Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Hikmah Ramadhan: Ajaran Universal Dan Nilai Perdamaian

Rabu, 07 Juni 2017, 08:53 WIB
Hikmah Ramadhan: Ajaran Universal Dan Nilai Perdamaian
"Ramadhan, awalnya adalah rahmah, tengahnya adalah maghfiroh dan akhirnya adalah pembebasan dari api neraka."

Itu salah satu petikan khutbah yang sering diungkapkan oleh sebagian khotib dalam mimbar-mimbar keagamaan, khususnya di bulan suci Ramadhan. Terlepas dari perselisihan tentang kedudukan, apakah itu hadist shohih, doif ataupun bukan hadist, namun populer di tengah masyarakat. Dengan hadist itu, para penceramah mengajak umat Islam agar memperbanyak ibadah di bulan yang agung.

Di seluruh penjuru dunia, saat bulan Ramadhan, umat Islam diajak untuk meningkatkan amal ibadah. Warna yang muncul pada bulan Ramadhan adalah begitu Islami. Umat Islam begitu demonstratif menyambut dan mengisi hari-hari di bulan Ramadhan dengan berbagai jenis aktivitas. Tarawih, tilawatil qur’an, infaq (penyediaan ta’zil), hingga syiar-syiar keagamaan lainnya begitu kental dan viral ketika itu.

Ajaran Universal

Sebagaimana diketahui bersama bahwa orientasi utama diwajibkannya berpuasa adalah sebagai riyadhoh (latihan) untuk mengendalikan diri, baik yang sifatnya lahiriyah maupun ruhaniyah. Latihan secara lahiriyah diantaranya dengan cara menahan diri untuk tidak makan, minum dan berhubungan seks di siang hari. Sementara latihan diri secara ruhaniyah, diantaranya dalam bentuk menahan diri dari sifat marah, dengki, benci dan lain sebagainya.

Oleh karenanya, ibadah puasa di bulan Ramadhan seringkali disebut sebagai bulan pengendalian diri. Nampak pada bulan Ramadhan, seluruh umat Islam berupaya meningkatkan kualitas ibadah, memperbaiki akhlak dan kepedulian sosial (sedekah dan zakat).

Ramadhan sebagai bulan yang “agung” dan seluruh peribadatan di dalamnya dijustifikasi oleh agama dengan amal “suci”, sepertinya masih jauh dari nilai substansial sebagaimana diharapkan. Ramadhan tidak lagi dihiasi dengan ajakan keagamaan essensial, melainkan kebanyakan umat Islam melewati hari-hari di bulan Ramadhan lebih pada aktivitas simbolik dan ritualistik. Umat Islam lebih disibukkan dengan kegiatan-kegiatan simbolis, mulai dari bagaimana mempersiapkan kebutuhan untuk berbuka puasa dan menu sahu.

Akhirnya, waktu mereka habiskan di mall (supermarket) guna berbelanja makanan, minuman hingga kaset-kaset religi. Terlebih di penghujung bulan, biasanya mereka sibuk menyiapkan busana dan barang yang serba baru. Sehingga tujuan disyariatkannya puasa, yaitu menjadi insan yang bertakwa menjadi sulit dicapai. Dengan berakhirnya bulan Ramadhan umat Islam bukan mengalami peningkatan takwa, malah stock takwa menjadi defisit (berkurang).

Maka, dengan kondisi demikian, seakan sebulan penuh di bulan Ramadhan adalah milik umat Islam. Padahal, telah tegas secara eksplisit disebutkan dalam Al-Qur’an bahwa ibadah puasa pada bulan Ramadhan sejatinya bukan hanya milik umat Islam, melainkan merupakan ajaran universal yang pernah dilakukan oleh umat-umat terdahulu.

"Wahai sekalian orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa". (Q.S Al-Baqarah : 183).

Bagaimana dapat dikatakan “puasa” sebetulnya bukan hanya milik umat Islam? Jelas sebagaimana disebutkan ayat di atas. Dalam khazanah keIslaman diuraikan kewajiban (syariat) puasa di bulan Ramadhan adalah pertama kali diberlakukan kepada Nabi Nuh a.s, yaitu manakala dia keluar dari bahteranya.

Selain itu, kewajiban puasa pun diberlakukan kepada Nabi Dawud a.s dan umatnya, yaitu dengan cara berpuasa setiap dua hari sekali selama seumur hidup. Puasa juga Allah wajibkan kepada Maryam (ibunda Isa a.s), wanita suci, seperti disebutkan dalam Al-Qur’an (Q.S Maryam : 26). Bagi umat Yahudi (Agama Samawi) pun demikian, ada kewajiban puasa selama enam hari selama setahun.

Maka, puasa merupakan jenis ibadah yang dianjurkan oleh agama-agama samawi (Yahudi, Nasrani dan Islam), serta agama-agama kultural seperti Hindu dan Budha, yang membedakannya hanyalah waktu dan cara pelaksanaannya saja.

Dari sinilah, puasa diposisikan sebagai ajaran universal. Puasa adalah ajaran semua agama dan kercayaan. Dimana puasa bukan hanya milik umat Islam, karena secara nyata pernah dipraktikkan oleh agama-agama selain Islam. Melalui jalan suci inilah (puasa), kedamaian dapat diciptakan. Jika seluruh manusia taat menjalankan puasa sesuai ajaran agama, niscaya kedamaian melalui segala nafas ketakwaan orang yang berpuasa, mampu diciptakan.

Signifikansi Ramadhan: Nilai Perdamaian

Pesan perdamaian dalam Ramadhan mengajarkan kepada kita agar menumbuh kembangkan spirit untuk selalu bersikap toleran dan menghargai perbedaan. Toleransi dan sikap saling menghargai merupakan nilai utama yang amat penting dalam menuju cita-cita perdamaian. Kedua nilai tersebut mengajarkan tentang bagaimana kelompok non-Muslim menghargai umat Islam yang sedang berpuasa. Dan sebaliknya umat Islam menghargai non-Muslim yang tidak berpuasa.

Karena itulah, Ramadhan memiliki signifikansi kuat dalam upaya memperkuat toleransi dan sikap menghargai bagi seluruh manusia. Berbagai konflik, situasi dimana banyak orang mudah tersulut kebencian dan suka saling membedakan, baik atas nama agama, etnik dan aliran yang terjadi selama ini masih menjadi ‘momok’ bagi kita akibat kesalahpahaman, kepentingan dan kontestasi (ideologi maupun politik).

Sedih rasanya melihat kondisi bangsa yang sekarang kerap tersulut kebencian, kedengkian, pertikaian, saling menghujat dan menyakiti karena perbedaan. Padahal, Pancasila diciptakan untuk menyatukan kemajemukan.

Islam sebagai agama toleran dan penuh kasih sayang, “Rahmatan Lil A’lamin” melalui momentum Ramadhan menuntun umat Islam agar menahan diri dari kebencian, kemarahan, dan egoisme. Entitas Islam sebagai agama yang mengakui pluralitas merupakan bentuk pengujian Tuhan kepada umat Islam supaya senantiasa menjaga dan mempererat tali persaudaraan. Baik itu kepada sesama muslim maupun kepada non muslim.

Begitu banyak teks agama menganjurkan perdamaian dan kasih sayang, diantaranya surat Al-Hujurat ayat 10 Allah SWT memerintahkan umat Islam untuk saling menjaga dan merawat nilai persaudaraan, “Sungguh orang-orang beriman itu bersaudara. Sebab itu, damaikanlah antara kedua saudaramu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat" (QS. Al-Hujurat : 10).

Tentunya persaudaraan dalam ajaran Islam, adalah persaudaraan global (luas). Persaudaraan yang tidak terikat dan dibatasi unsur perbedaan suku, etnik, agama maupun status sosial. Sekalipun terhadap golongan yang tidak beragama (Ateis), selama mereka menghormati dan tidak memusuhi orang lain (mau hidup damai).

Hal ini sebagaimana telah dicontohkan oleh Rasulullah dalam tata cara hidup damai dan penuh toleransi di lingkungan yang sangat plural. Deklarasi "Piagam Madinah" merupakan produk konstitusi di pemerintahan Nabi, di dalam nya mengandung butir-butir perdamaian dan berisi jaminan hidup bagi agama-agama lain dan mereka dapat hidup berdampingan secara damai. Saat penaklukan Mekah, Rasulullah SAW memberikan jaminan keamanan dan kenyamanan bagi penganut ajaran lain untuk tetap beribadah sesuai kepercayaan dan keyakinan nenek moyang mereka, padahal mereka adalah termasuk musuh yang ditaklukkan.

Di bulan Ramadhan, perdamaian yang seakan menjadi “barang mahal” mampu dirajut kembali. Karenanya, menjadi pesan substansial dalam ajaran berpuasa. Berpuasa tidak hanya kewajiban menahan diri dari hal-hal yang membatalkan ibadah puasa secara fisik, akan tetapi lebih penting dari pada itu ialah mampu menciptakan kualitas takwa yang sesungguhnya. Bagaimana puasa bagi umat Islam dapat merajut nilai-nilai perdamaian dengan cara menjadikan toleransi dan sikap saling menghargai sebagai agenda pertama dan utama.

Seperti yang pernah dikatakan Imam Al-Ghazali, “Puasa orang khusus bisa batal pahalanya dengan lelaku anggota badan yang buruk dan hina”. Artinya, dalam berpuasa harus ada keseimbangan antara kondisi jasmani dan ruhani. Tidak cukup dianggap berpuasa, jika hanya sebatas menahan dari makan-minum. Namun, pesan moral (akhlaq) juga penting dilakukan bagi orang yang berpuasa. Bahkan, sangat sia-sia puasanya jika ternyata moral (akhlaq) tidak diindahkan saat menjalankan ibadah puasa.

Sebab itulah, bulan suci Ramadhan adalah riyadhoh (latihan) yang tepat untuk menyemai nilai-nilai perdamaian, yang bisa mengakhiri permusuhan. Dalam universalitas ajaran islam, Nabi tidak pernah mengajarkan untuk menjadikan kita sebagai penebar keresahan dan kesusahan. Maka, penghayatan dalam puasa di bulan Ramadhan menjadi penanda sangat penting bahwa pelita perdamaian melalui sikap saling bertoleransi dan menghargai perbedaan serta visi kemanusiaan pada umumnya merupakan tugas krusial umat Islam. [***]

Ahyaruddin

Sekretaris PD Pemuda Muhammadiyah Kota Cirebon

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA