Berita

Polri. (Foto: Istimewa)

Publika

Jangan Keliru Tafsirkan Perpol 10/2025

SENIN, 15 DESEMBER 2025 | 03:15 WIB

PERNYATAAN mantan Menko Polhukam Mahfud MD yang menyebut Peraturan Kepolisian Nomor 10 Tahun 2025 tidak memiliki dasar hukum dan bertentangan dengan Undang-Undang Polri serta Undang-Undang ASN merupakan kesimpulan yang terlalu disederhanakan dan tidak mencerminkan pembacaan hukum yang utuh.

Dalam negara hukum, perdebatan normatif tidak boleh berhenti pada tafsir tekstual semata, apalagi jika mengabaikan penjelasan undang-undang dan asas-asas dasar pembentukan peraturan perundang-undangan.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025 dan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 kerap dijadikan dalih utama untuk menolak keberadaan Perpol 10 Tahun 2025.


Padahal MK tidak pernah mengeluarkan larangan absolut terhadap penugasan anggota Polri di luar institusi kepolisian,

Begitu pula dengan Pasal 28 ayat (3). Anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian. Norma tersebut secara eksplisit harus dibaca bersama penjelasannya. 

Penjelasan Pasal 28 ayat (3) dengan terang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan jabatan di luar kepolisian adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian. Frasa ini bukan kosmetik semata, melainkan kunci utama penafsiran norma.

Secara "a contrario", anggota Polri aktif dapat menduduki jabatan di luar struktur Polri tanpa harus mengundurkan diri atau pensiun apabila jabatan tersebut memiliki keterkaitan dengan fungsi kepolisian.

Dengan konstruksi demikian, menjadi jelas bahwa Undang-Undang Polri juga tidak pernah melarang secara absolut anggota Polri aktif menjalankan tugas di luar struktur organisasi kepolisian. Yang dilarang adalah menduduki jabatan yang tidak memiliki keterkaitan fungsional dengan tugas kepolisian. 

Oleh karena itu, ketika Perpol 10 Tahun 2025 mengatur penugasan anggota Polri aktif pada kementerian dan lembaga tertentu yang memiliki korelasi langsung dengan fungsi keamanan, ketertiban, penegakan hukum, dan perlindungan masyarakat, maka pengaturan tersebut justru berada dalam koridor undang-undang, bukan di luarnya.

Selain itu, argumen Mahfud MD bahwa Perpol 10 Tahun 2025 bertentangan dengan Undang-Undang ASN juga tidak sepenuhnya tepat. Undang-Undang ASN mengatur aparatur sipil negara, sementara anggota Polri berada dalam hukum tersendiri yang diatur secara khusus oleh Undang-Undang Polri. 

Dalam teori hukum, prinsip lex specialis derogat legi generali berlaku secara tegas. Status, pola karier, dan mekanisme penugasan anggota Polri tidak dapat disamakan secara linier dengan ASN sipil karena fungsi dan mandat konstitusionalnya berbeda.

Dari perspektif konstitusi, Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 menempatkan Polri sebagai alat negara yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. 

Tantangan keamanan modern bersifat multidimensi dan lintas sektor, sehingga menuntut kehadiran fungsi kepolisian dalam berbagai simpul strategis pemerintahan.

Menutup sama sekali ruang penugasan tersebut justru berpotensi melemahkan kapasitas negara dalam menjalankan mandat konstitusionalnya sendiri.

Penting ditegaskan bahwa Perpol 10 Tahun 2025 bukan instrumen untuk mempolitisasi Polri atau mengaburkan supremasi sipil. 

Sebaliknya, peraturan ini adalah bentuk penataan administratif agar penugasan anggota Polri di luar struktur organisasi dilakukan secara transparan, terukur, dan berbasis hukum, bukan berdasarkan praktik ad hoc yang justru rawan disalahartikan. 

Negara hukum yang sehat lebih membutuhkan pengaturan yang jelas daripada kekosongan norma.

Narasi yang menyebut Perpol 10 Tahun 2025 tidak konstitusional sesungguhnya lahir dari kekeliruan membaca Putusan MK dan pemisahan Pasal 28 ayat (3) dari penjelasannya serta dari pengabaian tujuan pembentuk undang-undang. 

Padahal, secara teleologis, Pasal 28 ayat (3) dimaksudkan untuk mencegah konflik kepentingan dan penyalahgunaan kewenangan, bukan untuk membelenggu fleksibilitas institusional Polri dalam mendukung tugas-tugas negara yang sah.

Perdebatan publik mengenai Polri tentu sah dan perlu. Namun kritik hukum harus dibangun di atas metodologi penafsiran yang benar, bukan pada potongan norma yang ditarik keluar dari konteksnya. 

Dalam negara hukum, yang harus dijaga bukan hanya supremasi sipil, tetapi juga supremasi akal sehat dalam membaca undang-undang.


R Haidar Alwi
Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI)/
Wakil Ketua Dewan Pembina Ikatan Alumni ITB

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Berjuang Bawa Bantuan Bencana

Kamis, 04 Desember 2025 | 05:04

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Cegah Penimbunan BBM

Jumat, 05 Desember 2025 | 02:00

Polri Kerahkan Kapal Wisanggeni 8005 ke Aceh

Jumat, 05 Desember 2025 | 03:03

UPDATE

PIP Berubah Jadi Kartu Undangan Kampanye Anggota DPR

Senin, 15 Desember 2025 | 06:01

Perpol versus Putusan MK Ibarat Cicak versus Buaya

Senin, 15 Desember 2025 | 05:35

Awas Revisi UU Migas Disusupi Pasal Titipan

Senin, 15 Desember 2025 | 05:25

Nelangsa Dipangku Negara

Senin, 15 Desember 2025 | 05:06

Karnaval Sarendo-Rendo Jadi Ajang Pelestarian Budaya Betawi

Senin, 15 Desember 2025 | 04:31

Dusun Bambu Jual Jati Diri Sunda

Senin, 15 Desember 2025 | 04:28

Korupsi di Bandung Bukan Insiden Tapi Tradisi yang Dirawat

Senin, 15 Desember 2025 | 04:10

Rektor UI Dorong Kampus Ambil Peran Strategis Menuju Indonesia Kuat

Senin, 15 Desember 2025 | 04:06

Hutan Baru Dianggap Penting setelah Korban Tembus 1.003 Jiwa

Senin, 15 Desember 2025 | 03:31

Jangan Keliru Tafsirkan Perpol 10/2025

Senin, 15 Desember 2025 | 03:15

Selengkapnya