Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI)

Dewan Tegaskan Tidak Ada Persoalan Rasisme Kebijakan Agraria Di DIY

Laporan: | Sabtu, 03 Maret 2018, 00:10 WIB
Dewan Tegaskan Tidak Ada Persoalan Rasisme Kebijakan Agraria Di DIY

Rufinus Hotmaulana Hutauruk/Net

Tidak ada persoalan rasisme dalam kebijakan agraria di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Sebagai daerah khusus, DIY memang memiliki kewenangan tersendiri dalam merumuskan kebijakan pemerintahan, termasuk soal pertanahan.

Begitu diutarakan anggota Komisi II DPR RI Rufinus Hotmaulana Hutauruk dalam surat elektronik yang dikirimkan ke redaksi, Jumat (2/3).

Hal yang sama diutarakannya dalam kunjungan kerjanya di Bangsal Kepatihan Gubernur DIY, kemarin.

Komisi II DPR RI saat ini memang tengah melakukan penyusunan Rancangan UU (RUU) Pertahanan. Dalam RUU itu juga dibahas masalah rasisme.

Advokat ini merasa DIY dalam soal kepemilikan tanah tidak tunduk pada UU Pokok Agraria (UU PA). Karenanya, kebijakan Instruksi Kepala Daerah 898/I/A-1975 tentang Penyeragaman Policy Pemberian Hak Atas Tanah kepada WNI Nonpribumu masih berlaku.

“Kebijakan yang  dijalankan oleh Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X ini justru memberikan perlindungan hak kepemilikan tanah. Bahwa hak yang diberikan merupakan HGB (hak guna bangun, red),” jelas Rufinus.

Terlepas dari itu, lanjut dia, Komisi II DPR  justru menginginkan adanya penguatan atas status kepemilikan tanah di DIY sebagai daerah khusus.

“Sehingga ke depannya, persoalan pertanahan di Jogja tidak mencuat kembali karena memiliki payung hukum yang kuat,” sambungnya.

Rufinus dengan tegas mengatakan bahwa istilah rasisme tanah setelah penggugat kebijakan Sultan Yogya kalah di pengadilan ini berlebihan dan sangat tidak benar.

Bukan tanpa sebab, menurut dia, karena status kepemilikan tanah di DIY adalah HGB maka ketika terjadi sengketa tidak bisa disita. Sebab, pemiliknya adalah pemerintah yang dalam hal ini Keraton Kasultanan dan Pakualaman.

"Contohnya, bila masuk investor punya HGB, bersengketa lalu disita, tidak boleh. Karena tanah itu adalah asset Keraton atau Pakualaman," jelasnya.

Karenanya, Rufinus curiga munculnya persoalan diskriminasi pertanahan berhembus di Jogja ini terkait dengan kepentingan investasi dan investor. Dia menyebut investor menginginkan status kepemilikan tanah dalam bentuk sertifikat hak milik (SHM).

“Kalau scheme tanahnya hak milik kan ujung-ujungnya bisa dijaminkan ke bank,” ujarnya.

Dia justru memuji kebijakan Sultan HB yang mencegah praktik penguasaan tanah oleh investor. “Karena Sultan juga harus menjaga kepentingan masyarakat Jogja,” tandas Rufinus.

Seperti diketahui, tanah-tanah Kraton dan Pakualaman selama ini dipergunakan untuk sarana umum secara gratis. Ada tanah Keraton yang sudah dibangun untuk sarana  pendidikan, rumah sakit hingga tempat ibadah.

Karena itu Rufinus mengharapkan isu rasialisme kepemilikan tanah di Yogyakarta bisa dihentikan. “Bahkan tanah Keraton dipergunakan untuk rumah tinggal warga tanpa memandang etnis juga banyak sekali. Masa kondisi begini masih ada yang berani memainkan isu rasisme?“ demikian Politisi Hanura ini.

Hal senada juga disampaikan anggota Komisi II DPR lainnya, Sareh Wiyono. Politikus Gerindra itu sependapat bahwa tidak ada diskriminasi terhadap pertanahan di DIY.

Menurutnya, HB X memiliki keistimewaan tersendiri dalam menjalankan kebijakan."Itukan sudah menjadi kewenangan daerah istimewa," tandasnya. [ian]
1xx

Kolom Komentar

Artikel Lainnya

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI)