Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Menimbang Kejanggalan SP3 Sukmawati

Selasa, 19 Juni 2018, 11:45 WIB
Menimbang Kejanggalan SP3 Sukmawati
Sukmawati saat membacakan puisi Ibu Indonesia
SURAT Perintah Penghentian Penyelidikan (SP3) atas chat fitnah ternyata dimanfaatkan rezim untuk menekan kepolisian.

Menyusul SP3 atas chat fitnah yang dikaitkan dengan Habib Rizieq Shihab, Kepolisian dipaksa menerbitkan SP3 atas kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Diah Mutiara Sukmawati Soekarnoputri pada acara 29 Tahun Anne Avantie Berkarya Di Ajang Indonesia Fasion Week 2018 di JCC, 29 Maret 2018 lalu.

Pada hari Minggu 17 Juni 2018, polisi dikabarkan menghentikan penyelidikan kasus penistaan agama terkait puisi 'Ibu Indonesia' yang dibacakan Sukmawati Soekarnoputri. Alasannya, polisi tidak menemukan unsur pidana.

Padahal secara terang-terangan Bu Suk menghina agama Islam sehingga membuat marah ummat Islam, khususnya di Indonesia. Puisi yang di dalamnya menyinggung tentang azan dan cadar dipersoalkan hingga berujung laporan polisi. Kasus ini berawal saat Sukmawati membacakan puisi berjudul 'Ibu Indonesia' karyanya sendiri di ajang Indonesia Fashion Week 2018 di JCC.

Aksi penistaan Bu Suk atas agama dilakukan secara terbuka di sebuah acara resmi. Semua yang hadir ikut menyaksikan apa yang disampaikan Bu Suk. Bukan hanya itu, rekaman pembacaan puisi yang isinya menista agama juga tersebar luas sehingga sulit sekali untuk menghindar bahwa Bu Suk tidak terbukti menista agama.

Diduga kuat dua bagian dalam puisi Bu Suk yang mengundang reaksi marah ummat Islam. Berikut teks puisi kontroversial pada bagian  pertama;

Ibu Indonesia

Aku tak tahu Syariat Islam
Yang kutahu sari konde ibu Indonesia sangatlah indah
Lebih cantik dari cadar dirimu

Kemudian berikut bagian kedua teks puisi kontroversial Bu Suk;

Aku tak tahu syariat Islam
Yang kutahu suara kidung Ibu Indonesia, sangatlah elok
Lebih merdu dari alunan azan mu

Bu Suk menyatakan "Aku tak tahu syariat Islam," tapi pada saat yang sama, setiap menyebut kalimat tersebut disusul dengan perbandingan yang merendahkan tradisi Islam atau sunnah Nabi Saw. Secara ilmu logika, ketika tidak tahu maka tak bisa membandingkannya dengan lain. Bisa membandingkan karena tahu dua sisi sehingga terjadi lah perbandingan bahwa A itu lebih baik dari B.

Anehnya Bu Suk mengaku tak tahu syariat Islam tapi membandingkannya dengan lainnya dan melakukan penilaian. Secara rasional saja, Bu Suk tampak gegabah dan tendensius. Meski mengaku tidak tahu, tapi Bu Suk tetap berani merendahkan syariat Islam. Inilah sisi gegabah Bu Suk.

Dalam pandangan  Islam Sunnah Nabi itu sakral. Adzan dan cadar adalah dua tradisi yang direstui  Rasulullah Saw sehingga disebut Sunnah Nabi Saw. Tentu ketika menyinggung aspek Sunnah Nabi Saw berarti sama halnya dengan menyindir sakralitas pemeluk agama tertentu.‌

Pengamat Hukum Pidana dari Universitas Indonesia Teuku Nasrullah menjelaskan, kebebasan berekspresi dan menyampaikan karya seni di Indonesia tetap memiliki batasan berupa hukum. Hal ini disampaikannya terkait dengan kasus puisi Ibu Indonesia karya Sukmawati Sukarnoputri yang menuai kontroversi beberapa hari belakang.

Teuku mengatakan, batasan berupa hukum tersebut demi menjaga ketertiban umum dan kemaslahatan dalam kehidupan bermasyarakat. Apabila merujuk pada puisi Sukmawati yang membandingkan antara penggunaan cadar dan konde, karya seni ini sudah termasuk melanggar.

Menurut Teuku, karena menghina dan mencela orang yang menjalani keyakinan, masuk ke pasal 156 KUHP. Pasal tersebut menyebutkan, "Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia."

Secara terang benderang, Bu Suk terjerat pada pasal 156 KUHP. Bu Suk di depan umum dalam sebuah acara resmi yang juga dihadiri para pejabat level menteri menyampaikan ekspresi tendensius atas salah satu agama yang dianut di Indonesia, yaitu Islam yang juga dianut  mayoritas warga negeri ini.

Dengan demikian, SP3 terkait chat fitnah yang dihubung-hubungkan dengan HRS sama sekali tidak bisa disamakan dengan SP3 terkait penistaan agama oleh Bu Suk. SP3 yang berhubungan dengan HRS sama sekali tak menemukan bukti. Sementara SP3 yang berhubungan dengan Bu Suk mempunyai bukti kuat yang disaksikan khalayak.

Untuk itu, SP3 atas Bu Suk sarat muatan politik jangka pendek yang dimainkan pihak tertentu  tanpa pedulikan aspek hukum. Bahkan ada analisa  bahwa  SP3 atas Bu Suk sengaja diterbitkan untuk mengimbangi SP3 atas HRS sekaligus menutupi rasa malu rezim yang terlanjur menuding tanpa dasar kuat dan terkesan dipaksakan.

Selain itu, ada sebuah analisa lain yang menyebutkan, SP3 atas Bu Suk sengaja diterbitkan sehingga terbentuk opini bahwa SP3 atas HRS bukan murni muatan hukum, tapi hasil dari kesepakatan bersama atau keputusan di balik meja dengan bargaining SP3 atas Bu Suk.

Bila memang ada kesepakatan, HRS dan FPI tidak ada di dalamnya. Semenjak awal, HRS juga sadar bahwa kasus chat fitnah akan terjebak pada posisi blunder yang merugikan rezim. Karena itu, HRS dan FPI tanpa rasa beban sedikit pun menyatakan keberatan atas keputusan penerbitan SP3 atas Bu Suk, bahkan menentang keras keputusan kepolisian tersebut yang dinilai menolerir penistaan terhadap agama dengan  bukti yang cukup kuat.

Kita tetap berharap negara ini masih memiliki superioritas hukum yang dijadikan sebagai aturan main.

Alireza Alatas

Pembela ulama dan NKRI, aktivis Silaturahmi Anak Bangsa Nusantara (SILABNA) 

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA