Menteri Kebudayaan Fadli Zon dalam rangkaian kegiatan Budaya Tempe Goes to UNESCO yang digelar Kementerian Kebudayaan di Jakarta (Foto: Kemenbud)
Di balik kesederhanaannya, tempe menyimpan cerita panjang tentang cara hidup masyarakat Indonesia. Ia bukan sekadar lauk di meja makan, melainkan hasil dari pengetahuan tradisional, kearifan lokal, dan filosofi kebersamaan yang diwariskan lintas generasi. Inilah pesan utama yang ingin disampaikan dalam rangkaian kegiatan Budaya Tempe Goes to UNESCO yang digelar Kementerian Kebudayaan di Jakarta.
Melalui festival budaya ini, pemerintah mengajak masyarakat melihat tempe dari sudut pandang yang lebih luas. Tempe diposisikan sebagai ekspresi budaya, hasil dialog antara manusia, alam, dan nilai sosial, yang layak diperjuangkan pengakuannya sebagai Warisan Budaya Takbenda Dunia oleh UNESCO.
Menteri Kebudayaan Fadli Zon menegaskan bahwa Budaya Tempe tidak bisa dipahami hanya sebagai produk pangan. Di dalam proses pembuatannya terkandung pengetahuan tradisional, etika keberlanjutan, hingga filosofi hidup yang mencerminkan kedaulatan pangan masyarakat lokal.
Tempe lahir dari praktik sederhana namun sarat makna: pemanfaatan bahan lokal, pengolahan alami, dan kerja kolektif yang melibatkan komunitas. Nilai-nilai inilah yang menurut Fadli sejalan dengan visi kemandirian pangan nasional, sekaligus menunjukkan bahwa budaya kuliner Indonesia memiliki kedalaman intelektual dan ekologis.
Lebih dari itu, Budaya Tempe juga hidup dalam denyut ekonomi rakyat. Ratusan ribu komunitas pembuat tempe dan jutaan perajin di berbagai daerah menjadikan tempe sebagai sumber penghidupan. Fakta ini memperlihatkan bahwa warisan budaya tidak berdiri terpisah dari kehidupan sehari-hari, melainkan tumbuh bersama masyarakatnya.
“Jadi ini bagian juga dari ekonomi budaya, karena budaya itu termasuk di dalam objek pemajuan kebudayaan itu termasuk juga pangan lokal, karena pangan lokal ini ada ekspresi budaya di dalamnya tidak bisa dipisahkan dari cultural expression atau ekspresi budaya,” ujar Fadli Zon, dalam keterangannya di Jakarta, Senin 22 Desember 2025.
Dalam konteks pemajuan kebudayaan, tempe juga mencerminkan konsep ekonomi budaya. Ia bukan sekadar komoditas, tetapi mengandung ekspresi budaya yang menyatu dengan identitas, tradisi, dan cara pandang masyarakat terhadap alam dan kesehatan.
Festival Budaya Tempe pun dirancang sebagai ruang perjumpaan antara nilai tradisi dan gaya hidup masa kini. Beragam kegiatan edukatif, seni, ekonomi kreatif, hingga olahraga digelar untuk menunjukkan bahwa tempe tetap relevan di tengah perubahan zaman. Tema “Tidak Ada yang Tahu Semua Tempe” menjadi pengingat bahwa tempe terus berkembang, terbuka untuk inovasi, namun tetap berakar pada tradisi.
Salah satu simbol kuat dalam festival ini adalah Fun Run Budaya Tempe. Setiap langkah peserta dimaknai sebagai dukungan kolektif untuk mengangkat tempe ke panggung dunia, sekaligus ajakan menjadikan tempe bagian dari gaya hidup sehat dan berkelanjutan.
Lebih jauh, kegiatan ini juga menegaskan pentingnya kolaborasi lintas sektor. Pemerintah, komunitas budaya, akademisi, pelaku usaha, hingga masyarakat umum dipandang memiliki peran yang sama penting dalam menjaga keberlanjutan Budaya Tempe sebagai identitas sekaligus sistem pengetahuan tradisional.
Dukungan internasional pun terlihat dari kehadiran perwakilan berbagai negara sahabat. Hal ini memperkuat pesan bahwa Budaya Tempe bukan hanya milik Indonesia, tetapi juga memiliki nilai universal yang relevan dengan isu global seperti keberlanjutan, pangan sehat, dan solidaritas sosial.
Melalui Budaya Tempe Goes to UNESCO, pemerintah ingin menegaskan bahwa kearifan lokal tidak boleh dipandang remeh. Tempe adalah bukti bahwa dari dapur-dapur sederhana Nusantara, lahir warisan budaya yang mampu berbicara di tingkat dunia -- tentang kebersahajaan, keberlanjutan, dan filosofi hidup yang menyatukan manusia dengan alam.