Berita

Tumpukan kayu gelondongan menimbun permukiman warga di Aceh Tamiang. (Foto: Facebook Anies Baswedan)

Publika

Sumatera Butuh Empati, Indonesia Butuh Solusi

JUMAT, 19 DESEMBER 2025 | 06:43 WIB

SUMATERA berduka. Mulai dari Aceh, Sumut, Sumbar, bahkan sebagian bencana menimpa Sumsel hingga Lampung. Ribuan nyawa melayang serta ribuan rumah hanyut dan entah kemana rimbanya. Siapa pelaku di balik bencana? 

Yang pasti, bukan salah Tuhan. Bukan juga salah alam. Anak kecil tahu: "banjir terjadi akibat ulah manusia". Ini pengetahuan dasar. Gak perlu bantahan para pejabat dan penjelasan para ahli lingkungan. Beda dengan gempa dan tsunami, tak ada kemampuan manusia untuk terlibat. 

Lalu, siapa di balik bencana Sumatera ini? Kita semua tahu jawabannya. Pihak yang terlibat adalah pemilik perusahaan yang menebang hutan. Legal, maupun ilegal. Pemilik perusahaan tidak sendirian. 


Mereka tak akan mampu menebang hutan, juga tak akan bisa membuka lahan tambang tanpa melibatkan para pejabat di institusi pemerintahan. Juga aparat. Kita sering menyebutnya oknum. 

Tapi, keterlibatan ini seringkali bersifat struktural dan sistematis (terencana). Jika hanya "oknum", mengapa penebangan hutan dan pembukaan lahan tambang selalu terstruktur, dilakukan secara masif (di berbagai wilayah) dan terencana? Masih tepatkah menyebut oknum?

Seorang kepala dinas ESDM dari salah satu wilayah tambang pernah saya tanya: ada berapa perusahaan tambang di wilayah ini yang punya IUP (Izin Usaha Pertambangan)? Dia jawab: sekitar 300. Tapi, ada lebih dari 1.000 penambang di sini yang tidak punya IUP, katanya. Maksudnya ilegal, tanyaku. Betul, jawabnya.

Inilah gambaran praktik tambang di wilayah hutan Indonesia. Jumlah tambang ilegal lebih banyak dari tambang legal. Bisa tiga hingga empat kali lipat. Yang legal saja seringkali bermasalah terkait data, prosedur, syarat dan tanggung jawab reklamasinya, apalagi yang ilegal. 

Illegal mining ini berlaku di tambang batubara, emas, nikel, dan timah. Empat tambang ini yang paling seksi. Selain sejumlah tambang lain seperti tembaga, bauksit, galian C, dll. Hutan lindung dan hutan konservasi rusak parah karena ekoploitasi tambang-tambang ini.

Dan yang tidak kalah dahsyatnya adalah transformasi hutan ke sawit dan sejenisnya. Jumlahnya puluhan juta hektare.

Hasil dari praktik deforestasi, penambangan ilegal dan tambang legal ber-IUP, yang banyak dimanipulasi ini telah mengakibatkan bencana banjir di berbagai wilayah Indonesia. 

Tidak terhitung lagi berapa ratus ribu nyawa telah hilang, rumah hanyut, infrastruktur dan jalan rusak. Data bencana lengkap dengan kerugian, kerusakan dan kematian di berbagai wilayah bisa di-googling. Sumatera hanya salah satunya. Sebelumnya, bencana menjadi rutinitas tahunan, bahkan bulanan.

Banjir dan longsor yang diikuti dengan kematian warga yang tinggal di sekitar hutan sudah seperti ritual. Bahkan beberapa kali terjadi setiap tahunnya. Dari skala kecil hingga besar. Dampaknya mematikan, memiskinkan, menguras uang negara dan merusak segalanya. 

"Setiap bencana selalu mendatangkan empati, tapi bukan solusi." Penebangan hutan jalan terus, penambangan ilegal semakin liar dan vulgas.

Setiap bencara datang selalu disambut dengan ucapan duka, bantuan dan doa. Ini tidak salah dan harus terus dilanjutkan. Tapi, ucapan dan bantuan bukan solusi. Itu semua tak akan mampu menghentikan bencana banjir. 

Minggu depan, bulan depan dan tahun depan bencana rutin akan terus datang dan mengambil puluhan hingga ribuan nyawa manusia. Itulah Indonesia.

Mereka yang mati bukan para penebang hutang, bukan keluarga pemilik tambang, bukan saudaranya menteri kehutanan, ESDM dan menteri lingkungan hidup. 

Mereka juga bukan dari keluarga aparat yang mencari tambahan rizki di luar gaji. Mereka bukan juga keluarga bupati, gubernur, kepala dinas, para pejabat dan pimpinan partai. Bukan. 

Mereka yang mati adalah warga miskin yang hidup di pinggiran hutan dan sungai. Mereka telah lama terpinggirkan oleh kebijakan negara, mati juga diterjang banjir.

Sampai kapan negara membiarkan bencana ini? Semua orang tahu perusahaan mana saja yang harus bertanggun jawab? Rakyat juga tahu institusi mana yang kongkalikong, terlibat dan jadi back up perusahaan-perusahaan itu. 

Kabarnya, Presiden telah mengantongi identitas sejumlah perusahaan dan nama-nama pejabat yang terlibat. Kita tunggu ekskusinya.

Bencana banjir bukan ulah satu orang. Tapi ulah sejumlah kelompok usaha yang kolaborasi dengan "oknum" kekuasaan dan aparat. Gak bisa dikerjakan sendiri tanpa sinergi pemilik modal dan para pejabat di tingkat elite maupun daerah. Dikerjakan secara sistematis dan terstruktur. 

"Mustahil" mereka bisa dimintai tanggung jawab. Terlalu kuat. Punya akses kekuasaan. Bahkan sebagian merupakan bagian dari kekuasaan itu sendiri. Anda berkhayal jika masih berpikir ada pihak yang bisa dituntut untuk bertanggung jawab. Itu kategori khayalan tingkat tinggi. 

Kenapa? Karena hampir semua terlibat. Hampir semua terima setoran. Ada bagi-bagi hasil jarahan hutan dan tambang. Entah apapun istilah dan sandi yang mereka bikin. Bagi-bagi hasil itu pasti. Seberapanya, itu bergantung kesepakatan dan hasil nego. Bergantung posisi dan jabatan. "Tidak ada makan siang sendirian bro!"

Di atas wilayah yang terkena bancana banjir Sumatera itu, ada perusahaan-perusahaan yang nama-namanya mulai beredar. Itu milik siapa, masyarakat mudah mengenaliinya. Juga siapa-siapa komisarisnya, itu menjadi petunjuk untuk mengetahui para backing. Anda juga mudah mengetahuinya. Googling.

Jika anda berpikir lebih jauh lagi, bahwa bencana banjir akibat deforestasi ini tidak hanya di Sumatera, tapi juga di Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua dan hampir seluruh wilayah Indonesia. 

Apakah bencana yang semakin rutin menyapa negara ini, lalu membuat negara sadar dan melakukan evaluasi nasional?

Anda berhak pesimis. Sebab, pesimisme anda punya alasan historis.

Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

OTT Beruntun! Giliran Jaksa di Bekasi Ditangkap KPK

Kamis, 18 Desember 2025 | 20:29

Ini Susunan Lengkap Direksi dan Komisaris bank bjb

Selasa, 09 Desember 2025 | 17:12

Bahlil Minta Maaf Usai Prank Presiden Prabowo

Selasa, 09 Desember 2025 | 18:00

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

UPDATE

Rumah Dinas Kajari Bekasi Disegel KPK, Dijaga Petugas

Jumat, 19 Desember 2025 | 20:12

Purbaya Dipanggil Prabowo ke Istana, Bahas Apa?

Jumat, 19 Desember 2025 | 20:10

Dualisme, PB IKA PMII Pimpinan Slamet Ariyadi Banding ke PTTUN

Jumat, 19 Desember 2025 | 19:48

GREAT Institute: Perluasan Indeks Alfa Harus Jamin UMP 2026 Naik

Jumat, 19 Desember 2025 | 19:29

Megawati Pastikan Dapur Baguna PDIP Bukan Alat Kampanye Politik

Jumat, 19 Desember 2025 | 19:24

Relawan BNI Ikut Aksi BUMN Peduli Pulihkan Korban Terdampak Bencana Aceh

Jumat, 19 Desember 2025 | 19:15

Kontroversi Bantuan Luar Negeri untuk Bencana Banjir Sumatera

Jumat, 19 Desember 2025 | 18:58

Uang Ratusan Juta Disita KPK saat OTT Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 18:52

Jarnas Prabowo-Gibran Dorong Gerakan Umat Bantu Korban Banjir Sumatera

Jumat, 19 Desember 2025 | 18:34

Gelora Siap Cetak Pengusaha Baru

Jumat, 19 Desember 2025 | 18:33

Selengkapnya