Berita

Ilustrasi medsos. (Foto: Istimewa)

Publika

#SeeYouWhenIm16

SENIN, 15 DESEMBER 2025 | 06:47 WIB | OLEH: AHMADIE THAHA

BEGINI jika negara hadir melindungi kesehatan mental warganya: tidak perlu barisan polisi lengkap dengan pentungan lengan kanan, cukup selembar peraturan yang bunyinya lebih nyaring dari toa masjid subuh-subuh. 

Lihatlah Australia, negeri yang biasanya kita ingat karena kanguru dan koala, yang barusan diguncang teror, kali ini tampil sebagai bouncer raksasa di pintu klub digital dunia. 

Mereka hanya bilang begini: "Anak di bawah 16? Masih 14. Maaf ya, Dik, balik kanan dulu, baru boleh joget algoritma dua tahun lagi." 


Begitu kira-kira gaya mereka. Sopan tapi tegas, seperti satpam kampus yang tak pernah marah tapi sukses membuat kita merasa melakukan tindak kriminal hanya karena lupa pakai ID Card.

Tepat pukul lewat dini hari di 10 Desember 2025, peraturan itu hidup alias berlaku di seluruh Negeri Kanguru. Platform media sosial -- dari TikTok sampai Reddit -- dipaksa mendadak menjadi guru BP yang cerewet. Mereka bukan saja wajib memeriksa umur; mereka juga ditugasi menjadi penjaga gawang psikologi remaja. 

Yang lebih menggetarkan, jika bandel, perusahaan ini dapat didenda sampai 49,5 juta dolar Australia. Nyaris Rp 550 juta, lebih setengah miliar. Angka yang cukup untuk membuat para raksasa Silicon Valley spontan berzikir, istighfar, dan meninjau ulang niat hidup mereka bersama anak-anak di bawah 16 tahun.

Di layar ponsel para remaja, muncul notifikasi satir yang terasa seperti ditulis oleh negara dengan alis terangkat: "Due to laws in Australia, you won’t be able to use social media until you’ve turned 16." Kalimat yang nada suaranya mirip guru matematika yang mengembalikan PR kita sambil berkata, "Bagus… tapi salah semua."

Dan begitulah, satu juta akun mendadak lenyap seketika. Seperti kota digital yang lampunya diredupkan Tuhan demi menyelamatkan umat manusia dari kecanduan scrolling tingkat akut. Tapi para remaja tetap merayakannya, dengan mengunggah pesan perpisahan, lengkap dengan tagar #seeyouwhenim16 -- suatu bentuk drama kolektif yang menandakan bahwa generasi ini memang tak bisa jauh dari panggung, bahkan ketika panggungnya sendiri ditutup.

Alasan angka 16 dipilih bukan sekadar hasil undian arisan kebijakan, melainkan simpulan panjang dari riset psikologi perkembangan yang menunjukkan bahwa di bawah usia itu, sistem saraf remaja masih sibuk membangun jalur-jalur pengendalian diri, sementara algoritma media sosial justru ahli mengacak-acaknya. 

Para pakar menyebut usia 13?"15 sebagai zona rentan. Di sinilah kecanduan infinite scrolling menanjak, dopamin naik-turun seperti lift mal menjelang Lebaran, dan risiko gangguan seperti kecemasan sosial, depresi ringan hingga sedang, dismorfia tubuh digital, FOMO akut, cyberbullying, internalisasi, hingga disrupsi ritme tidur meningkat drastis. 

Dengan kata lain, anak 15 tahun boleh jadi bisa menghafal rumus kuadrat, tetapi menghadapi tarik-menarik notifikasi dan likes itu jauh lebih kompleks dari persamaan matematika mana pun. 

Usia 16 dipilih sebagai titik ketika kapasitas regulasi emosi, kontrol impuls, dan penilaian risiko mulai stabil -- setidaknya lebih stabil dari kemampuan algoritma yang tak kenal kasihan. Di situlah negara berani berkata: cukup, mari beri otak remaja kesempatan tumbuh sebelum dibajak oleh layar yang tak pernah tidur.

Namun, sebagaimana setiap aturan yang berniat melindungi, selalu muncul pihak yang melihatnya sebagai ancaman terhadap kebebasan. Ada dua remaja yang langsung menggugat ke Pengadilan Tinggi -- sebuah langkah yang menunjukkan bahwa sosial media memang sudah menjadi organ tubuh baru: dicabut sedikit saja, manusia teriak. 

Amnesty International ikut bersuara. Ini bukan solusi, kata mereka. Ini hanya mengubah bahaya menjadi aktivitas gerilya. Dan bukankah sejarah menunjukkan, segala yang dilarang itu justru makin dicari? Dulu kaset bajakan dilarang. Hasilnya, makin laris. Kini medsos dibatasi; mungkin VPN di Australia sebentar lagi jadi barang lebih berharga dari vitamin C.

Di luar itu, ada pertanyaan yang lebih lembut tapi tajam: bagaimana nasib remaja di komunitas terpencil, difabel, atau minoritas yang justru menemukan ruang aman di dunia digital? Apakah pintu penyelamat kini ikut ditutup? Di sinilah drama kebijakan publik menjadi semacam paradoks: niatnya baik, namun kostum dan panggungnya kadang menimbulkan adegan yang tak direncanakan.

Akan tetapi, siapa pun penonton babak ini, jelas melihat bahwa Australia sedang menjadi laboratorium global. Denmark mengintip, Malaysia mengangguk-angguk, Eropa sudah memasang kuda-kuda. Indonesia? Masih galau, tentu saja -- negeri yang bahkan untuk mengatur jalan satu arah saja bisa malah melahirkan tiga jalan alternatif.

Dan begitulah kita diingatkan: kadang negara hadir bukan lewat pengeras suara, bukan lewat penertiban mendadak, bukan pula lewat video sosialisasi yang entah siapa yang menontonnya. Negara hadir lewat keberanian menetapkan batas, ketika dunia digital semakin tanpa batas. 

Negara paham bahwa melindungi kesehatan mental generasi muda harapan bangsa bukan urusan menenangkan anak yang tantrum dengan ponsel, tetapi memastikan otak mereka tidak tumbuh seperti semak belukar algoritma.

Pada akhirnya, aturan ini mungkin terasa dramatis seperti plot film distopia. Tapi kadang, distopia kecil hari ini adalah ikhtiar mencegah distopia besar esok hari. Justru di sinilah ironi berubah menjadi pelajaran: yang dibatasi bukan masa depan; yang dijaga justru masa depan itu sendiri. 

Dan seperti biasa, setiap kehilangan membawa kegembiraan tersembunyi: ketika pintu digital tertutup, boleh jadi jendela kehidupan terbuka. Anak-anak kembali menatap dunia nyata, bukan layar kaca; kembali berbicara, bukan scrolling; kembali hidup, bukan sekadar terhubung.

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Cegah Penimbunan BBM

Jumat, 05 Desember 2025 | 02:00

Polri Kerahkan Kapal Wisanggeni 8005 ke Aceh

Jumat, 05 Desember 2025 | 03:03

Pesawat Perintis Bawa BBM

Jumat, 05 Desember 2025 | 05:02

UPDATE

Denny Indrayana Ingatkan Konsekuensi Putusan MKMK dalam Kasus Arsul Sani

Selasa, 16 Desember 2025 | 01:30

HAPPI Dorong Regulasi Sempadan Pantai Naik Jadi PP

Selasa, 16 Desember 2025 | 01:22

Pembentukan Raperda Penyelenggaraan Pasar Libatkan Masyarakat

Selasa, 16 Desember 2025 | 01:04

Ijazah Asli Jokowi Sama seperti Postingan Dian Sandi

Selasa, 16 Desember 2025 | 00:38

Inovasi Jadi Kunci Hadapi Masalah Narkoba

Selasa, 16 Desember 2025 | 00:12

DPR: Jangan Kasih Ruang Pelaku Ujaran Kebencian!

Selasa, 16 Desember 2025 | 00:06

Korban Meninggal Banjir Sumatera Jadi 1.030 Jiwa, 206 Hilang

Senin, 15 Desember 2025 | 23:34

Bencana Sumatera, Telaah Konstitusi dan Sustainability

Senin, 15 Desember 2025 | 23:34

PB HMI Tegaskan Putusan PTUN terkait Suhartoyo Wajib Ditaati

Senin, 15 Desember 2025 | 23:10

Yaqut Cholil Masih Saja Diagendakan Diperiksa KPK

Senin, 15 Desember 2025 | 23:07

Selengkapnya