Wakil Menteri Hukum (Wamenkum) Edward Omar Sharif Hiariej, atau Eddy Hiariej (RMOL/Faisal Aristama)
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) nasional yang akan berlaku mulai 2 Januari 2026 dipastikan tidak berorientasi balas dendam.
Demikian disampaikan Wakil Menteri Hukum (Wamenkum) Edward Omar Sharif Hiariej, atau Eddy Hiariej, dalam kuliah hukum bertajuk "Kupas Tuntas KUHP dan KUHAP Nasional” di Jakarta, Selasa 23 Desember 2025.
Menurut Eddy, KUHP nasional mengedepankan pendekatan keadilan korektif, restoratif, rehabilitatif, serta reintegrasi sosial. Karena itu, tidak seluruh proses hukum harus berakhir dengan pidana penjara.
“(KUHP nasional) Sudah tidak lagi menggunakan hukum pidana sebagai sarana balas dendam. Dia tidak lagi mengutamakan keadilan retributif,” katanya.
Ia menjelaskan, dalam KUHP nasional, sanksi tidak selalu berbentuk pidana penjara. Hakim diberi ruang untuk menjatuhkan sanksi non-penjara, seperti pidana pengawasan, kerja sosial, hingga pemaafan hakim dalam perkara tertentu.
“KUHP baru itu sanksinya bisa pidana, bisa tindakan,” ujarnya.
Eddy menambahkan, hakim juga didorong untuk sedapat mungkin tidak menjatuhkan pidana penjara, kecuali untuk kejahatan berat dengan ancaman hukuman jangka panjang.
“Kalau hakim mau menjatuhkan pidana penjara, maka bukan pidana penjahat dalam waktu singkat, tapi dalam waktu yang lama untuk kejahatan berat, seperti pembunuhan, pemerkosaan,” jelasnya.
Atas dasar itu, KUHP nasional menghapus pidana kurungan yang maksimal hanya satu tahun. Eddy menilai, pidana kurungan justru berkontribusi terhadap persoalan kelebihan kapasitas lembaga pemasyarakatan.
Ia mengungkapkan, saat ini jumlah narapidana di Indonesia mencapai sekitar 270.000 orang, sementara kapasitas lapas hanya sekitar 160.000 orang.
Lapas Cipinang yang memiliki kapasitas hanya 1.500 warga binaan kini menampung sekitar 3.500 warga binaan. Dari jumlah itu, sebanyak 80 persen merupakan narapidana kasus narkoba dan 90 persen dari jumlah itu adalah penyalahguna.
Eddy mengingatkan, terlalu mudah menjatuhkan pidana penjara justru berdampak buruk bagi pelaku.
“Kalau sedikit-sedikit di penjara, sedikit-sedikit di penjara, di penjara sedikit-sedikit, itu orang keluar dari lembaga pemasyarakatan, itu bukan tambah baik, tambah buruk,” katanya.
Karena itu, ia menegaskan KUHP nasional memberikan kesempatan kedua bagi pelaku tindak pidana untuk memperbaiki diri dan kembali ke masyarakat. Sebab, sambungnya, sejahat-jahatnya orang, pasti pernah berbuat baik. Sebaik-baiknya orang, pasti pernah berbuat jahat.
“KUHP nasional memberikan second chance, kesempatan kedua kepada pelaku tindak pidana untuk bertobat, berbuat baik, dan tidak mengulangi tindak pidana lagi,” pungkas Eddy.