Sebelumnya Ketua Bidang Fatwa MUI Ma'ruf Amin meÂminta pemerintah mengubah bentuk BPJS Kesehatan karena tidak sesuai syariah.
Yang menjadi persoalan bukanlah subsidi silang yang diterapkan BPJS Kesehatan, meÂlainkan sistem pengelolaan dana yang dikumpulkan dari masyarakat. Menurut Ma'ruf, masyarakat tidak tahu uangnya diinvestasikan ke mana.
Dalam transaksi syariah, tidak boleh menimbulkan maisir dan gharar. Maisir adalah memperÂoleh keuntungan tanpa bekerja, yang biasanya disertai unsur perÂtaruhan atau spekulasi, sementara gharar secara terminologi adalah penipuan dan tidak mengetahui sesuatu yang diakadkan yang di dalamnya diperkirakan tidak ada unsur kerelaan.
Bagaimana tanggapan DPR dan pemerintah selaku pembuat undang-undang terhap fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) bahwa BPJS Kesehatan tidak syariah alias haram?
Simak wawancara dengan anggota Komisi Kesehatan dan Tenaga Kerja DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Rieke Diah Pitaloka berikut ini;
Bagaimana tanggapan Anda mengenai fatwa MUI itu?Fatwa itu bertujuan baik agar pengelolaan dana BPJS dilakuÂkan secara benar. Saya yakin ini tidak didalangi kepentingan bisnis berkedok syariah.
Tujuannya agar dana jaminan kesehatan milik peserta dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besarnya kepentÂingan peserta sesuai dengan perintah Pasal 4 huruf i, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS.
Pemikiran Anda bagaimana?Saya tak ingin dana jamiÂnan kesehatan yang dikelola BPJS sekadar menghasilkan keuntungan bagi negara. Haram hukumnya jika mengubah watak jaminan sosial menjadi jaminan komersial yang berujung pada komersialisasi pelayanan kesehatan.
Apa MUI selama ini beÂrandil terhadap keberadaan BPJS Kesehatan?Dukungan ini tak muncul tiba-tiba setelah masyarakat ramai berdebat putusan MUI yang ditetapkan sebulan lalu. Saya ungkapkan MUI sempat menÂdukung pengesahan Rancangan Undang-Undang BPJS.
Pada 29 Juni 2010, Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS) bertemu dengan MUI. Saat itu, MUI mendukung disahkannya RUU BPJS karena dapat memÂbawa kemashlatan umat.
Setelah empat taahun Undang-Undang BPJSdisahkan, sejumÂlah ulama MUI menilai penyeÂlenggaraan BPJS tak sesuai fikih. Penyelenggaraan jaminan sosial oleh BPJS Kesehatan, terutama yang terkait dengan akad di antara para pihak, tidak sesuai dengan prinsip syariah karena mengandung unsur ghaÂrar, maisir, dan riba.
Berarti ini kritikan positif?Saya menilai putusan MUI merupakan kritik terhadap prakÂtik jaminan sosial kesehatanan yang terintegrasi. Itu upaya memberikan hak rakyat atas kesehatan, bukan mempersulit akses seperti beberapa kasus yang terjadi. Saya mendukung fatwa dikeluarkan MUI unÂtuk BPJS Kesehatan dengan meyakini tujuannya untuk keÂmaslahatan umat atau rakyat bukan untuk kepentingan bisnis berkedok kata syariah.
Bagaimana seharusnya sikap pemerintah?Fatwa MUI itu harus disikapi pemerintah sebagai regulator dan BPJS Kesehatan sebagai penyelenggara jaminan sosial kesehatan menjadi kritik memÂbangun terhadap praktek jamiÂnan sosial kesehatan.
Sistem kesehatan yang terinteÂgrasi dari hulu ke hilir sebagai upaya memberikan hak rakyat atas kesehatan, yang merupakan salah satu hak dasar yang diamanatkan konstitusi, bukan mempersulit akses rakyat terhadap kesehatan seperti beberapa kasus yang meÂmang terjadi di lapangan.
Selain itu?Selain itu, saya yang juga Anggota Panitia Khusus (Pansus) RUU BPJS ini mendukung sikap MUI agar dana jaminan kesehatan milik peserta dipergunakan seluÂruhnya untuk pengembangan proÂgram dan untuk sebesar-besarnya kepentingan peserta (sesuai denÂgan perintah Pasal 4 huruf i, UUNo.24/2011 tentang BPJS).
Artinya, dana tersebut haram hukumnya jika mengubah watak jaminan sosial menjadi jaminan komersial yang berujung pada komersialisasi pelayanan kesÂehatan negara. ***
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: