazim diketahui bahwa mimpi para nabi merupakan wahyu. Adapun ungkapan qad shaddaqta ar-ru'yâ pada ayat selanjutnya bermakna bahwa yang disembelih (Ismail, menurut jumhur ulama, Ishaq menurut sebagian ulama) mengakui kebenaran mimpi tersebut sehingga wajib untuk dilaksanakan. Adapun hikmah adanya semacam 'musyawarah' yang dilakukan Ibrahim terhadap putranya seputar mimpinya itu adalah untuk melihat seÂjauh mana kesabaran dan ketabahan putranya tersebut dalam menaati perintah Allah.
Hikmah terjadinya perintah ini dalam mimpi dan tidak dalam keadaan tersadar atau terÂbangun bisa dijelaskan dari beberapa sudut pandang, yaitu: Pertama, perintah (taklif) ini sangatlah sulit di sisi si penyembelih dan yang disembelih, sehingga dihadirkan dalam mimpi selama tiga malam sebelum dikuatkan dalam kondisi sadar. Dengan demikian, perintah itu tidak langsung diyakini sekaligus tetapi sedikit demi sedikit. Kedua, Allah swt. menjadikan mimpi para nabi sebagai sebuah kebenaran, sebagaimana disebutkan dalam beberapa ayat al-Qur'an seperti mimpi Yusuf, Ibrahim dan Muhammad saw. Maksud dari mimpi tersebut adalah untuk menegaskan akan kebenaran mereka. Pasalnya, kondisi yang dialami oleh setiap insan –pada umumnya- adalah tertidur atau tidak tertidur. Jika kedua kondisi tersebut menunjukkan kebenaran, maka itu menjadi bukti nyata bahwa mereka adalah benar dan jujur di setiap keadaannya.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.