KALIAN pasti bersiap-siap merayakan tahun baru malam ini. Bakar jagung, ayam, ikan, sosis, dan biasanya yang tak ketinggalan terompet dan kembang api. Kenapa harus nyalakan kembang api sih? Ini yang saya kupas.
Malam Tahun Baru. Satu-satunya malam di mana umat manusia di seluruh dunia sepakat membakar duit ke langit sambil bilang, “Pergilah kau, tahun lama, bawa juga utang dan kenangan memalukan itu.”
Dentuman harus keras, langit wajib lebih terang dari ring light seleb TikTok, dan tetangga minimal tahu kalau kita masih hidup, masih punya korek, dan masih bisa bikin gaduh.
Kembang api bukan sekadar pesta, ia adalah deklarasi eksistensi, kalau tak ada ledakan, seolah hidup kita setahun kemarin tak sah secara kosmik.
Masalahnya, 31 Desember 2025 ini Indonesia sedang pakai baju empati lengkap dengan pita hitam.
Kapolri, gubernur, sampai BMKG kompak bilang, “Sudahlah, jangan bakar-bakar langit dulu. Saudara kita di Sumatera lagi dihajar banjir dan longsor akibat Siklon Tropis Hayley.”
Empati di malam pesta rasanya mirip disuruh makan sayur pas tiup lilin ulang tahun. Benar secara moral, tapi jiwa liar kita terasa diredam halus. Kita paham, kita setuju, tapi tetap ada ruang kosong di dada yang biasanya diisi bunyi “duarrr”.
Padahal, sejak ratusan tahun lalu, manusia memang hobi bikin gaduh buat menyambut waktu baru.
Di Tiongkok abad ke-9, niat awalnya mulia, cari ramuan keabadian. Yang dapat malah mesiu. Dari salah eksperimen lahir tradisi paling ribut sedunia.
Logikanya sederhana dan sangat manusiawi, kalau roh jahat takut suara keras, maka sambut tahun baru dengan kebisingan level konser dangdut plus meriam karbit Pontianak.
Tradisi itu menular ke mana-mana, ke Eropa jadi ajang pamer kekayaan raja-raja, ke Nusantara berubah jadi meriam bambu yang ramah lingkungan tapi tidak ramah gendang telinga. Lalu datang era modern, petasan impor murah, brutal, dan efektif bikin anjing tetangga trauma eksistensial.
Makanya, tanpa kembang api, Tahun Baru sering terasa jomplang. Seperti Lebaran tanpa opor, Idul Adha tanpa aroma kambing, atau pesta nikah tanpa tetangga kepo. Ada yang hilang, entah itu identitas, entah itu alasan sah untuk teriak jam dua belas malam tanpa dicap gangguan jiwa.
Tahun ini negara bilang, rayakan saja dengan khidmat. Doa bersama,
video mapping, laser show, drone light yang estetik dan ramah lingkungan.
Alasannya masuk akal, cuaca ekstrem, empati sosial, keselamatan bersama. Secara konsep keren, secara visual juga cakep,
Instagramable, berkelas, modern.
Tapi realita Indonesia selalu punya bonus
track, tetap ada yang nekat nyalain versi hemat di gang sempit, di
rooftop, atau di halaman rumah sambil bilang, “Cuma satu ini jak.”
Karena bagi sebagian orang, tahun baru belum sah kalau telinga belum berdengung sampai Subuh dan baju belum bau mesiu tipis-tipis.
Sementara kita lagi belajar menahan diri, dunia luar justru pesta pora tanpa rasa bersalah.
Sydney sudah lama memamerkan langitnya seolah berkata, “Lihat, kami masuk tahun baru lebih dulu.”
New York masih setia dengan bola kristal raksasa yang ditonton sejuta orang rela beku demi satu momen, padahal Netflix ada.
Dubai mengubah gedung tertinggi dunia jadi papan iklan optimisme, laser dan drone bersatu, kaya raya dan percaya diri.
London tetap klasik dengan Big Ben dan harapan kolektif, Rio menari di pantai dengan dua juta manusia berbaju putih, Skotlandia malah membakar kapal Viking raksasa demi mengusir sial. Dunia seakan bilang, “Kalau mau ribut, ributlah dengan niat.”
Lalu kita di sini, wak, menatap langit yang lebih gelap dari biasanya, sambil
scroll live streaming negara lain, sambil mikir, “Oh, jadi begini rasanya dewasa.”
Pada akhirnya, kembang api itu bukan soal cahaya atau suara. Ia simbol primitif, kita selamat melewati setahun penuh drama, utang, cinta gagal, dibohongi penguasa, dan janji resolusi yang dikhianati sejak Februari.
Tahun ini, mungkin kita memang perlu naik level, lebih banyak doa untuk yang tertimpa bencana, lebih banyak empati, lebih sedikit ledakan.
Selamat Tahun Baru 2026, wak. Semoga hidup kita lebih tenang, lebih waras, lebih berkah, tapi jangan steril-steril amat. Sedikit berisik masih perlu, sekadar pengingat, kita masih di sini, masih bernapas, masih punya harapan.
Kalau nanti ada tetangga nekat nyalain petasan jam 00.01, tarik napas saja. Itu cara paling jujur mereka bilang, “Halo, dunia. Aku masih hidup.”
Rosadi JamaniKetua Satupena Kalbar