Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

DPD: SE Hate Speech Tak Boleh Bungkam Kebebasan Berpendapat!

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Sabtu, 07 November 2015, 19:47 WIB
rmol news logo Surat Edaran (SE) bernomor SE/06/X/2015 mengenai penegasan penanganan ujaran kebencian (hate speech) yang diteken Kapolri, Jenderal Badrodin Haiti dan dikirimkan ke Kepala Satuan Wilayah (Kasatwil) seluruh Indonesia jadi polemik. Ada yang mendukung dan mengkritik SE tersebut.

Bagi Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI), Farouk Muhammad SE tersebut harus didukung pelaksanaannya secara efektif.

"Saya dapat memahami kebijakan tersebut menilik beberapa keluhan warga akan adanya kenyataan, terutama di media sosial, yang acapkali mengekspresikan kebencian dalam berkomunikasi,” kata dia dalam surat elektronik yang dikirimkan ke redaksi, Sabtu (7/11).

Farouk menambahkan, amat disayangkan bahwa acapkali pernyataan melalui media sosial dilakukan dengan mendramatisasi fakta, baik yang ditujukan antarperorangan maupun kelompok termasuk antaragama/ajaran internal agama yang pada akhirnya dapat menimbulkan konflik SARA.

"SE bisa bermanfaat untuk menyikapi persaingan dalam Pilkada dengan jalan saling melontarkan kebencian yang tidak mendasar untuk mendongkrak popularitas pasangan calon. Metode kampanye semacam ini jauh dari nilai-nilai demokrasi dan tujuan mulia Pancasila," jelasnya.

Walau begitu, Guru Besar Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian ini memandang perlu memberi catatan agar pelaksanaan SE tersebut tidak memunculkan ekses negatif.

Pertama, penerapan SE haruslah mengacu kepada norma hukum yang telah berlaku, terutama KUHP, UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU No. 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 2/2002 tentang Polri, UU No. 12/2008 tentang Ratifikasi Konvensi Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, dan UU No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial.

"Oleh sebab itu, catatan kedua saya, penanganan kasus demikian semestinya tidak didasarkan atas penilaian subyektif penyidik melainkan harus didasarkan atas bukti yang kuat untuk memenuhi unsur pidana. Penanganannya harus transparan serta mengedepankan akuntabilitas publik. Oleh sebab itu, setiap pengusutan kasus ujaran kebencian harus diawasi dengan ketat oleh atasannya.” tegasnya.

Mantan Kapolda Maluku dan Nusa Tenggara Barat (NTB) ini juga memaparkan, harus ada pembedaan antara ujaran kebencian dan kritik. Pernyataan kritis terhadap pejabat publik harus dapat dilihat sebagai sebuah proses demokrasi yang sehat. Terbitnya SE, dengan demikian, tidak boleh membungkam kebebasan berpendapat dan harus ada jaminan bahwa masyarakat sipil tetap dapat leluasa menyampaikan kritik kepada pemerintah atau pejabat publik.

"Perlu digarisbawahi, bahwa seseorang tidak bisa dihukum karena pemikirannya, melainkan atas keberwujudan pemikirannya-yakni bila ia telah merugikan orang lain. Sebaliknya, kebebasan berekspresi dan berpendapat bukan berarti kebebasan untuk menghujat pihak lain. Sangat memprihatinkan bahwa hujatan terhadap pejabat publik, atau kelompok lain, bahkan acapkali masuk ke ranah privat".

"saya hendak menghimbau kepada segenap komponen bangsa untuk mengakhiri lontaran-lontaran kebencian. Setiap warga negara harus dapat berekspresi secara santun, saling mengkoreksi diri dan saling mengingatkan. Pada saat yang bersamaan, para pejabat negara dan tokoh publik sepatutnya menjadi teladan masyarakat,” demikian Farouk. [sam]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA