Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Pancasila & Nasionalisme Indonesia (66)

Mendalami 'Persatuan Indonesia': Tak Mesti Berawal Dari Titik Nol

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Senin, 09 Oktober 2017, 10:19 WIB
Mendalami 'Persatuan Indonesia': Tak Mesti Berawal Dari Titik Nol
Nasaruddin Umar/Net
JIHAD dan patriotism tidak mesti berawal dari titik nol. Kekayaan dan modal social-budaya dan peradaban yang dimuliki nusantara bisa tetap dilanjutkan dengan melakukan restorasi sesuai dengan perinsip akidah Islam. Terlau mahal nilai sebuah jihiad jika harus mem­babat semua kekayaan sosial-budaya dan peradaban masa lalu. Jihad Nabi hanya merestorasi tatanan social yang sudah ada disesuai­kan perinsip-perinsip dasar Islam. Nabi Muhammad Saw pernah menegaskan: Innama bu'itstu liutam­mima makarim al-akhlaq (Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan nilai-nilai peradaban (akhlak) masa lampau). Nabi dengan tegas juga melarang di dalam peperangan merusak pusat-pusat budaya dan peradaban seperti situs-situs sejarah, rumah-rumah ibadah, dan merusak tanaman atau taman. Nabi juga melarang untuk mengganggu dan mengusik ketenangan anak-anak dan orang-orang tua Bangka. Nabi juga melarang membasmi hewan dan tumbuh-tumbuhan dengan melakukan pembakaran, dengan mengatakan: Hanya Allah swt yang berhak membunuh dan menyiksa dengan menggunakan api.

Politik pembumihangusan tidak pernah diper­kenalkan di dalam Islam. Sebaliknya membangun kembali kota-kota tua di bawah kekuasaan Islam tetap dilestarikan. Bagaimana megahnya Piramid dan patung Spink serta peninggalan sejarah di Aswan, Mesir tidak pernah diapa-apakan pasukan Islam. Sebaliknya peninggalan bersejarah dibiarkan eksis di tempatnya masing-masing. Demikian pula sisa-sisa penggalan bangunan kuno di Syiria tetap terpelihara sampai sekarang. Candi-candi besar di Indonesia seperti Cando Borobudur dan Candi Prambanan tetap menjadi kebanggaan masyarakat Indonesia. Bahkan secara eksplisit Al-Qur’an mengisyaratkan sejumkah ibadah masa lalu dilanjutkan dengan be­berapa penyesuaian di masa Nabi, misalnya tradis puasa dan ibadah haji. Di dalam Al-qur'an disebutkan: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (Q.S. al-Baqarah/2:183). Kata Kama kutiba 'alal­ladzina min qablikum (sebagaimana diwajibkannya ummat-umat sebelum kamu) menunjukkan adanya continuitas tradisi keagamaan.

Islam tidak menolerir merusak warisan budaya dan peradaban atas nama jihad. Jihad bukan untuk menghancurkan budaya dan peradaban serta institusi sosial yang sudah bekerja secara positif untuk dunia kemanusiaan, tetapi bagaimana melestarikannya dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian. Al-Qur'an juga secara tegas melarang terjadinya penghancuran peradaban anak manusia yang telah memberikan nilai keindahan dan symbol kebersa­maan di dalam kehidupan bermasyarakat. Allah Swt berfirman: Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang su­dah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali, kamu menjadikan sumpah (perjanjian) mu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain. Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan hal itu. Dan sesungguhnya di hari kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu. (Q.S. al-Nahl/16:92).

Ayat tersebut di atas sangat menarik karena mengumpamakan penghancuran budaya dan peradaban dengan seorang tukang tenun yang mengacak-acak hasil tenunannya yang sudah jadi. Perbuatan seperti itu jelas adalah perbuatan mubazir. Dari keterangan ayat dan hadis di atas dapat disimpulkan bahwa jihad tidak mestu harus menghancurkan nilai-nilai yang sudah mapan di dalam masyarakat lalu dibangun kembali dari nol. Kita tetap melanjutkan perestasi social budaya yang sudah ada dengan melakukan penyesuaian seperlunya. Jihad juga tidak boleh diar­tikan selalu memperjuangkan nilai-nilai yang berbeda dengan nilai-nilai yang pernah ada sebelumnya. Nabi Muhammad saw tetap memperkenalkan buah tradisi masa lampau sebagai karya yang harus dilestarikan. Membangun Indonesia tidak mesti menolak nilai-nilai dari luar. Nabi pernah mengingatkan: "Hikmah ada di mana-mana, ambillah darimana pun datangnya karena itu milik umat Islam yang tercecer".

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA