ANGGITO Abimanyu resmi dilantik sebagai Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) periode 2025-2030 oleh Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto pada 8 Oktober 2025. Meskipun diselimuti oleh seleksi dan penetapan DK LPS yang kontroversial secara konstitusional. Anggito tetap dilantik menggantikan Purbaya Yudhi Sadewa yang sebelumnya telah menempati jabatan Menteri Keuangan. Pelantikan Anggito ini tercantum dalam Keppres Nomor 111 B Tahun 2025 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Anggota Dewan Komisioner LPS.
Di ujung tahun anggaran 2025, bagaimana sebenarnya kinerja Ketua LPS yang telah dua (2) bulan mengelola penjaminan simpanan? Menurut Anggota Dewan Komisioner Bidang Program Penjaminan Polis LPS Ferdinan Purba, selama sebelas (11) bulan di 2025, LPS telah melikuidasi empat (4) bank. Dan, memastikan kondisi LPS tak mengalami kesulitan secara keuangan atau finansial. Benarkah demikian adanya? Tentu saja harus dicermati kinerjanya dengan komprehensif.
Sebab, pembentukan LPS pada awalnya diberikan modal sejumlah Rp4 triliun oleh pemerintah dari sumber Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Berdasar data LPS, total pendapatan operasional di tahun pertama (periode 1 Januari sd 31 Desember 2006) berjumlah Rp3.1 triliun. Artinya, modal bertambah Rp7,1 triliun atau tumbuh sebesar 77,5 persen.
Namun, sejak beroperasi di awal tahun 2005 hingga November 2025, justru telah melikuidasi sejumlah 146 bank. Rinciannya, yaitu 1 bank umum, 129 bank perekonomian rakyat (BPR), dan 16 bank perekonomian rakyat syariah (BPRS). Pertanyaannya, apakah pelikuidasian ratusan lembaga keuangan dan perbankan ini sebuah kinerja positif atau negatif? Tentu jika dibandingkan dengan tahun 1999 (sebelum ada LPS), jumlah bank yang terkena dampak krisis hanya sejumlah 75 unit (31,3 persen).
Setidaknya, ada dua (2) faktor dalam menilai kinerja LPS, yaitu kelembagaan dan kemampuan penjaminan (insurancing power). Yang mana, faktor pertama untuk memastikan kualifikasi personalia dan sifat independensinya. Faktor kedua, lebih memastikan kesiapsiagaan keuangan LPS menghadapi resiko krisis ekonomi dan moneter.
Beban Penjaminan Meningkat
Secara kuantitatif, pada tahun 2024 LPS telah membukukan surplus sejumlah Rp27,42 triliun. Capaian ini meningkat 5,6 persen dibandingkan surplus tahun 2023 yang sejumlah Rp25,96 triliun. Peningkatan surplus ini ditopang oleh dua (2) sumber utama pendapatan LPS, yaitu premi penjaminan dan investasi. Surplus LPS mencapai Rp33,56 triliun atau meningkat 12,07 persen dibanding periode 2023 yang hanya Rp29,94 triliun.
Sumbernya, berasal dari pendapatan premi sejumlah Rp17,80 triliun atau naik 6,6 persen dibanding capaian 2023 sejumlah Rp16,69 triliun. Untuk tahun 2025, pendapatan LPS per Oktober 2025 tercatat Rp32,67 triliun. Perolehan surplus sebelum pajaknya mencapai Rp29,91 triliun. Pendapatan LPS dari premi penjaminan dan hasil investasi masing-masing jumlahnya mencapai Rp 18,54 triliun dan Rp 13,46 triliun.
Angka ini berkontribusi sebesar 56,76 persen dan 41,21 persen terhadap total pendapatan. Sisanya, LPS memperolehnya dari pengembalian klaim yang mencapai Rp121,32 miliar atau 0,37 persen. Hasilnya, total harta kekayaan tahun 2024 juga meningkat 13,7 persen menjadi Rp243,16 triliun, dibandingkan Rp213,69 triliun pada 2023.
Di sisi beban, LPS mencatatkan total pengeluaran sejumlah Rp5,8 triliun pada 2024. Beban ini meningkat 74,81 persen dari Rp3,32 triliun di tahun 2023 atau sejumlah Rp2,48 triliun. Peningkatan ini sebagian besar disebabkan oleh beban provisi klaim penjaminan yang melonjak drastis sebesar 368,3 persen. Dari Rp526,61 miliar tahun 2023 menjadi Rp2,46 triliun pada tahun 2024.
Selain itu, ada beban investasi sebesar Rp1,52 triliun sepanjang 2024 dibanding periode sebelumnya (2023) Rp1,36 triliun. LPS turut mencatatkan beban umum dan administrasi senilai Rp1,44 triliun dari Rp1,14 triliun. Sedangkan, beban klaim penjaminan berjumlah Rp784,2 miliar, beban persiapan resolusi bank Rp54,8 miliar, persiapan resolusi Rp7,4 miliar dan beban pemeriksaan premi Rp4,6 miliar. Total beban klaim premi dan resolusi berjumlah Rp851 miliar
Mengacu pada data itu, ternyata perolehan surplus LPS semakin menurun dibanding 2023 dan 2024. Walaupun, pendapatan investasi mengalami peningkatan sebesar 11,9 persen menjadi Rp14,66 triliun, dari Rp13,09 triliun pada tahun 2023. Yang mana, LPS juga memperoleh pendapatan dari pendapatan denda Rp338,31 juta, kontribusi kepesertaan Rp1 miliar, pengembangan klaim Rp163,32 miliar, dan lain-lain Rp926,58 miliar.
Peningkatan pendapatan juga didukung oleh cakupan penjaminan LPS sejumlah 657,19 juta rekening bank umum. Capaian kinerja ini setara 99,94 persen total rekening per Oktober 2025. Sementara untuk BPR dan BPRS, jumlahnya mencapai 15,84 juta rekening atau 99,97 persen dari total rekening per September 2025. Artinya, ada korelasi signifikan antara meningkatnya pendapatan dan surplus di satu sisi dan beban penjaminan disisi lain.
Selama 5 tahun dipimpin oleh Purbaya Yudhi Sadewa pertumbuhan dan perkembangan LPS cukup baik. Kinerja positif keuangan LPS terbukti dari total kekayaan (aset) yang meningkat di tahun 2022 mencapai Rp 186,75 triliun. Harta kekayaan LPS ini setahun berikutnya (tahun 2023) telah mencapai Rp213,69 triliun. Hanya saja peningkatan perolehan harta kekayaan ini juga diikuti oleh kenaikan beban penjaminan. Pendapatan meningkat hanya sebesar 41-57 persen, tapi beban naik lebih besar, yaitu 70-75 persen.
Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai pengawas lembaga keuangan dan perbankan juga mencatat berkurangnya jumlah bank likuidasi di Indonesia. Di awal tahun 2025, terdapat sejumlah 1.627 unit. Terdiri dari 105 Bank Umum dan 1.522 BPR/BPRS (Bank Perkreditan Rakyat/Syariah). Dengan likuidasi atas 4 bank di periode 2025, maka jumlahnya menjadi 1.622 unit. Sementara, tahun 2024, terdapat 20 unit BPRS yang bangkrut/dilikuidasi sehingga jumlah BPR/S berkurang menjadi 1.502 unit.
Dibandingkan Tahun 2023, 1.680 bank (105 bank umum, 1.575 BPR/BPRS), yang mana 59 bangkrut atau dilikuidasi tahun 2022. Jumlah bank memang semakin berkurang sejak tahun 2021, yaitu 1.739 bank (107 bank umum, 1.632 BPR/BPRS). Tetapi, berkurangnya jumlah bank tersebut bernilai negatif jika dikaitkan dengan meningkatnya beban keuangan LPS. Berakibat pada kekuatan penjaminan (insurancing power) LPS yang tak cukup mampu untuk mengatasi resiko kebangkrutan/likuidasi bank.
Lalu, bagaimana halnya kinerja dan independensi LPS pasca dijabat oleh Ketua dan anggota DK yang melanggar proses dan mekanisme seleksinya? Apakah Anggito Abimanyu mampu menurunkan jumlah bank yang dilikuidasi dan beban keuangan LPS. Tentu publik sangat menyangsikan kinerja yang bersangkutan. Hal ini didasarkan pada rekam jejak pengalamannya di berbagai lembaga negara lain seperti BPKH. Ditambah lagi oleh proses keterpilihannya sebagai Ketua LPS yang melanggar aturan UU PPSK.
Defiyan Cori
Ekonom Konstitusi