Berita

Ilustrasi

Publika

Mengapa Media Sosial Membungkam Suara Minoritas dalam Diskursus Politik Digital?

Oleh: Muhammad Abdan Syakuro
JUMAT, 19 DESEMBER 2025 | 15:17 WIB

MEDIA sosial kerap dipuji sebagai ruang demokratis yang memungkinkan setiap orang menyuarakan pendapatnya secara bebas. Namun, realitas yang terjadi di ruang digital Indonesia justru menunjukkan paradoks: semakin terbuka platform komunikasi, semakin banyak individu yang memilih diam. Dalam diskursus politik, khususnya menjelang pemilu, suara-suara minoritas sering kali tenggelam, bukan karena tidak ada, melainkan karena takut bersuara.

Fenomena ini tidak terjadi secara kebetulan. Media sosial secara sistematis menciptakan lingkungan komunikasi yang menampilkan opini dominan sebagai kebenaran mayoritas. Jumlah like, retweet, komentar, dan algoritma yang mempromosikan konten viral membentuk persepsi publik tentang “pendapat yang aman” dan “pendapat yang berisiko”. Akibatnya, individu yang memiliki pandangan berbeda cenderung menahan diri agar tidak menjadi sasaran serangan verbal, perundungan daring, atau stigma sosial.

Dalam teori komunikasi, kondisi ini dikenal sebagai Spiral of Silence, yaitu kecenderungan individu untuk menyembunyikan pendapatnya ketika merasa berada di posisi minoritas. Media sosial memperkuat spiral ini karena opini publik tidak hanya terlihat, tetapi juga diukur dan diperingkat secara kuantitatif. Opini yang tidak populer menjadi semakin tidak terlihat, sementara opini dominan tampak seolah mewakili konsensus publik.


Masalahnya, media sosial tidak hanya menjadi ruang ekspresi personal, tetapi juga arena pembentukan opini publik. Ketika ruang ini didominasi oleh satu narasi, maka diskursus publik kehilangan keberagamannya. Demokrasi digital yang seharusnya membuka ruang dialog justru berubah menjadi ruang homogen, di mana perbedaan dianggap ancaman, bukan kekayaan perspektif.

Lebih jauh, spiral pembungkaman ini memiliki dampak serius. Individu yang terus-menerus memilih diam dapat kehilangan kepercayaan diri politik, sementara kelompok dominan semakin merasa memiliki legitimasi moral untuk menyerang pandangan berbeda. Dalam jangka panjang, kondisi ini berpotensi memperkuat polarisasi dan melemahkan budaya diskusi yang sehat di masyarakat.

Perlu disadari bahwa media sosial bukanlah ruang netral. Desain platform, logika algoritma, dan budaya interaksi digital ikut menentukan siapa yang terdengar dan siapa yang dibungkam. Oleh karena itu, tanggung jawab tidak hanya berada pada pengguna, tetapi juga pada platform dan media daring yang sering mengutip atau memperkuat opini viral tanpa mempertimbangkan keberagaman suara.

Jika media dan platform digital ingin benar-benar mendukung demokrasi, maka ruang digital harus dikelola secara lebih inklusif. Literasi digital perlu diperkuat agar masyarakat memahami bahwa opini yang populer belum tentu benar, dan opini minoritas tidak selalu salah. Tanpa kesadaran ini, media sosial akan terus menjadi ruang yang tampak ramai, tetapi sebenarnya sunyi bagi mereka yang berbeda.

Pada akhirnya, tantangan terbesar komunikasi digital hari ini bukan sekadar melawan hoaks atau ujaran kebencian, melainkan membuka kembali ruang aman bagi perbedaan pendapat. Tanpa itu, kebebasan berekspresi di media sosial hanya akan menjadi ilusi, dan spiral keheningan akan terus berputar, membungkam suara-suara yang seharusnya ikut didengar.

Penulis adalah pemerhati media sosial dan mahasiswa magister UPN Veteran Jakarta

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

OTT Beruntun! Giliran Jaksa di Bekasi Ditangkap KPK

Kamis, 18 Desember 2025 | 20:29

Ini Susunan Lengkap Direksi dan Komisaris bank bjb

Selasa, 09 Desember 2025 | 17:12

Bahlil Minta Maaf Usai Prank Presiden Prabowo

Selasa, 09 Desember 2025 | 18:00

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

UPDATE

Rumah Dinas Kajari Bekasi Disegel KPK, Dijaga Petugas

Jumat, 19 Desember 2025 | 20:12

Purbaya Dipanggil Prabowo ke Istana, Bahas Apa?

Jumat, 19 Desember 2025 | 20:10

Dualisme, PB IKA PMII Pimpinan Slamet Ariyadi Banding ke PTTUN

Jumat, 19 Desember 2025 | 19:48

GREAT Institute: Perluasan Indeks Alfa Harus Jamin UMP 2026 Naik

Jumat, 19 Desember 2025 | 19:29

Megawati Pastikan Dapur Baguna PDIP Bukan Alat Kampanye Politik

Jumat, 19 Desember 2025 | 19:24

Relawan BNI Ikut Aksi BUMN Peduli Pulihkan Korban Terdampak Bencana Aceh

Jumat, 19 Desember 2025 | 19:15

Kontroversi Bantuan Luar Negeri untuk Bencana Banjir Sumatera

Jumat, 19 Desember 2025 | 18:58

Uang Ratusan Juta Disita KPK saat OTT Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 18:52

Jarnas Prabowo-Gibran Dorong Gerakan Umat Bantu Korban Banjir Sumatera

Jumat, 19 Desember 2025 | 18:34

Gelora Siap Cetak Pengusaha Baru

Jumat, 19 Desember 2025 | 18:33

Selengkapnya