Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Minoritas Tahu Diri, Kelompok Mayoritaspun Otomatis Jadi Bijaksana!

Sudrajat Mengenang 'Legacy' Benny Moerdani

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/derek-manangka-5'>DEREK MANANGKA</a>
OLEH: DEREK MANANGKA
  • Rabu, 16 Mei 2018, 05:57 WIB
Minoritas Tahu Diri, Kelompok Mayoritaspun Otomatis Jadi Bijaksana<i>!</i>
Sudrajat/Net
MAYOR Jenderal (Purn) Sudrajat bagi wartawan zaman 'old' seperti saya, bukanlah sosok yang asing. Dia salah seorang jurubicara pemerintah handal, sekaligus komunikator militer terbaik di eranya.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Sudrajat pernah menjabat Kepala Pusat Penerangan ABRI periode 1999-2000.

Dengan jabatan itu , membawa Sudrajat hampir setiap hari bertemu, berkomunikasi dan berinteraksi dengan wartawan.

Bahkan karena jam kerja wartawan praktis berdurasi selama 24 jam per hari, membuat Jenderal Sudrajat pun ikut-ikutan 'bekerja' layaknya seperti wartawan.

"Tiada jam, tanpa dead-line", sebuah filosofi kerja wartawan profesional, ikut menjadi landasannya dalam bekerja.

Kalaupun Sudrajat tidak berada di kantornya Mabes ABRI, Cilangkap, tapi dia bisa dihubungi wartawan melalui telepon, setiap saat, "around d'clock, 24 jam.

Periode dimana Sudrajat menjadi Ka Puspen ABRI, merupakan periode yang cukup sensitif plus dilematis. Tahun itu masuk dalam periode transisi.

Transisi dari Indonesia yang selama 32 tahun dipimpin secara militeristik berangsur berubah menjadi negara yang dipimpin masyarakat sipil.

Reformasi 1998, telah mengakhiri kekuasaan militeristik oleh Presiden Soeharto, pemimpin RI yang dikenal menerapkan pemerintahan represif, telah menempatkan ABRI sebagai kekuatan yang membesarkan Soeharto, dalam posisi yang penuh sorotan.

Dalam situasi transisional inilah, Sudrajat menempatkan dirinya sebagai perwira ABRI yang memahami kemauan masyarakat sipil di satu sisi, tanpa membuat kalangan militer merasa dipecundangi.

Jabatan Kapuspen ABRI yang diembannya -sekalipun hanya satu tahun- telah berperan besar dalam mengharmoniskan hubungan dua dikotomi yang berbeda.

Dikotomi berbasis militer dan dikotomi yang civil society atau masyarakat sipil.

Bermodalkan pengalamannya sebagai diplomat (Atase Pertahanan di KBRI London, Inggeris 1994-1997) dan Atase Pertahanan KBRI Washington, AS 1997-1999), Sudrajat mampu 'berdiplomasi' secara terukur dengan masyarakat melalui media, lewat para junalis.

Jadilah Sudrajat, di eranya seperti "media darling". Sosok yang dicintai atau disukai orang-orang media.

Yang membuatnya menjadi "media darling", antara lain karena dia memahami apa yang menjadi pergumulan kekuatan militer yang baru saja mengalami 'kekalahan'.

Sebaliknya Sudrajat mengerti apa yang tengah dicari oleh masyarakat sipil yang sedang bereforia akibat kemenangan dalam Reformasi 1998.

Cara Sudrajat berkomunikasi, sekitar 20 tahun lalu itu, menjadi model yang menarik bagi sebuah pembelajaran.

Karena dua masyarakat yang terbelah oleh dikotomi itu, sejatinya antara kelompok masyarakat sipil yang mayoritas dan kelompok militer yang minoritas, pada akhirnya tidak terpecah.

Maka selamatlah Indonesia.

Bahasanya kepada pers, selalu mengandung hal-hal yang memberi perspektif yang mudah dimengerti.

Pernyataan-pernyataan Sudrajat menyemangati masyarakat kedua dikotomi itu untuk selalu bisa mengedepankan kepentingan bangsa, ketimbang urusan kelompok ataupun partisan.

Sudrajat, boleh dibilang, tidak pernah menampilkan sosok militer - manakala berbicara atau menjelaskan hal-hal yang bersifat sensitif.

Ditambah wajahnya yang simpatik, membuat wartawan pun seperti "betah" berbincang atau berinteraksi dengan pri kelahiran 4 Februari 1949 ini.

Kemarin, Selasa pagi, saya melakukan nostalgia dengannya. Dua pensiunan bertemu. Pensiunan jenderal dan pensiunan wartawan.

Pertemuan kami di Jakarta itu, dijembatani oleh Andi Raly Siregar, mantan Presiden Direktur RCTI -politisi Gerindra yang merupakan sahabat saya sejak 1988.

Sebuah pertemuan produktif dan terbuka sekaligus menyisakan banyak topik menarik yang berkaitan dengan masa depan bangsa.

Salah satunya adalah topik Pilkada Jawa Barat ini . Pilkada ini, entah mengapa seperti dirasakan sebuah Pilpres. Atau Pilkada Berasa Pilpres.

Di Pilkada Jabar ini, Sudrajat akan bersaing dengan tiga paslon lainnya.

Salah satu hal yang menarik perhatian saya, yaitu terjadinya persaingan dua orang pensiunan jenderal bintang dua -sama-sama dari TNI AD.

Yaitu Sudrajat dan TB Hasanuddin. Yang terakhir ini diusung oleh PDIP.

Baik Sudrajat (Gerindra) dan TB Hasanuddin, sama-sama memiliki karir yang cukup cemerlang.

Dua-duanya besar di era pemerintahan militer.

"Kang TB", demikian TB Hasanuddin akrab dipanggil, pernah menduduki jabatan Sekretaris Militer Presiden.

Sebelum itu, TB Hasanuddin juga secara berturut menjadi Ajudan Wapres Try Sutrisno, Wapres BJ Habibie hingga Habibie naik sebagai Presiden.

So, bagaimana atau adakah potensi konfik yag bisa muncul dari persaingan antara dua jenderal pensiunan ini ?

Sudrajat, tidak memberi jawaban langsung.
Melalui bahasa tubuh, Sudrajat seperti mengingatkan bahwa sebagai sesama prajurit TNI, mereka berdua sama-sama memiliki komitmen yang sama terhadap persatuan dan kesatuan bangsa.

"Saya minta waktu satu bulan dari Pak Prabowo untuk memutuskan menerima permintaan untuk mencalonkan diri atau tidak," jelas Sudrajat.

Selama periode itu Sudrajat mengaku, antara lain melakukan pengecekan lapangan. Dia temui TB Hasanuddin dan bertanya apakah TB mau maju dalam Pilkada Jabar.

Hal serupa dia lakukan terhadap Susi Pujiastuti, Menteri Perikanan dan Kemaritiman.

Tujuannya hanya satu: agar di dalam Pilkada Jabar ini, tidak terjadi persaingan "head to head" dengan teman atau sahabat. Persaingan di Pilkada tidak boleh melahirkan permusuhan.

Mendapat respons dari kedua tokoh Jabar ini, bahwa mereka tidak akan mencalonkan diri, Sudrajat lalu mempelajari anatomi Provinsi Jawa Barat -dalam arti potensi dan peranannya sebagai provinsi terdekat dengan Jakarta, ibukota NKRI.

Sudrajat menemukan konsep dan atas dasar itu, Sudrajat memutuskan maju dalam pertarungan Pilkada Jabar.

Sebaliknya yang mengganggu pikiran saya adalah ucapan almarhum Letnan Jenderal (Pur) Moerdiono.

Bahwa setelah reformasi 1998, sejumlah jenderal pensiunan, terlibat dalam berbagai persaingan secara terbuka. Menjelang Pilpres 2009, para pensiunan jenderal yang ikut bertarung adalah SBY sebagai petahana, disusul Wiranto, Prabowo Subianto dan Sutiyoso.

Dalam pembicaraan di tahun 2008 tersebut, setahun sebelum Pilpres 2009 digelar, Moerdiono mengkhawatirkan persaingan antar sesama jenderal tersebut.

Persaingan di antara jenderal dalam memperebutkan posisi Presiden, bisa menjadi pemicu perpecahan bangsa.

Padahal selama 32 tahun Jenderal Soeharto sebagai Presiden sekaligus pemimpin, berhasil mempersatukan para jenderal tersebut dalam sebuah disiplin korps.

Pilkada Jabar, memang tidak setara dengan Pilpres. Kendati begitu, keprihatinan Moerdiono, tak urung mengganggu pikiran saya.

"Saya sedih melihat persaingan ini. Tapi saya mau bilang apa…," ucap Moediono, penulis pidato Presiden Soeharto selama hampir 32 tahun.

Dalam Pilkada Jabar, Sudrajat membawa bendera Partai Gerindra. Sementara TB Hasanuddin mewakili PDIP.

Akhirnya di tengah suasana yang masih bertanya-tanya itu, saya memutuskan untuk mempercayai komitmen yang ditegaskan oleh Sudrajat. Bahwa sebagai prajurit dalam jiwanya tetap tertanam semangat untuk membawa Indonesia menjadi sebuah bangsa yang besar.

Dan untuk menuju kesana, jalan alternatif antara lain menjadikan atau lewat provinsi Jabar sebagai sebuah wilayah yang makmur, rakyatnya sejahtera.

Berhubung yang kita bahas sudah masuk dalam rana dan konteks nasional, perbincangan kami pun menyentuh banyak hal yang sifatnya ‘campur sari’ dan lebih menyeluruh.

Utamanya hal yang menyebabkan negara kita saat ini, seperti masih terjebak dalam beberapa krisis atau persoalan. Kalau situasi ini yang dijadikan ukuran, Reformasi 1998, sudah gagal total.

Misalnya krisis kepemimpinan dan berbagai kebijakan yang tidak menumbuhkan dan membesarkan semangat persatuan. Inilah dua hal yang terus menjadi perbincangan banyak kalangan dalam era kepemimpinan Presiden Joko Widodo.

Kamipun bernostalgia. Dintaranya tentang masa-masa Sudrajat menjadi Sekretaris Benny Moerdani, Jenderal bintang empat yang di tahun 1988 menjadi Menhankam Pangab.

Kami bertukar pikiran sebagai sosok yang sama-sama besar dalam era Orde Baru, era militeristik.

Satu hal yang sulit lepas dari ingatan Sudrajat adalah Benny Moerdani sebagai tokoh Orde Baru, merupakan seorang komandan atau pemimpin yang "tahu diri".

Kisahnya begini

Menjelang Sidang Umum MPR-RI, Maret 1988, acara yang akan memilih Presiden dan Wakil Presiden, terbentuk sebuah suasana. Yaitu keinginan memadukan Pak Harto sebagai Presiden dan Benny Moerdani sebagai Wakil Presiden.

Situasi di lapangan, sesuai laporan intelejen, sudah cukup kondusif bagi Benny Moerdani. Dukungan dari berbagai kekuatan, khususnya kelompok masyarakat Islam, sudah bulat.

Jenderal Benny Moerdani yang pemeluk Katolik, akan dipasangkan dengan Pak Harto, seorang Muslim.

Tapi ketika Sudrajat menanyakan langsung ke Pak Benny, tentang rencana menduetkan Soeharto -Benny Moerdani, jawabannya cukup mengejutkan.

"Saya ini minoritas. Saya tahu diri. Saya tidak mungkin dan tidak mau jadi Wakil Presiden," jawab Benny Moerdani kepada Sudrajat.

Padahal sebagai pribadi, Sudrajat merasa bakal terkenal imbas positif jika atasannya menjadi Wapres. Setelah terdiam sejenak, kami berdua sepakat, situasi “tahu diri” di kalangan minoritas, inilah yang kelihatannya tidak terjadi di Indonesia saat ini.

Dengan catatan, minoritas yang kami bahas tidak hanya dalam arti agama. Tetapi dalam arti luas, seperti bisnis dan konglomerasi.

"Saya sangat paham dan setuju dengan Pak Benny," ujar Sudrajat.

Nama Benny Moerdani, kini tinggal kenangan. Benny berpulang 29 Agustus 2009.

Namun soal "tahu diri" ala Benny Moerdani merupakan sebuah legacy yang tak tertulis dari Jenderal yang ikut membebaskan Papua (Irian Barat) dari pendudukan Belanda.

"Yah, kalau minoritas tahu diri, maka yang mayoitaspun otomatis akan menjadi kelompok bijaksana," ucap Jenderal Sudrajat, mantan Dubes RI untuk RRT. (Bersambung). [***]

Penulis adalah wartawan senior

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA