Berita

Ilustrasi Pilkada langsung. (Foto: KPU.go.id)

Publika

Pilpres dan Pilkada Langsung: Demokrasi Kaum Pembohong

KAMIS, 18 DESEMBER 2025 | 00:14 WIB | OLEH: DR. MULYADI OPU ANDI TADAMPALI*

UNDANG-Undang Dasar "Senyap" Tahun 2002 (UUD’2002) yang tiba-tiba menggantikan UUD’1945 adalah sumber dari segala sumber bencana struktural di Indonesia.

Bencana struktural berupa kekecauan di berbagai bidang terutama politik, ekonomi, hukum, dan sosial langsung atau tidak langsung disebabkan oleh pembubaran Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai "Penjelmaan Rakyat dan Lembaga Tertinggi Negara", pembubaran Dewan Pertimbangan Agung (DPA) sebagai "Lembaga Pertimbangan Rakyat", dan penghapusan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai pedoman "Rencana Kerja Presiden", serta  berlakunya Pasal 6 UUD’2002 tentang penghapusan kata asli bagi syarat presiden, berlakunya Pasal 6A Ayat (2) klausul terakhir UUD’2002 tentang gabungan partai politik dalam pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden dalam pemilihan umum (pemilu) langsung, dan berlakunya Pasal 33 Ayat (4) UUD’2002 tentang demokrasi ekonomi.

Menggunakan pendekatan genealogi-kosmologi politik dan analisis penalaran reflektif, tulisan ini membuktikan bagaimana Oligarki Kembar Tiga: "Badut Politik", "Bandar Politik", dan "Bandit Politik" mengimplementasikan kebohongan demokrasi dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Langsung. Tujuan politik terselubung jangka panjang dari kebohongan demokrasi dalam Pilpres dan Pilkada Langsung adalah neo-kolonialisme dan neo-imperialisme asing yang menggunakan tangan Oligarki Kembar Tiga dengan terlebih dahulu mengambilalih kedaulatan dan kekuasaan politik, ekonomi, dan sosial dari tangan rakyat Indonesia atau bangsa Indonesia Asli (kaum pribumi).


Tulisan ini memaparkan bagaimana Pilpres dan Pilkada Langsung menjadi faktor penting yang mempengaruhi munculnya tiga bencana struktural yang berdampak besar terhadap kehidupan kaum pribumi hingga mengancam eksistensi Republik Indonesia. Tiga bencana struktural paling mengemuka yang saya maksud, yaitu:

(1) Bencana politik struktural, berupa kemalangan dan penderitaan politik kaum pribumi akibat beralihnya kedaulatan dan kekuasaan politik ke tangan Oligarki Politik ("Badut Politik"), seperti korupsi dan suap politik yang melibatkan berbagai pihak, tekanan politik terhadap oposisi, dan lain-lain;

(2) Bencana ekonomi struktural, berupa kemalangan dan penderitaan ekonomi kaum pribumi akibat beralihnya kedaulatan dan kekuasaan ekonomi ke tangan Oligarki Ekonomi ("Bandar Politik"); seperti ketergantungan ekonomi pada utang dan investasi asing, monopoli sumber daya alam oleh konglomerat oligarkis, penindasan harga komoditas oleh pengusaha besar, dan lain-lain;

(3) Bencana sosial struktural, berupa kemalangan dan penderitaan sosial kaum pribumi akibat beralihnya kedaulatan dan kekuasaan sosial ke tangan kaum Oligarki Sosial ("Bandit Politik"), seperti penindasan hak-hak adat masyarakat pribumi, politik ekstraktivisme yang ugal-ugalan, perampasan tanah masyarakat pribumi, intimidasi terhadap aktivis sosial, dan lain-lain.

Demokrasi Kaum Pembohong

"Demokrasi Kaum Pembohong" adalah suatu kondisi di mana praktik demokrasi secara sengaja dibuat menyimpang jauh dari nilai-nilai, kriteria, dan prosedur demokrasi. Dalam konteks ini, tujuan dari "Demokrasi Kaum Pembohong" dalam Pilpres dan Pilkada Langsung adalah membajak pemilu dan menyandera demokrasi. Secara strategis, "Demokrasi Kaum Pembohong"dalam Pilpres dan Pilkada Langsung  adalah "sisat licik" kaum oligark (Oigarki Kembar Tiga) bersekongkol dalam merampas kedaulatan dan kekuasaan politik, ekonomi, dan sosial dari tangan kaum pribumi.

Siasat licik ini dapat dicermati dari beberapa masalah intrinsik dari sistem, struktur, desain, atau mekanisme proses Pilpres dan Pilkada Langsung. Beberapa masalah intrinsik yang dapat dikategorikan sebagai "Demokrasi Kaum Pembohong" dalam sistem Pilpres dan Pilkada Langsung, tiga diantaranya paling berbahaya, yitu: "Koalisi Kumpul Kebo", "Partai Rental", dan "Konsentrasi Kekuasaan Oligarki". 

(1) "Koalisi Kumpul Kebo" 

Sistem Pemerintahan Parlementer dan Sistem Pemerintahan Presidensil memiliki perbedaan fundamental dalam hal pembentukan kabinet. Dalam Sistem Parlementer, selain kabinet bertanggung jawab kepada Parlemen, juga  koalisi partai politik merupakan mekanisme politik legal dalam pembentukan kabinet ketika tidak terdapat partai yang menjadi pemenang mutlak dalam pemilu. Dalam Sistem Parlementer, pembentukan kabinet selain dapat dilakukan oleh partai pemenang mutlak dalam pemilu, juga oleh koalisi partai politik. Hanya saja konsekuensi dari kabinet yang dibentuk oleh koalisi partai politik adalah kabinet segera bubar jika ada anggota partai yang mundur dari koalisi.

Dalam Sistem Pemerintahan Parlementer, kalisi partai politik adalah suatu konsep penting untuk menjamin pembentukan dan penyelenggaraan pemerintahan representatif yang efektif. Koalisi partai politik dibentuk ketika tidak ada satu partai  yang memiliki mayoritas absolut di parlemen, sehingga partai-partai politik harus bekerja sama untuk membentuk dan menyelenggarakan pemerintahan yang stabil.

Dalam Sistem Parlementer, koalisi partai politik memiliki beberapa tujuan, tiga diantaranya yang paling pokok, yaitu: (1) pemerintahan representatif minimal, berupa kabinet yang memiliki dukungan mayoritas di parlemen; (2) menjamin stabilitas pemerintahan dengan cara menggabungkan kekuatan partai-partai politik yang berbeda dalam kabinet; dan (3). meningkatkan legitimasi pemerintahan dengan cara melibatkan partai-partai politik yang berbeda dalam proses pengambilan keputusan.

Sebaliknya, dalam Sistem Presidensil, selain presiden memiliki kekuasaan membentuk kabinet, kabinet juga bertanggung jawab kepada presiden, sehingga tidak dibutuhkan koalisi partai politik dalam menjalankan pemerintahan. Dalam Sistem Presidensil, presiden selaku mandataris rakyat memiliki hak prerogatif  untuk memilih dan menunjuk menteri-menterinya tanpa harus mempertimbangkan koalisi partai. Selain itu dalam Sistem Presidensil, selalu ada Lembaga Tertinggi Negara  yang bertugas mengawasi termasuk meminta, menerima dan atau menolak pertanggunjawaban Presiden.

Di Indonesia, koalisi partai politik dipraktikkan secara keliru dalam sistem ?Pilpres dan Pilkada Langsung, dimana koalisi partai politik dibentuk sebelum pemilu diselenggarakan dengan motif politik vulgar untuk "menang dan berkuasa bersama-sama" melalui pembentukan "Kabinet Koalisi". Praktik ini bukanlah praktik koalisi partai dalam maknanya yang tepat seperti yang saya jelaskan di atas. Sejatinya, praktik ini adalah varian baru dari "cara lain" para oligark melakukan persokongkolan politik dalam melakukan permufakatan jahat untuk mengambilalih kedaulatan dan kekuasaan politik, ekonomi, dan sosial dari kaum pribumi, Bangsa Indonesia Asli.

Saya kerap menyebut praktik yang melanggar keras nilai-nilai, kriteria, dan prosedur demokrasi ini sebagai "Koalisi Kumpul Kebo" untuk menggambarkan adanya ambisi besar kaum oligark di balik motif politik "menang dan berkuasa bersama-sama" melalui jalur pemilu. Dalam konteks politik, "Koalisi Kumpul Kebo" untuk menggambarkan satu bentuk rezim politik pemerintahan desain para oligark yang berfokus pada kekuasaan dan kepentingan golongan atau kelompok semata. Ini adalah varian dari persokongkolan jahat atau permufakatan jahat kaum oligark yang terdiri dari gabugan ambisi besar tanpa ideologi, visi, dan misi, serta tidak memiliki integritas, tidak memiliki komitmen, dan tidak memiliki tanggung jawab terhadap kerakyatan, kebangsaan, dan kenegaraan.

Lalu siapa sebenarnya kaum oligark itu yang bermain dalam Pilpres dan Pilkada Langsung? Para oligark itu adalah Oligarki Kembar Tiga, yang terdiri dari "oligark politik" (badut politik), "oligark ekonomi" (bandar politik), dan "oligark sosial" (bandit politik).

(a) "Oligark Politik" (Badut Politik) adalah segelintir elit politik yang berbasis di partai politik yang tidak memiliki kapasistas politik, kapabilitas politik, dan integritas politik, namun sangat berambisi menjalankan rezim pemerintahan secara periodik. Dalam memenuhi ambisi politiknya, "oligark politik" (badut politik) menggandeng "oligark ekonomi" (bandar politik), karena membutuhkan bantuan biaya pemenangan pemilu, dan juga menggandeng "oligark sosial" (bandit politik), karena membutuhkan suara pemenangan pemilu. Atas kedua bantuan itu, "oligark politik" (badut politik) memberikan kompensasi politik kepada "oligark ekonomi" (bandar politik) berupa kebijakan ekonomi politik dan politik ekonomi; dan kompensasi  politik dan ekonomi  kepada "oligark sosial" (bandit politik) berupa jabatan politik dan fasilitas ekonomi. 

(b) "Oligark ekonomi" (Bandar Politik) adalah segelintir elit ekonomi yang berbasis pada perusahaan konglomerat yang berambisi mendominasi: menguasai, mengontrol dan mengendalikan ekonomi politik dan politik ekonomi berupa penguasaan sumber daya manusia (SDM), sumber daya  alam (SDA), dan sumber daya  buatan (SDB) strategis lokal dan nasional. Dalam memenuhi ambisi ekonominya, "oligark ekonomi" (bandar politik) menggandeng bantuan "oligark politik" (badut politik), karena membutuhkan dukungan kebijakan ekonomi politik dan politik ekonomi; dan juga menggandeng bantuan "oligark sosial" (bandit politik), karena membutuhkan jaminan stabilitas sosial. Atas kedua bantuan itu, "oligark ekonomi" (badut politik) memberikan kompensasi ekonomi kepada "oligark politik" (badut politik) dan "oligark sosial" (bandit politik) berupa ragam fasilitas ekonomi. 

(c) "Oligark sosial" (Bandit Politik) adalah segelintir elit sosial yang berbasis pada organisasi atau kelompok sosial kemasyarakatan yang berambisi mendapatkan kehidupan politik dan ekonomi yang lebih baik. Dalam memenuhi ambisi kehidupan politik dan ekonominya, "oligark sosial" (bandit politik) menggandeng bantuan "oligark politik" (badut politik), karena membutuhkan dukungan kebijakan politik dan ekonomi; dan juga menggandeng bantuan "oligark ekonomi" (bandar politik), karena membutuhkan biaya ekonomi. Atas kedua bantuan itu, "oligark sosial" (bandit politik) memberikan kompensasi ekonomi kepada "oligark politik" (badut politik) dan "oligark sosial" (bandit politik) berupa ragam jaminan stabilitas sosial. 

(2) "Partai Rental"

"Koalisi Kumpul Kebo" berkaitan erat dengan "Partai Rental". Praktik "Koalisi Kumpul Kebo" dan "Partai Rental" dalam Pilpres dan Pilkada Langsung merupakan konsekuensi dan implikasi politik dari berlakunya Pasal 6A Ayat (2) UUD’2002 klausul terakhir yang menegaskan bahwa pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.

Dengan berlakunya Pasal 6A Ayat (2) UUD’2002 klausul terakhir ini, "Koalisi Kumpul Kebo" yang terdiri dari para oligark tidak hanya mendesain pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusung oleh "Partai Rental", tetapi juga mendesain regulasi pemilu yang memberikan jaminan kemenangan dalam Pilpres dan Pilkada Langsung. Diantara isi regulasi pemilu yang didesain adalah mekanisme pemilihan anggota penyelenggara pemilu (KPU, Bawaslu, dan DKPP) dan mekanisme penyelenggaraan pemilu. Mekanisme penyelenggaraan pemilu mencakup seluruh tahapan pemlu, yaitu: (1) tahapan pembuatan dan penetapan regulasi pemilu; (2) tahapan pendaftaran pemilih; (3) tahapan pendaftaran peserta pemilu; (4) tahapan kampanye peserta pemilu; (5) tahapan pemungutan dan perhitungan suara; (6) tahapan rekapitulasi perolehan suara; dan (7) tahapan penatapan hasil pemilu.

Lalu yang tidak terhindarkan dari desain regulasi Pilpres dan Pilkada Langsung adalah sejumlah implikasinya, tiga diantaranya yang paling merisaukan, yaitu: (1) Kecurangan Struktural Pemilu, seperti manipulasi data pemilih, penggunaan anggaran dan fasilitas negara oleh pejabat pemerintah, mobilisasi pemilih oleh instiusi pemerintah, serta pemalsuan dokumen dan jual-beli suara untuk mempengaruhi hasil pemilu; (2) Suap Politik Pemilu, yaitu penggunaan politik uang (money politics) oleh kandidat untuk membeli dukungan suara dari pemilih; dan (3) Keterlibatan Aktor Non-demokratis Pemilu, seperti kelompok-kelompok relawan dan surveyer politik hingga influencer dan buzzer politik untuk mempengaruhi hasil pemilu.

(3) Konsentrasi Kekuasaan di Tangan Oligarki
 
Sejak Pilpres dan Pilkada langsung digelar, kekuasaan politik, ekonomi dan sosial terkonsentrasi di tangan para oligark. Itu nyata sekali selama dua periode: sepuluh tahun rezim politik Jokowi berkuasa (2014-2024). Konsekuensi dan implikasi dari konsentrasi kekuasaan politik, ekonomi dan sosial di tangan para oligark adalah hilangnya "check and balances" dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Konsep "check and Balances" dalam sistem politik yang bertujuan untuk memastikan bahwa kekuasaan tidak terkonsentrasi pada satu struktur (lembaga) atau individu tidak terjadi selama Pilpres dan Pilkada langsung digelar. Pengawasan yang berkmakna dari DPR terhadap Presiden atau dari DPRD terhadap Gubernur, Bupati, dan Walikota amat sangat sulit untuk tidak mengatakan mustahil.

Akibat langsung dan tidak langsung dari "Kolisi Kumpul Kebo" dan "Partai Rental" dalam Pilpres dan Pilkada Langsung bukan hanya konsentrasi kekuasaan politik, ekonomi dan sosial di tangan para oligark, tetapi juga hilangnya "check and balances? dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Lebih buruk dari itu adalah UU yang dibuat “sekejap” oleh DPR, seperti UU Cilaka (Cipta Lapangan Kerja) justru menjadi dasar bagi para oligark untuk menindas kaum pribumi. 

Dampak "Demokrasi Kaum Pembohong"

Dampak dari "Demokrasi Kaum Pembohong" dalam Pilpres dan Pilkada Langsung adalah ketidakpuasan politik kaum pribumi yang sudah bersifat laten dan permanen, yang dapat diamati dari beberapa fenomena: (1) ketidakpercayaan masyarakat terhadap demokrasi dan institusi politik, yang sewaktu-waktu dapat memicu pembangkangan politik; (2) kekuasaan otoritas sipil yang tidak legitimate dan tidak justified, yang sewaktu-waktu dapat memicu protes politik yang tidak terkendali; (3) ketidakstabilan politik, yang sewaktu-waktu dapat memicu konflik politik vertikal dan horizontal; dan (4) penumpukan ketidakpuasan politik, yang sewaktu-waktu dapat mendorong gerakan separtisme politik.

Menutup tulisan ini saya ingin tegaskan kembali bahwa "Demokrasi Kaum Pembohong" dalam Pilpres dan Pilkada Langsung terbukti telah menimbukan bencana struktural. Bencana ini telah membawa kehidupan politik, ekonomi, dan sosial kaum pribumi ke dalam kemalangan dan penderitaan yang tidak berujung hingga mengikis nasionalisme dan samangat persatuan bangsa.

Bencana ini tidak bisa lagi diatasi hanya dengan menguatak-atik sistem Pilpres dan Pilkada Langsung. Satu-satunya cara menghilangan bencana struktural ini adalah dengan menghilangkan "Kolisi Kumpul Kebo?, "Partai Rental", dan "Konsentrasi Kekasaan di Tangan Oligarki".

Namun cara ini tidak akan pernah berhasil selain kembali kepada keadaan semula, yaitu MPR sebagai meta-struktur politik: institusi penjelmaan rakyat dan "Lembaga Tertinggi Negara", Dewan Pertimbangan Agung (DPA) sebagai super-struktur politik: institusi pertimbangan rakyat, Presiden dan wakil Presiden dipilih kembali oleh MPR, Presiden sebagai mandataris MPR, pribumi (bangsa Indoensia Asli) sebagai syarat Presiden dan Wakil Presiden, serta penguasaan SDM, SDA, dan SDB oleh negara untuk digunakan memakmurkan dan mensejahterahkan seluruh rakyat Indonesia.

*Penulis adalah Dosen Ilmu Politik Universitas Indonesia, Ketua Center for Election and Political Party Fisip UI.

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Bangun Jembatan Harapan

Minggu, 07 Desember 2025 | 02:46

Distribusi Bantuan di Teluk Bayur

Minggu, 07 Desember 2025 | 04:25

Bahlil Minta Maaf Usai Prank Presiden Prabowo

Selasa, 09 Desember 2025 | 18:00

UPDATE

RUU Koperasi Diusulkan Jadi UU Sistem Perkoperasian Nasional

Rabu, 17 Desember 2025 | 18:08

Rosan Update Pembangunan Kampung Haji ke Prabowo

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:54

Tak Perlu Reaktif Soal Surat Gubernur Aceh ke PBB

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:45

Taubat Ekologis Jalan Keluar Benahi Kerusakan Lingkungan

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:34

Adimas Resbob Resmi Tersangka, Terancam 10 Tahun Penjara

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:25

Bos Maktour Travel dan Gus Alex Siap-siap Diperiksa KPK Lagi

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:24

Satgas Kemanusiaan Unhan Kirim Dokter ke Daerah Bencana

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:08

Pimpinan MPR Berharap Ada Solusi Tenteramkan Warga Aceh

Rabu, 17 Desember 2025 | 16:49

Kolaborasi UNSIA-LLDikti Tingkatkan Partisipasi Universitas dalam WURI

Rabu, 17 Desember 2025 | 16:45

Kapolri Pimpin Penutupan Pendidikan Sespim Polri Tahun Ajaran 2025

Rabu, 17 Desember 2025 | 16:42

Selengkapnya