Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Dutabesar Rusia: Perdamaian Yang Buruk Lebih Baik Dari Perang Yang Bagus

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/teguh-santosa-5'>TEGUH SANTOSA</a>
OLEH: TEGUH SANTOSA
  • Minggu, 13 Mei 2018, 01:46 WIB
Dutabesar Rusia: Perdamaian Yang Buruk Lebih Baik Dari Perang Yang Bagus
Dubes Rusia Lyudmila Georgievna Vorobieva bersama CEO Kantor Berita Politik RMOL Teguh Santosa
PEMERINTAH dan media yang dikuasai dan dipengaruhi "blok Barat" masih sering menggambarkan Rusia sebagai ancaman bagi perdamaian dunia. Ketegangan antara Rusia dengan Amerika Serikat dan sekutunya sangat terasa akhir-akhir ini, terutama di kawasan Timur Tengah.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Amerika Serikat menuding Rusia memberikan dukungan kepada pemerintahan Bashar Assad di Suriah. Pemerintahan Donald Trump juga menuding Rusia berada di balik apa yang digambarkan sebagai serangan senjata kimia terhadap mantan agen ganda Skripal dan anaknya di Inggris.

Di sisi lain, hubungan bilateral antara Indonesia dan Rusia belakangan ini mengalami peningkatan. Berbagai proyek strategis sedang dikerjakan kedua negara. Di masa depan, hubungan Indonesia dan Rusia diperkirakan akan semakin baik.

Redaksi Kantor Berita Politik RMOL mewawancarai Dutabesar Federasi Rusia untuk Republik Indonesia, Lyudmila Georgievna Vorobieva, beberapa waktu lalu, untuk mendapatkan gambaran mengenai potensi hubungan kedua negara. Dalam pertemuan itu, Dubes Vorobieva juga membahas ketegangan yang terjadi antara negara dengan Amerika Serikat.

Di bagian akhir pertemuan, Dubes Vorobieva yang belum lama bertugas di Jakarta menjelaskan sedikit sebab-sebab mengapa Uni Soviet bubar pada tahun 1991. Berikut petikan wawancara itu:

Ini adalah bulan-bulan pertama Anda bertugas di Jakarta sebagai Dutabesar Federasi Rusia untuk Indonesia. Sejauh ini bagaimana perasaan Anda tentang Jakarta dan Indonesia?

Saya senang berada di Jakarta dan Indonesia. Saya memang belum mengunjungi kota lain di Indonesia, saya sedang merencanakannya.

Saya menghabiskan waktu bertahun-tahun di Asia Tenggara. Mungkin pernah saya sampaikan sebelumnya, bahwa setiap kali mengunjungi Asia Tenggara saya selalu merasa seperti pulang ke rumah. Saya suka orang-orangnya yang sangat bersahabat dan sangat ramah.

Saya harap bisa memiliki banyak teman (di Indonesia). Saya suka iklimnya. Sebetulnya, saya suka semua hal tentang Indonesia. Saya suka makanannya, dan terbiasa memakan makanan yang pedas. Saya sungguh ingin mengetahui lebih banyak hal tentang Indonesia karena ini negeri yang mengagumkan.

Walaupun secara geografis kita terpisah begitu jauh, saya menemukan bahwa dalam banyak hal kita sama. Misalnya, Indonesia dan Rusia sama-sama negeri yang multi-budaya. Kami memiliki komunitas Muslim yang besar, sekitar 20 juta orang. Mereka bukan migran. Mereka hidup di Rusia dan merasa Rusia adalah rumah dan negara mereka.

Jadi saya sungguh merasa bahagia bisa berada di sini.

Bagaimana Anda bisa mengenal Asia Tenggara?

Orang tua saya adalah diplomat. Saya dibesarkan di Bangkok ketika mereka ditugaskan disana. Lalu mereka dipindahkan ke Vientiane, Laos. Saya juga mengikuti mereka. Saya pernah memiliki pengasuh orang Thai, dan orang Laos.

Ketika saya masuk ke universitas, jadi mudah bagi saya untuk memilih Asia Tenggara sebagai fokus studi saya. Saya mempelajari bahasa Laos di Moscow State Institute of International Relations (MGIMO).

Perlu saya jelaskan sedikit, walaupun saya lulus dengan kemampuan di bidang itu, tetapi di era Uni Soviet seakan perempuan tidak diterima bertugas di Kementerian Luar Negeri. Itu bukan aturan tertulis, tetapi memang sangat sedikit wanita yang bertugas di Kementerian Luar. Saya rasa, pada masa itu kurang lebih sama dengan yang ada di banyak negara.

Jadi saya tetap bekerja di MGIMO dan mengajar bahasa Laos selama empat tahun. Saya menyukai pengalaman itu. Saya suka bahasa Laos, saya suka berkomunikasi dengan mahasiswa. Saya pun saat itu masih muda seperti mahasiswa. Itu pengalaman yang sangat bagus.

Lalu Dutabesar kami di Laos membutuhkan penterjemah. Dia bisa meyakinkan bos-bos di Kementerian Luar Negeri bahwa saya, seorang wanita, harus dikirimkan ke Kedutaan kami di Laos. Akhirnya, saya memulai karier diplomatik saya di tahun 1989 di Vientiane sebagai asisten Dutabesar. Setelah itu saya ditugaskan sebanyak tiga kali di Laos, dan tugas terakhir saya di sana adalah sebagai Minister Counsellor.

Laos dan Thailand cukup dekat. Saya juga berusaha mempelajari bahasa Thai. Saya tidak begitu lancar menggunakan bahasa Thai, seperti saya pernah sangat lancar berbahasa Laos. Tentu saja, ketika Anda tidak terlalu sering menggunakan satu bahasa asing, Anda akan kaku dan melupakannya sedikit demi sedikit. Tetapi walau begitu, saya masih bisa bergaul dengan teman-teman dari Thailand.

Saya pernah ditugaskan di Bangkok sebagai Deputy Head of Mission dan Minister Counsellor selama dua tahun. Itu juga sangat menyenangkan. Saya suka Laos, saya suka Thailand. Anak perempuan saya tumbuh di Laos. Saya bawa dia ke Laos saat dia baru berusia enam bulan. Dia tumbuh di Laos. Saya juga mengajaknya ke Thailand. Dia kini mengikuti jejak saya (mendalami Asia), tetapi dia mempelajari bahasa Mandarin.

Setelah itu saya kembali ke Moskow, dan beberapa tahun kemudian saya ditugaskan sebagai Dutabesar di Malaysia. Saya menetap di sana selama lima tahun.

Di tahun 2015 saya kembali ke Moskow dan selama tiga tahun menjabat posisi Direktur Jenderal Departemen Asia Ketiga di Kementerian Luar Negeri.

Di Kementerian kami ada tiga departemen Asia. Pertama mengurusi China, dua Korea dan Mongolia. Kedua mengurusi Asia Selatan, India, Pakistan, dan lainnya. Adapun Departemen Asia Ketiga yang pernah saya pimpin meliputi 24 negara, dari Jepang, 10 negara ASEAN, Australia dan Selandia Baru, juga negara-negara pulau di Samudera Pasifik.

Jadi saya terlibat pada urusan Rusia dan Indonesia ketika saya menjadi Direktur Jenderal. Sayangnya saat itu saya tidak pernah berkunjung ke Jakarta.

Saya pernah ke Jakarta sekitar sepuluh tahun lalu saat bertugas di Bangkok. Kami ke Jakarta dan melihat Borobudur di Jawa Tengah. Kami juga ke Bali, ke Ubud dan Kuta.

Bagaimana Anda melihat masa depan hubungan Rusia dan Indonesia?

Saya kira akan sangat cerah. Kami memandang Indonesia sebagai salah satu partner kunci di kawasan dengan mempertimbangkan peran Indonesia di ASEAN juga di negara-negara Muslim. Kami melihat tren positif dalam hal perkembangan hubungan bilateral kita. Rusia dan Indonesia memiliki dialog politik yang aktif.

Presiden Joko Widodo mengunjungi Rusia pada tahun 2016 mengikuti KTT Rusia-ASEAN di Sochi yang didedikasikan untuk 20 tahun hubungan negara kami dengan ASEAN.

Tetapi tidak hanya itu, Presiden Widodo juga melakukan kunjungan kerja dan pertemuan bilateral dengan Presiden Vladimir Putin.

Setelah itu ada pertukaran delegasi tingkat tinggi yang stabil. Antara lain, kunjungan Menlu Rusia Sergei Lavrov tahun lalu (2017). Dan baru-baru ini di bulan Maret, Menlu Indonesia Retno Marsudi mengunjungi Moskow dan mengadakan pertemuan yang konstruktif dengan Menlu Lavrov.

Sekretaris Dewan Keamanan Federasi Rusia Jenderal Nikolai Patrushev awal tahun ini juga berkunjung ke Jakarta dan mengadakan pembicaraan yang sangat positif dengan Menko Polhukam Wiranto mengenai isu keamanan global serta upaya menangkal terorisme dan kriminalisme internasional.

Anda bisa melihat bagaimana pertukaran kunjungan pejabat tinggi terus berlangsung.

Bagaimana dengan hubungan di sektor perdagangan dan investasi?

Di sektor perdagangan dan investasi tahun ini ada peningkatan volume perdagangan bilateral dibandingkan tahun lalu sebesar 25 persen. Memang ada perbedaan cara dalam melihat data. Menurut Rusia, tahun lalu peningkatan volume perdagangan bilateral sebesar 3,3 miliar dolar AS. Menurut Indonesia angkanya lebih sedikit. Namun yang jelas tetap memperlihatkan dan merupakan bukti ada tren positif.

Kalau Anda mempertimbangkan populasi kedua negara, sekitar 400 juta jiwa, tentu saja peningkatan ini tidak cukup.

Karena itu, salah satu tujuan yang ingin saya capai adalah peningkatan volume perdagangan bilateral kedua negara. Apalagi kedua pemimpin kita di tahun 2016 menargetkan volume dagang sebesar 5 miliar dolar AS pada tahun 2020.

Nilai investasi lebih sedikit, dan ini berarti kita masih perlu kerja keras.

Apakah ada proyek-proyek menjanjikan yang sedang dikerjakan?

Ada beberapa yang sudah dilakukan, seperti proyek pembangunan rel kereta di Kalimantan, dan beberapa lainnya. Kita juga akan meningkatkan kerjasama di sektor energi.

Kalau pemerintah Indonesia memutuskan menggunakan energi nuklir, kami sangat senang bila diminta membantu. Di Rusia, kami menggunakan energi nuklir dalam jumlah yang cukup banyak. Sekitar 20 persen dari listrik kami berasal dari pembangkit nuklir.

Saya juga bisa menjamin bahwa tingkat keamanan dari teknologi ini sangat tinggi. Peristiwa di Fukushima, Jepang, tentu saja menimbulkan keraguan terhadap penggunaan energi nuklir. Tetapi perlu disampaikan bahwa fasilitas di Fukushima sudah cukup tertinggal. Sementara yang kami tawarkan adalah pembangkit yang lebih modern dan aman. Kami tengah mengerjakan proyek ini di negara lain, misalnya di Turki.

Intinya kami memiliki ahli yang kompeten dan teknologi yang modern. Jadi kalau keputusan itu diambil oleh pemerintah, kita bisa bekerjasama di sektor ini.

Di sektor teknologi tinggi, kami memproduksi pesawat MS-21 yang memiliki jangkauan menengah dan dapat digunaan di Indonesia untuk domestic commuting. Kami tidak hanya menjual dan memberikan bantuan pemeliharaan, tetapi kalau Indonesia tertarik, kita bisa mengadakan kerjasama di bidang pengembangan teknologi dan memproduksi bagian tertentu dari pesawat ini secara lokal.

Selain itu, perlengakapan militer Rusia terbukti sangat efisien dalam berbagai operasi. Banyak negara yang telah memperlihatkan keinginan, sedang memperlihatkan keinginan dan akan memperlihatkan keinginan untuk menggunakan perlengkapan militer kami yang memiliki standar kualitas sangat tinggi, dengan harga yang relatif terjangkau.

Jadi dalam pandangan saya, kita perlu mengembangkan kerjasa di berbagai sektor.

Bagaimana posisi Indonesia di panggung internasional, menurut Rusia?

Apa yang penting adalah kami sangat menghormati posisi Indonesia dalam hubungan internasional. Indonesia memiliki suara independen sehingga tidak mudah ditekan oleh negara lain. Kami tahu bahwa banyak tekanan dilakukan oleh pihak lain, tetapi kami sangat menghormati posisi independen yang diperlihatkan Indonesia.

Kami tidak mau menekan siapapun. Kami ingin bekerjasama. Kami menawarkan persahabatan dan kerjasama.

***

Pertengahan April lalu, Amerika Serikat didukung oleh dua skondan utama mereka di Eropa, Inggris Raya dan Prancis, melancarkan serangan sepihak ke Douma yang hanya berjarak 20 kilometer dari ibukota Suriah, Damaskus. Serangan itu dimaksudkan untuk melumpuhkan tiga sasaran fasilitas militer Suriah.

Serangan itu juga dimaksudkan sebagai hukuman atas pemerintahan Presiden Bashar Assad yang diduga, sebelumnya, melakukan serangan senjata kimia kepada penduduk Douma.

Trump dalam twitnya mengatakan bahwa serangan senjata kimia di Douma adalah tindakan yang hanya bisa dilakukan monster.

Di sisi lain serangan tiga negara Anggota Tetap Dewan Keamanan PBB ini dikecam oleh banyak kalangan. Kecaman terutama datang dari Presiden Rusia, Vladimir Putin.

***

Beberapa waktu lalu tiga negara Anggota Tetap Dewan Keamanan PBB melancarkan serangan ke Suriah. Ini juga dipandang sebagai serangan terhadap kehadiran Rusia di Timur Tengah. Bagaimana Anda menjelaskan ini?

Serangan terhadap Suriah itu adalah pelanggaran terhadap hukum internasional dan norma apapun yang berlaku di dunia. Tiga negara Anggota Tetap DK PBB itu tidak meminta mandat apapun dari Dewan Keamanan PBB. Terlebih lagi, dalih yang mereka gunakan untuk melancarkan serangan itu didasarkan pada berita bohong. Sejauh ini tidak ada bukti yang meyakinakn bahwa pemerintahan Bashar Assad melakukan serangan senjata kimia di Douma.

Kita tahu pasti bahwa Suriah pernah memilik senjata kimia. Tetapi itu sudah dihancurkan dan telah diverifikasi oleh OPCW (Organisation for the Prohibition of Chemical Weapons).

Sebelum serangan itu dilancarkan, OPCW mengirimkan ahli mereka ke daerah yang dituduhkan itu untuk memverifikasi apakah memang ada seragan senjata kimia atau tidak.

Menurut pihak militer kami tidak ada serangan senjata kimia di Douma. Kami tidak bisa menemukan satu orang korban pun. Satu-satunya bukti yang dimiliki Amerika Serikat adalah informasi yang disebarkan media massa dan media sosial.

Kenapa mereka melakukan serangan sebelum investigasi dilakukan, atau sebelum bukti dari serangan kimia diberikan kepada masyarakat internasional?

Kita perlu mempertanyakan tuduhan mereka kepada pemerintahan Suriah. Siapa yang diuntungkan dari serangan (sejata kimia) itu? Mengapa pemerintahaan Assad mau menggunakan senjata kimia kepada warganya sendiri di saat mereka sudah memenangkan pertarungan? Apa alasannya dan apa untungnya melakukan itu?

Ini adalah skema yang sama yang digunakan (Amerika Serikat) saat menuduh Rusia berada di balik serangan senjata kimia terhadap keluarga Sergei Viktorovich Skripal di Inggris. Dua hari setelah insiden ini terjadi, sebelum apapun hasil dari investigasi dihasilkan, Rusia sudah dituduh sebagai pihak yang berada di balik kejadian ini.

Mengapa Rusia mau menggunakan senjata kimia terhadap keluarga Skripal?

Anda tahu bahwa Skripal disebut sebagai mata-mata Rusia, padahal sebetulnya dia bekerja untuk Inggris. Dia ditangkap dan dihukum di Rusia lalu diampuni dan ditukar dengan agen lain, dan dia memilih untuk bekerja dengan Inggris.

(Kalau memang Rusia yang melakukannya) mengapa kami mau melakukan itu sebelum pemilihan umum di negara kami, dan sebelum Piala Dunia 2018 yang digelar di Rusia.

Rusia tidak mendapatkan untung apa-apa dari kejadian ini. Seperti Suriah yang juga tidak mendapatkan keuntungan apapun dari peristiwa yang dituduhkan kepada mereka.

Sebaliknya, kalau Anda melihat dari perspektif yang lebih luas, kita dapat melihat siapa yang mendapatkan keuntungan dari tuduhan-tuduhan itu.

Rusia adalah salah satu negara yang menginisiasi Konvensi Pelarangan Senjata Kimia. Kami memiliki komitmen yang kuat untuk menjalankan semua kewajiban yang dinyatakan dalam Konvensi itu. Di bulan September 2017 kami memusnahkan stok terakhir senjata kimia kami, dan itu sudah diakui oleh OPCW. Kini kami tidak punya senjata kimia.

Sebaliknya, beberapa negara Barat, seperti Amerika Serikat, masih memiliki cadangan senjata kimia walaupun di bawah aturan Konvensi mereka harus memusnahkan cadangan senjata kimia mereka. Anda tahu apa alasan yang mereka gunakan untuk tidak melakukannya? Mereka mengaku tidak punya uang yang cukup untuk menghancurkan senjata kimia mereka.

Kami dituduh sebagai dalang di balik insiden yang menimpa keluarga Skripal. Lalu dengan semua tuduhan itu, 150 diplomat kami diusir dari beberapa negara.

Kami sangat berterima kasih karena Indonesia tidak bereaksi apapun terhadap imbauan (untuk mengusir diplomat Rusia), dengan menjaga posisi yang berimbang, seperti negara-negara ASEAN lainnya.

Bagaimana posisi Rusia terhadap pemerintahan Suriah?

Sebetulnya, kami tidak mendukung pemerintahan Assad. Apa yang kami lakukan di Suriah adalah memerangi terorisme. Kami berperang melawan ISIS. Karena Suriah jauh lebih dekat ke Rusia daripada ke Amerika Serikat. Jadi apa yang kami lakukan di Suriah bukan untuk mendukung Assad, tetapi untuk menghentikan teroris menyebar dan mencegah teroris masuk ke negara kami.

Dibandingkan dengan saat Amerika Serikat menyerang Afghanistan tahun 2001, atau saat menyerang Irak tahun 2003, kali ini tidak banyak respon atau protes di tengah masyarakat Indonesia, dan juga dunia…

Anda katakan tidak ada protes di Jakarta tentang apa yang terjadi di Suriah. Sebenarnya karena media telah menjadi isntrumen propaganda. Kami selalu dituduh, dikatakan apa yang kami sampaikan adalah propaganda Kremlin. Tetapi pada kenyataannya yang terjadi adalah propaganda Barat yang mencuci otak orang, tidak hanya di negara mereka tetapi juga di negara lain.

Mereka memproduksi berita bohong dan memutarbalikkan fakta untuk membantu mereka mendapatkan tujuan politik.

Saya tahu mengapa mereka menggunakan metode ini untuk menekan Rusia. Karena kami memiliki suara kami. Kami memiliki keinginan kami sendiri. Kami tidak menyerang negara lain, kami terbuka untuk kerjasama dan dialog. Kami tidak menginisiasi perang diplomatik yang terlihat seperti Perang Dingin yang lain. Tetapi itu yang kelihatannya diinginkan Barat.

Bagaimana Anda melihat ketegangan ini di masa depan. Apakah bisa semakin buruk?

Kami tidak memulai semua hal ini. Kami selalu mengatakan kepada Amerika Serikat, kami siap mendiskukan isu apapun.

Ada ungkapan di Rusia yang artinya, perdamaian yang jelek lebih baik dari perang yang bagus. Hal ini berdasarkan pada pengalaman sejarah kami.

Kami menderita dalam banyak perang. Yang terakhir adalah Perang Dunia Kedua yang merupakan salah satu yang terburuk dalam sejarah kemanusiaan. Kami kehilangan 27 juta orang. Setiap keluarga di Uni Soviet terdampak oleh Perang Dunia Kedua. Setiap keluarga kehilangan seseorang yang mereka sayangi dalam perang ini.

Jadi kami ingin perdamaian, kami ingin kerjasama. Kebijakan luar negeri kami sangat transparan. Kami tidak punya agenda tersembunyi. Kami ingin kerjasama dan dialog. Dan kami sungguh berharap akal sehat yang digunakan.

Apakah Anda melihat Amerika Serikat akan mendesak Rusia sampai batas akhir?

Kami tidak bisa didesak. Atau Anda maksudkan sanksi yang mereka lakukan? Sanksi adalah hal buruk. Dalam sejarah unilateral, sanksi tidak mencapai apapun yang baik.

Saya bisa katakan bahwa kami adalah negara yang besar, sangat kaya. Kami terintegrasi secara ekonomi. Dalam situasi yang ekstrem kami memenuhi sendiri kebutuhan kami. Kami punya sumber daya alam, sumber daya manusia. Kami punya pertanian yang maju, kami punya industri yang berkembang.

Sanksi sesungguhnya membantu kami membangun diri kami. Sekarang kami menjadi eksportir gandum. Tahun lalu kami mengekspor begitu banyak gandum.

Jadi itu (sanksi) tidak akan membawa kami ke batas apapun. Ekonomi makro kami sangat stabil. Saya tidak melihat situasi yang buruk.

Tentu ada volatility di pasar keuangan saat ini. Tetapi, ekonomi kami bisa beradaptasi pada situasi yang tidak menguntungkan ini. Kami berharap tahun ini GDP kami tumbuh dua persen. Ini angka yang tidak buruk bila kita mempertimbangkan apa yang sedang terjadi secara global.

Ini akan jadi pertanyaan terakhir saya. Masih ada persepsi yang tidak tepat dalam melihat Rusia yang baru. Beberapa waktu lalu, misalnya, ada politisi muda Indonesia menyatakan sesuatu tentang Presiden Putin. Kedubes Rusia bereaksi pada pernyataan ini…

Ya, salah seorang diplomat kami telah bertemu dengan dia, dan persoalan ini sudah selesai.

Saya ingin bertanya, apa kriteria demokrasi? Apa sebenarnya demokrasi?

Bila Anda melihat apa yang baru-baru ini terjadi di Rusia, kami menggelar pemilihan presiden. Banyak pemantau yang hadir dari banyak negara. Mereka mengkonfirmasi bahwa ini adalah pemilihan yang transparan dan legitimated. Presiden kami dipilih oleh 77 persen pemilih. Ini di luar perkiraan dan belum pernah terjadi sebelumnya. Banyak pemimpin negara lain yang saya rasa cemburu pada hasil yang fantastis ini.

Ini memperlihatkan bahwa masyarakat kami terkonsolidasi di sekitar pemimpin kami karena hal-hal yang dilakukannya kepada masyarakat.

Kalau ini bukan demokrasi, lantas ini apa?

Menurut Anda apa yang membuat masih ada anggapan bahwa Rusia sama seperti Uni Soviet?

Saya bisa katakan bahwa Uni Soviet tidak seburuk itu. Tidak semua hal tentang Uni Soviet buruk. Kami (di masa itu) punya sistem perlindungan sosial yang sangat baik. Pendidikan yang gratis, termasuk pendidikan di universitas. Dan kualitas pendidikan juga sangat baik.

Secara praktis tingkat kriminalitas rendah. Anda bisa membiarkan anak Anda bermain di jalanan tanpa khawatir ada hal buruk yang terjadi pada mereka.

Saat itu, etnisitas dan agama bukan masalah bagi kami. Sekarang baru saya sadar, bahwa saat saya masih sekolah di Moskow, teman-teman saya ternyata berasal dari berbagai latar belakang etnis. Kami tidak pernah menanyakan hal itu sebelumnya.

Saya sendiri lahir di Kiev, ibukota Ukraina. Saya bukan etnik Ukrain, saya etnik Rusia. Ayah saya yang besar di Ukraina.

Itu tidak pernah menjadi isu di era Uni Soviet. Karena ada hal ideologi, kebijakan iron curtain. Ada hal-hal yang baik.

Masih banyak orang di Rusia, khususnya generasi yang lebih tua, masih merasakan nostalgia dengan era itu. Karena mereka merasa aman dan merasa sangat yakin dengan masa depan. Setelah Anda lulus dari SMA atau universitas, Anda tidak akan jadi pengangguran. Anda akan diurus negara.

Bagian ini di masa Uni Soviet bisa saya katakan bagus.

Tentu hal ini tidak diketahui oleh orang asing, karena image yang diproyeksikan (oleh pihak lain) adalah Uni Soviet yang bersifat evil dan sebagainya.

Adapun tentang anak muda Indonesia yang tidak begitu paham tentang Uni Soviet dan Rusia, saya kira ini karena peranan media Barat yang selalu menggambarkan Rusia sebagai makhluk jahat (demonizing). Ada pemimpin di negara lain yang melakukan itu, juga film Hollywood.

Apa yang bisa saya katakan kepada anak muda Indonesia, adalah: ayo, datanglah ke Rusia. Lihatlah Rusia dengan mata kepala Anda sendiri. Ada kesempatan yang sangat bagus, yaitu Piala Dunia di bulan Juni 2018 yang diselenggarakan di sebelas kota, bukan hanya di Moskow.

Ada mahasiswa Indonesia yang belajar di Rusia. Mahasiswa dari negara tetangga Anda sangat banyak. Sekitar 3.000 mahasiswa Malaysia belajar ilmu kedokteran. Dari Vietnam juga ada beberapa ribu mahasiswa. Begitu juga dengan mahasiswa dari negara-negara ASEAN lainnya.

Mereka menjadi dutabesar budaya bagi Rusia di negara mereka masing-masing. Mereka tahu bagaimana Rusia sebenarnya. Mereka punya teman-teman Rusia. Ada juga yang menikah dengan orang Rusia.

Ayo datang ke Rusia, lihat sendiri bagaimana Rusia. Jangan memahami Rusia hanya dari film Hollywood dan media Barat.

Yang Mulia, saya jadi ingin bertanya kepada Anda: apa yang salah dengan Uni Soviet sehingga bubar?

Itu pertanyaan yang sangat sulit untuk dijawab. Kita butuh waktu yang cukup untuk memahami apa yang sesungguhnya terjadi sehingga Uni Soviet mengalami disintegrasi.

Saya dan banyak orang di Rusia setuju dengan apa yang dikatakan Presiden Putin bahwa kehancuran Uni Soviet adalah salah satu tragedi di abad ke-20.

Ini pandangan pribadi saya. Kalau kita hanya mendasarkan diri pada ideologi, cepat atau lambat akan gagal. Sangat berbahaya bila ideologi mengarahkan negara. Karena kadang-kadang ideologi melenceng jauh dari kenyataan.

Dulu kami punya ideologi komunisme. Sekarang kita lihat di negara-negara Barat mereka juga tergantung dan dikendalikan pada ideologi, bukan oleh realitas. Dan ini sangat berbahaya.

Penyebab lain adalah faktor ekonomi. Ekonomi Uni Soviet saat itu tidak begitu efisien. Sistem sosialis tidak begitu efisien dalam praktik ekonomi. Tetapi sebetulnya sistem sosialis itu dapat direformasi, daripada dihentikan begitu saja.

Lihat apa yang dilakukan China. Mereka secara gradual mereformasi sosialisme.

Sementara di abad ke-19 Uni Soviet seakan membuang apa-apa yang sebelumnya ada, dan memulai dari titik nol.

Hal lain yang menyebabkan kehancuran itu adalah faktor eksternal, intervensi pihak asing.[***]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA