Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Listrik Jawa Dan Sumatera Bagian Selatan Telah Berlebih

Membebani Anggaran Publik Dan Merusak Lingkungan

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/pius-ginting-5'>PIUS GINTING</a>
OLEH: PIUS GINTING
  • Senin, 07 November 2016, 10:52 WIB
Listrik Jawa Dan Sumatera Bagian Selatan Telah Berlebih
Pius Ginting
PEMERINTAH telah berusaha membangun pembangkit listrik 35.000 MW. Kapasitas pembangkit listrik terpasang pada tahun 2015 adalah sebesar 51.348 MW. Terdiri dari 33.824 MW di sistem Jawa Bali, 10.091 MW di Sumatera, dan 4.150 MW kawasan Indonesia Timur. Terjadi ketimpangan pemenuhan energi antar kawasan. Ironisnya, ketimpangan ini disertai dengan kelebihan beban cukup tinggi di jaringan listrik Sumatera bagian selatan dan Jawa-Bali. Masing-masing kedua sistem jaringan memiliki cadangan daya pembangkit terhadap beban puncak (reserve margin) sebesar 30 persen dan 31 persen. Besar reserve margin ini lebih tinggi dibanding dengan negeri Kanada, Korea Selatan (mengacu kepada data International Energy Agency 2007). Beberapa negara bagian Amerika Serikat menargetkan cadangan lebih rendah, yakni sebanyak 17 persen musim panas (Energy Information Administration, AS, 2014).

Rerserve margin yang tinggi menjadi beban biaya listrik yang tak perlu. Pada akhirnya akan dibebankan kepada konsumen atau menjadi beban anggaran negara. Dengan porsi peran swasta 30.000 MW dan PLN 5.000 MW dalam pada program pembangkit listrik 35.000 MW, peluang PLN menanggung pembayaran kelebihan listrik yang dihasilkan (deemed dispatched) kepada pihak pembangkit listrik swasta menjadi besar. Sebagian besar program 35.000 MW akan berlokasi di Pulau Jawa. Jika program 35.000 MW selesai, akan membuat Pulau Jawa memiliki cadangan listrik sebanyak 63 persen pada tahun 2019.

Beban pembayaran menjadi lebih berat lagi dengan keterlibatan pihak internasional menggunakan mata uang asing memiliki nilai kurs lebih kuat. Hingga April 2016, sebanyak 94 persen listrik yang telah telah mendapatkan kejelasan pendanaan merupakan modal internasional.

Sementara itu, dari segi permintaan, penjualan listrik cenderung mengalami penurunan. Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2008-2007 memperkirakan penjualan listrik pada tahun 2016 sebanyak 285 TWh. Sementara itu perencanaan terbaru Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2016-2025 memperkirakan sebanyak 217 TWh (hanya 76 persen dari perhitungan awal).

Dengan begitu, tidak ada faktor mendesak bagi pemerintah membangun pembangkit listrik skala besar di Sumatera bagian selatan dan Jawa-Bali. Terlebih melakukan pengadaan lahan bagi proyek infrastruktur energi dengan cara pemaksaan pembebasan lahan warga dengan alasan kepentingan umum, menggunakan UU 2/2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Kepentingan Umum. Konflik pembebasan lahan untuk programkelistrikan telah terjadi di Batang, Jawa Tengah, Cirebon, Indramayu, Bengkulu. Ironis,  kesemua konflik lahan untuk pembangkit listrik ini melibatkan swasta internasional.

Program pembangkit listrik sebaiknya dibangun di daerah-daerah yang memiliki cadangan tipis bahkan defisit, kendati daerah tersebut tidak menjanjikan keuntungan tinggi. Khususnya wilayah Indonesia bagian timur. Dengan begitu, terjadi pemerataan akses energi dan meningkatkan konsumsi energi per kapita.

Menghindarkan Jadi Pasar Teknologi Kotor

Banyak negara yang memiliki kemampuan teknologi lebih tinggi meninggalkan teknologi pembangkit listrik batubara. Alasannya, karena PLTU menyebabkan polusi berupa CO2, NO2, dan partikel halus. Partikel halus dari PLTU Batubara  (PM2.5) menimbulkan penyakit dan kematian. Disamping itu, PLTU batubara penyumbang besar gas rumah kaca. Jenis pembangkit batubara High Effecient Low Emission (HELE)yang kini diperkenalkanbelum dapat diharapkan menjaga kenaikan suhu bumi berada dibawah 2oC sejak revolusi industri (studi Ecofys, lembaga peneliti energi Inggris). Batas kenaikan suhu ini dianggap aman dari dampak perubahan iklim. Saat banyak negara mengembangkan energi terbarukan. Indonesia seharusnya menghindarkan dijadikan pasar dari teknologi energi kotor ini dengan pertimbangan dampak kesehatan warga terpapar pencemaran debu batubara dan meningkatkan pemanasan global.

Berdasarkan informasi ini, pemerintah diharapkan dapat menunda program pembangkit listrik batubara, khususnya di daerah Jawa dan Sumatera yang telah memiliki cadangan tinggi, rentan konflik dalam pembebasan lahan. Penundaan pembangkit batubara ini penting, sebab bila telah diputuskan dibangun dengan umur pembangkit PLTU Batubara yang dapat mencapai 30 tahun, pemerintah tidak leluasa mengembangkan energi terbarukan.

Transparansi dan pemantauan korupsi bidang energi

Korupsi membuat kebijakan energi Indonesia terpaku kepada bahan bakar fosil dan pengembangan energi terbarukan terhambat. Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Auriga Nusantara, terdapat 8 kasus korupsi terkait PLTU Batubara, secara keseluruhan menghasilkan listrik 2.380 MW pada periode tahun 2013-2016. Bentuknya mulai dari penyuapan pejabat hingga korupsi dana pembebasan lahan warga yang terdampak. Sementara itu, pengembangan energi terbarukan juga terganggu karena menjadi lahan korupsi. Terdapat 10 kasus korupsi energi terbarukan antara tahun 2013-2016. Kasus korupsi terakhir terkait dengan energi melibatkan pihak internasional Maxpower.

Maraknya korupsi energi ini menjadi alasan kuat bagi KPK untuk melakukan kordinasi dan supervisi. Kordinasi dan supervisi pencegahan korupsi sebelumnya yang telah dilakukan KPK bersama dengan kementerian dan lembaga terkait di sektor pertambangan dan kehutanan yang telah mampu menyelamatkan keuangan negara. Program yang sama  diharapkan dilakukan pada sektor energiuntuk mengungkap poladan mencegah terulangnya korupsi energi yang pada akhirnya menjadi beban bagi konsumen listrik dan keuangan negara. [***]


Penulis adalah aktivis lingungan hidup

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA