Ilustrasi
Ilustrasi
MEDIA sosial kerap dipuji sebagai ruang demokratis yang memungkinkan setiap orang menyuarakan pendapatnya secara bebas. Namun, realitas yang terjadi di ruang digital Indonesia justru menunjukkan paradoks: semakin terbuka platform komunikasi, semakin banyak individu yang memilih diam. Dalam diskursus politik, khususnya menjelang pemilu, suara-suara minoritas sering kali tenggelam, bukan karena tidak ada, melainkan karena takut bersuara.
Fenomena ini tidak terjadi secara kebetulan. Media sosial secara sistematis menciptakan lingkungan komunikasi yang menampilkan opini dominan sebagai kebenaran mayoritas. Jumlah like, retweet, komentar, dan algoritma yang mempromosikan konten viral membentuk persepsi publik tentang “pendapat yang aman” dan “pendapat yang berisiko”. Akibatnya, individu yang memiliki pandangan berbeda cenderung menahan diri agar tidak menjadi sasaran serangan verbal, perundungan daring, atau stigma sosial.
Dalam teori komunikasi, kondisi ini dikenal sebagai Spiral of Silence, yaitu kecenderungan individu untuk menyembunyikan pendapatnya ketika merasa berada di posisi minoritas. Media sosial memperkuat spiral ini karena opini publik tidak hanya terlihat, tetapi juga diukur dan diperingkat secara kuantitatif. Opini yang tidak populer menjadi semakin tidak terlihat, sementara opini dominan tampak seolah mewakili konsensus publik.
Populer
Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21
Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58
Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53
Kamis, 18 Desember 2025 | 20:29
Selasa, 09 Desember 2025 | 17:12
Selasa, 09 Desember 2025 | 18:00
Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37
UPDATE
Jumat, 19 Desember 2025 | 10:13
Jumat, 19 Desember 2025 | 10:12
Jumat, 19 Desember 2025 | 10:05
Jumat, 19 Desember 2025 | 10:04
Jumat, 19 Desember 2025 | 09:59
Jumat, 19 Desember 2025 | 09:48
Jumat, 19 Desember 2025 | 09:28
Jumat, 19 Desember 2025 | 09:19
Jumat, 19 Desember 2025 | 09:05
Jumat, 19 Desember 2025 | 08:54