TAHUN 2025 bukanlah tahun yang ditandai oleh gemerlap seremoni. Ia adalah tahun kerja -tahun ketika negara kembali menata fondasi. Di tengah dunia yang bergejolak oleh konflik geopolitik, ketidakpastian ekonomi, dan krisis kepercayaan publik, Indonesia justru memilih untuk memulai dari hal yang paling mendasar: memastikan rakyatnya makan dengan layak, sehat sejak dini, dan memiliki akses pendidikan yang relevan dengan masa depan.
Dalam tahun pertama pemerintahan Prabowo Subianto, arah itu terlihat cukup jelas. Negara tidak menunggu keadaan menjadi ideal untuk bertindak. Ia bergerak sembari membenahi, mengeksekusi sambil mengoreksi.
Negara Kembali Hadir di Ruang Dasar Kehidupan
Peluncuran program Makan Bergizi Gratis (MBG) pada Januari 2025 menjadi penanda penting. Kebijakan ini bukan sekadar bantuan sosial, melainkan pernyataan politik yang tegas: kualitas sumber daya manusia tidak bisa diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar atau ditunda hingga pertumbuhan ekonomi “cukup”.
Dengan capaian lebih dari 50 juta penerima manfaat di akhir tahun, MBG menunjukkan skala keberanian fiskal dan administratif yang jarang dilakukan. Ia berjalan berdampingan dengan Cek Kesehatan Gratis (CKG) serta distribusi layar belajar interaktif ke ratusan ribu sekolah—membentuk satu garis kebijakan yang konsisten dari gizi, kesehatan, hingga pendidikan.
Di sinilah negara kembali memasuki ruang-ruang yang selama ini terlalu lama dianggap urusan privat, padahal dampaknya sangat publik -terutama bagi generasi muda yang akan menentukan arah Indonesia beberapa dekade ke depan.
Disiplin Tata Kelola sebagai Fondasi KepercayaanTahun 2025 juga memperlihatkan perubahan pendekatan negara terhadap praktik ekonomi yang tampak kecil, tetapi sesungguhnya menggerogoti kepercayaan rakyat. Penindakan terhadap BBM oplosan, minyak goreng dengan isi dikurangi, serta ratusan merek beras premium oplosan menunjukkan bahwa ketertiban pasar bukan sekadar urusan efisiensi, melainkan keadilan.
Pesannya sederhana namun penting: negara tidak lagi permisif terhadap praktik yang merugikan konsumen, sekecil apa pun skalanya. Dalam jangka panjang, disiplin semacam ini justru menjadi fondasi bagi iklim usaha yang sehat—ruang di mana generasi muda dapat bertumbuh sebagai wirausahawan, inovator, dan profesional dengan rasa keadilan yang sama.
Pendirian Danantara, dengan konsolidasi aset BUMN sekitar Rp16.000 triliun, juga mencerminkan upaya membangun disiplin baru dalam pengelolaan kekayaan negara. Ini bukan semata soal sentralisasi, melainkan upaya mengakhiri fragmentasi dan ego sektoral yang selama ini melemahkan daya ungkit negara.
Pemuda sebagai Motor Penggerak Membangun PeradabanNamun fondasi negara tidak akan bermakna tanpa aktor utama yang menggerakkannya. Di sinilah peran kaum muda menjadi penentu. Program magang berbayar untuk 100.000 peserta, Sekolah Rakyat, penguatan koperasi desa, hingga transformasi digital pendidikan bukan sekadar program sosial -melainkan investasi pada kepemimpinan masa depan.
Pemuda tidak lagi cukup diposisikan sebagai bonus demografi. Ia harus diperlakukan sebagai motor penggerak membangun peradaban—agen perubahan yang bukan hanya adaptif secara teknologi, tetapi juga matang secara etika, tangguh secara karakter, dan sadar akan tanggung jawab sosialnya.
Bangsa ini tidak hanya membutuhkan generasi yang cakap bekerja, tetapi generasi yang mampu memimpin dengan nilai. Tanpa keterlibatan aktif pemuda dalam ekonomi produktif, tata kelola publik, dan ruang-ruang pengambilan keputusan, fondasi kebijakan sekuat apa pun akan kehilangan daya dorongnya.
Politik Luar Negeri yang Jelas dan BeraniDi panggung global, Indonesia pada 2025 tidak lagi berbicara dengan nada ragu. Pidato Presiden Prabowo di parlemen Turki, di St. Petersburg International Economic Forum, hingga di Sidang Umum PBB menunjukkan politik luar negeri bebas aktif yang kembali menemukan keberanian moralnya.
Keputusan Indonesia memimpin pengakuan Palestina oleh 142 negara dan komitmen pengiriman pasukan perdamaian ke Gaza menegaskan bahwa bebas aktif bukan berarti netral tanpa nilai. Ini adalah warisan diplomasi yang kelak akan diwariskan kepada generasi muda Indonesia: bahwa keberanian moral dan kepentingan nasional tidak harus dipertentangkan.
Pembangunan Tanpa IlusiTentu, 2025 bukan tahun tanpa catatan. Insiden dalam pelaksanaan MBG, proyek-proyek yang masih berjalan, serta tantangan fiskal dan birokrasi ke depan adalah pengingat bahwa membangun negara tidak pernah linier. Fondasi tidak selalu terlihat indah, dan sering kali menuntut kesabaran.
Namun justru di situlah kejujuran 2025. Tidak ada klaim bahwa semua telah selesai. Yang ada adalah kesadaran bahwa arah harus ditetapkan sejak awal, meskipun jalannya panjang dan berliku.
Refleksi Akhir: Menjaga Arah, Menyiapkan GenerasiJika 2024 adalah tahun transisi, maka 2025 adalah tahun penegasan arah. Ia belum menghasilkan panen besar, tetapi telah menyiapkan lahan -dan menanam benih.
Tantangan menuju 2026 bukan hanya soal percepatan program, melainkan memastikan bahwa generasi muda siap mengambil estafet peradaban. Negara boleh membangun sistem, tetapi pemuda yang akan menghidupkannya. Negara bisa menyediakan fondasi, tetapi pemuda yang akan menentukan tinggi bangunannya.
Bangsa ini tidak kekurangan gagasan, tetapi sering kehilangan konsistensi. Ia tidak kekurangan potensi muda, tetapi kerap gagal memberi ruang tumbuh yang adil dan bermakna. Karena itu, pekerjaan besar kita ke depan adalah menyatukan kebijakan negara dengan energi pemuda dalam satu arah sejarah.
Jika keberanian untuk mengoreksi diri tetap dijaga, partisipasi pemuda terus diperluas, dan kepentingan jangka panjang ditempatkan di atas godaan popularitas sesaat, maka 2025 akan dikenang sebagai tahun ketika fondasi negara ditegakkan—dan generasi penerusnya mulai disiapkan secara sadar.
Dari fondasi dan generasi itulah, 2026 layak menjadi tahun percepatan yang sesungguhnya.
Teguh AnantawikramaKetua Dewan Pembina Solidaritas Pemuda Desa