Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

TENDANGAN BEBAS

Kroasia Bukan Model Soekarno KW-3, Semangat Perbaiki Sejarahnya Tinggi

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/adhie-m-massardi-5'>ADHIE M. MASSARDI</a>
OLEH: ADHIE M. MASSARDI
  • Minggu, 15 Juli 2018, 13:58 WIB
Kroasia Bukan Model Soekarno KW-3, Semangat Perbaiki Sejarahnya Tinggi
Ilustrasi/Net
PERBEDAAN mendasar bangsa Timur (Asia) dan bangsa Barat (Eropa/AS) adalah pandangan atau persepsinya terhadap sejarah.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Contohnya kita bangsa Indonesia, merasa punya landasan kuat (sejarah) budaya Timur yang luhur karya nenek-moyang. Sejarah kejayaan masa lalu (Sriwijaya, Majapahit, dan lain-lain) ini mengikat mental dan membangun karakter bangsa kita untuk berkutat di halaman yang itu-itu saja.

Begitu ada yang mencoba keluar dari lingkaran masa lalu, muncul peringatan: “Jas Merah!” (Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah).

Akibatnya, dalam mencari figur pemimpin nasional pun, bangsa ini dibebani oleh bayang-bayang tokoh masa silam yang dianggap berhasil. Misalnya, mencari sosok seperti Soekarno, Hatta, Syahril, dan lain-lain.

Padahal kita tahu, sudah terjadi perubahan ranah dan iklim yang signifikan, sehingga tidak memungkinkan lagi lahir tokoh sekualitas Soekarno, Hatta, Natsir, Syahril, dan lain-lain. Kalau toh ada, dijamin itu Soekarno KW-3 atau 4, yang gagasannya bisa serupa, tapi begitu dilihat kedalamannya, semua palsu.

Ibarat smartphone, luarnya serupa iPhone Apple atau seri Galaxy produk Samsung, tapi begitu diteliti, eh ternyata dari kemasan sampai dalam semuanya buatan Tiongkok. Demikian pula yang terjadi pada sosok Hatta, Natsir, atau Syahril KW-3 atau 4. Kesamaannya terbatas hanya pada kemasan.
 
Melahirkan Tema Mesin Waktu
Bandingkan dengan persepsi masyarakat Barat terhadap sejarah. Mereka menganggap sejarah benar-benar masa lalu, yang harus diperbaiki untuk meningkatkan kualitas hidup. Obsesi untuk senantiasa mengubah sejarah mereka tuangkan dalam berbagai bentuk.

Prinsip memperbaiki masa depan ini juga bisa kita lihat dari cara masyarakat Barat melihat masa kini. Ketika di Serbia muncul tokoh sangar seperti Slobodan Milošević, masyarakat Eropa segera bersatu untuk menghentikannya. Sebab perilaku Slobodan Milošević ini mengingatkan mereka pada sepakterjang Adolf Hitler. Makanya, agar tidak terulang, sebelum benar-benar menjadi Hitler, Milošević disikat. Diadili sebagai penjahat perang.

Gerakan pencegahan terhadap lingkungan (go green) dan demokrasi adalah manifestasi dari semangat memperbaiki masa depan.

Di dunia seni (film) filosofi ini melahirkan tema mesin waktu (time tunel) seperti Back to the Future yang dibintangi Michael J Fox (1985), mengisahkan sang tokoh kembali ke masa lalu, untuk mencegah perbuatan atau peristiwa yang salah agar di masa kini jadi lebih baik.

Tapi filosofi “semangat memperbaiki sejarah” paling banyak dituangkan di lapangan hijau, di dunia olahraga. Lihat saja, pada setiap event olehraga, yang dikejar para atlet adalah: memperbaiki rekor, atau mengalahkan lawannya dengan membukukan rekor baru.

Filosofi masyarakat (Barat) yang gandrung membuat sejarah (rekor) itulah yang membuat buku pencatat “yang ter” seperti The Guinness Book of World Records yang digagas Sir Hugh Beaver dan Christopher Chataway, petinggi perusahaan bir Guinness pada 1951, sangat laris dan menjadi pedoman penting.

Di Indonesia, Jaya Suprana membuat MURI (Museum Rekor Indonesia) untuk menampung kegiatan orang-orang Indonesia yang punya semangat “ingin mengubah sejarah”. Tapi sejak digagas pada 1990, MURI belum banyak mencatat “perubahan” yang berdampak kepada perbaikan nasib bangsanya.

Kroasia Bukan Model Soekarno KW-3

Sepak terjang Kroasia di Piala Dunia 2018 Rusia bikin komunitas bola dunia terperanjat. Bayangkan, mereka mengalahkan tim-tim tangguh mulai dari Agentina (3-0), Eslandia (2-1), Nigeria (2-0) di babak penyisihan grup, lalu di fase 16 besar menyikat Denmark lewat duel panjang yang berakhir adu penalti (1/3-1/2). Hal sama terjadi saat menyingkirkan tuan rumah Rusia dari 8 besar dengan skor 2(4)-2(3).

Akan tetapi ketika secara tragis Kroasia melibas Inggris di semi final (2-1), baru publik bola se-dunia teringat Piala Dunia 1998 Perancis. Saat itu, meskipun baru pertama kali menikmati turnamen Piala Dunia, maklum Kroasia sebagai negara (pecahan Yugoslavia) baru berdiri pada 1991, namun bisa menembus semi final.

Kroasia gagal menembus final karena dijegal Perancis (2-1) yang kemudian menjuarai turnamen. Tapi sebagai pendatang baru, sungguh luar biasa karena bisa mematok posisi ke-3 setelah mengalahkan Belanda 2-1.

Pelatih Zlatko Dalic tampaknya sedang berusaha memperbaiki, bukan menyamai,  sejarah Kroasia di Piala Dunia. Itulah sebabnya bekas pemain tengah klub Hajduk Split, Velez Mostar dan Varteks Varazdin, ini tidak menciptakan imitasi Davor Suker, bintang Kroasia saat itu yang menjadi top skor Piala Dunia 1998 Perancis.

Sebaliknya, alih-alih menjadikan kapten Luca Modric, atau Mario Mandzukic menjadi Davor Suker KW-2 atau KW-3. Dalic justru menutup kemungkinan lahirnya bintang di lapangan. Semua dibuat bisa menjadi bintang. Dengan demikian, permainan tim menjadi lebih padu karena bermain dengan hati, bukan emosi campur ambisi.

Dalic memang tidak membuat Kroasia menjadi semacam Soekarno KW-3 di negeri kita, yang kemasannya bagus tapi isinya palsu.

Hasil Dalic memperbaiki sejarah sudah terbukti. Sekarang skuad yang kepemimpinan di lapangan dipercayakan kepada pemain senior Luca Modric, 32, sukses maju selangkah. Bila di Piala Dunia 1998 menghadapi Perancis di semi final, malam ini Kroasia berhadapan dengan Les Blues di puncak turnamen, final Piala Dunia di stadion paling besar di Rusia: Stadion Luzhniki, Moskow, yang kapasitasnya 81.000 penonton.

Persoalannya, apakah Kroasia kali ini berhasil memperbaiki prestasi dalam melawan Perancis? Bila pada 1998 berakhir 2-1 untuk kemenangan Perancis, mungkinkah nanti malam hasilnya di balik?

Pertanyaan ini pasti susah dijawab, karena Perancis juga menganut mazab yang sama. Ingin memperbaiki sejarah, ingin menambah catatan prestasi dengan menjadi peraih trofi Piala Dunia yang kedua, setelah yang pertama diraih tepat 20 tahun lalu (1998).

Tapi kalau bertanya kepada saya, tentu Perancis akan lebih ngotot meraih trofi yang kedua, karena bagi Kroasia, apapun hasilnya, sudah alhamdulillah.

Apalagi secara fisik, legiun binaan Didier Deschamps ini jauh lebih fit karena waktu istirahatnya lebih banyak.

Di samping itu, semangat Liberté, Egalité, Fraternité (Kebebasan, Keadilan, Persaudaraan) yang dimiliki Hugo Lloris dkk akan memotifasi kemanunggalan tim. Jadi di lapangan Perancis  akan lebih eksis. [***]

 
Penulis adalah pemilik akun @AdhieMassardi

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA