Ilustrasi konten pornografi. (Foto: metro.co.uk)
DALAM narasi hukum, jarak antara sebuah dugaan dan sebuah bukti sering kali dipisahkan oleh lorong panjang proses penyidikan. Namun, dalam kasus Bonnie Blue, lorong itu ternyata bukan jalan lurus menuju ruang sidang pidana, melainkan sebuah belokan tiba-tiba yang mengarahkan semua pihak ke ruang sidang tilang.
Dari "dugaan produksi konten pornografi" yang menggegerkan nasional pada awal Desember, menjadi "sekadar pelanggaran administratif kendaraan" yang diselesaikan melalui sidang tipiring, kisah ini membuka lebih dari sekadar berkas perkara. Ia membuka sebuah pertanyaan kritis tentang bagaimana sebuah narasi kriminal berskala internasional dibangun, sebelum akhirnya ditemukan tak berdasar di meja pembuktian.
Kesenjangan 15 Tahun: Antara Ancaman dan Kenyataan
Mari kita berhitung. Pada konferensi pers yang disiarkan media nasional dan internasional, kasus ini disemati label yang berat: dugaan pelanggaran Undang-Undang Pornografi. Dalam koridor hukum, UU ini bukan main-main. Ia mengancam pidana penjara maksimal 15 tahun atau denda miliaran rupiah. Angka 15 tahun itu menjadi batu pijakan pertama dalam membangun narasi "kasus besar".
Namun, narasi yang dibangun di panggung pers ternyata rapuh di ruang pemeriksaan. Setelah proses yang melibatkan penyelidikan intensif, koordinasi dengan Kantor Imigrasi, dan pemeriksaan barang bukti, ancaman 15 tahun itu menguap. Tak ada tuntutan pidana. Tak ada proses pengadilan. Yang ada justru adalah temuan lain yang sama sekali berbeda naskahnya: salah seorang kru Bonnie Blue ternyata menghadapi persoalan surat-surat kendaraan.
Inilah yang disebut sebagai "kesenjangan pembuktian" (evidentiary gap) yang ekstrem. Jarak antara narasi awal yang dibangun dengan fakta hukum yang akhirnya tegak, bukan lagi soal sentimeter, melainkan lompatan jenis perkara: dari pidana berat ke pelanggaran ringan.
Panggung Pers vs. Meja Tipiring: Sebuah Kontras yang MenyilaukanAda ironi yang tak terbantahkan dalam perjalanan kasus ini. Di satu sisi, ada pengerahan sumber daya, konferensi pers, dan sorotan media yang masif. Di sisi lain, akhir ceritanya justru berlangsung dalam sidang tipiring?"mekanisme hukum untuk pelanggaran lalu lintas ringan yang diselesaikan dengan damai.
Pertanyaannya bukan lagi apakah Bonnie Blue bersalah atau tidak. Pertanyaan yang lebih mendesak adalah: bagaimana sebuah institusi penegak hukum bisa membiarkan narasi publik melesat terlalu jauh, sebelum seluruh fakta diperiksa tuntas? Apakah kecepatan dalam merespons tekanan viral telah mengalahkan kehati-hatian dalam menafsirkan bukti?
Dalam dunia jurnalisme, prinsip "presumption of innocence" (asas praduga tak bersalah) adalah fondasi. Dalam dunia hukum, prinsip yang sama juga berlaku, namun harus diikuti dengan ketelitian yang luar biasa sebelum sebuah kasus diangkat ke permukaan publik dengan cap yang begitu peka. Ketika kedua prinsip ini tergesa-gesa dikesampingkan demi narasi yang sensasional, yang terjadi bukan hanya kerugian bagi tersangka. Yang lebih parah adalah erosi kepercayaan publik pada proses hukum itu sendiri.
Belajar dari "Lompatan Narasi": Sebuah Catatan untuk Penegakan Hukum di Era DigitalKasus Bonnie Blue bukanlah yang pertama dan sayangnya, mungkin bukan yang terakhir. Ia adalah cermin dari sebuah zaman di mana kecepatan informasi sering kali menabrak lambatnya proses hukum yang penuh tahapan. Namun, justru di era inilah penegak hukum dituntut untuk lebih berdisiplin.
Pelajaran yang bisa diambil setidaknya ada dua. Pertama, urgensi untuk membedakan antara "penyidikan internal yang tertutup" dengan "komunikasi publik yang terbuka". Konferensi pers bukanlah tempat untuk menguji kekuatan dugaan, melainkan untuk menyampaikan fakta hukum yang sudah teruji. Kedua, pentingnya koordinasi dan verifikasi lintas instansi sebelum sebuah narasi hukum dilempar ke ruang publik yang haus sensasi. Sebuah pernyataan yang dikeluarkan prematur bukan hanya merusak kredibilitas satu institusi, tetapi juga seluruh ekosistem penegakan hukum di mata masyarakat.
Akhir kata, perjalanan dari panggung pers yang megah ke meja tipiring yang sederhana ini semestinya menjadi bahan perenungan. Bukan tentang kalah atau menang, tetapi tentang bagaimana menjaga agar terang sorot kamera tidak sampai membutakan ketelitian prosedur, dan bagaimana memastikan bahwa setiap lompatan dalam narasi publik selalu memiliki pijakan bukti yang kokoh di ruang penyidikan. Karena ketika hukum bekerja, ia harus berbicara dengan fakta, bukan dengan gema.
GiostanovlattoPendiri Hey Bali dan pemerhati pariwisata.