Berita

Manager Riset SETARA Institute, Sayyidatul Insiyah (kiri). (Foto: Dokumentasi SETARA Institute)

Hukum

SETARA Institute

Indeks HAM 2025 Alami Penurunan, Komitmen Pemerintah Belum Teruji

KAMIS, 11 DESEMBER 2025 | 02:55 WIB | LAPORAN: ADITYO NUGROHO

SETARA Institute menyusun Indeks HAM 2025 sebagai gambaran tentang situasi kondisi HAM sepanjang 2025 dalam rangka memperingati Hari HAM Internasional 2025. Indeks ini disusun dengan memberikan penilaian pada 50 sub-indikator yang terklasifikasi dalam 6 indikator hak sipol (sipil dan politik) dan 5 indikator hak ekosob (ekonomi, sosial, dan budaya). 

Penilaian diberikan dengan skala 1-7 yang menggambarkan nilai 1 sebagai pemajuan HAM yang paling buruk dan angka 7 menunjukkan pemajuan HAM yang paling baik.
 
“Indeks skor rata-rata untuk seluruh variabel pada Indeks HAM 2025 adalah 3,0 atau turun sebesar 0,1 poin dari Indeks HAM 2024 yang membukukan skor rata-rata nasional 3,1. Rendahnya skor rata-rata nasional dalam Indeks HAM 2025 ini mencerminkan bahwa implementasi dari komitmen memperkokoh HAM sebagaimana Asta Cita 1 pemerintahan Prabowo-Gibran belum teruji dalam satu tahun kepemimpinannya,” ujar Manager Riset SETARA Institute, Sayyidatul Insiyah dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi, Rabu malam, 10 Desember 2025.
 

 
Lanjut dia, skor keseluruhan Indeks HAM 2025 dikontribusi oleh variabel hak Ekosob yang membukukan skor lebih besar dibanding hak Sipol. Yaitu 3,2 pada hak Ekosob dan hanya 2,8 pada hak Sipol. 

Kondisi ini menunjukkan bahwa ada alarm serius dalam penikmatan hak (rights enjoyment) pada ranah sipil dan politik di bawah pemerintahan Presiden Prabowo. 

“Adapun pada variabel hak ekosob, lebih tingginya skor pada variabel ini mengindikasikan bahwa kepemimpinan Presiden Prabowo di tingkat global menuntut kecepatan para menteri sebagai eksekutor kebijakan untuk menguatkan langkah-langkah pemajuan HAM nasional terutama dalam pemenuhan hak-hak ekosob, terutama dalam konteks kompleksnya permasalahan pada level implementasi yang berdampak pada belum optimalnya capaian atas pemenuhan hak ekosob,” jelasnya.
 
Skor pada indikator kebebasan berekspresi dan berpendapat masih bertahan sebagai indikator dengan skor yang paling rendah pada tiap tahunnya. Capaian yang hanya menyentuh 1,0 pada indikator ini mengindikasikan rendahnya kualitas freedom of expression sekaligus masifnya upaya pengkerdilan ruang-ruang sipil. 

Menurut Sayyidatul, represi terhadap aksi massa dalam gelombang demonstrasi, teror dan intimidasi kepada jurnalis, kriminalisasi berbasis UU ITE, hingga intervensi terhadap kebebasan akademik menjadi wujud pembatasan ekspresi kritik masyarakat sipil.
 
“Indikator hak atas keadilan yang mencatat skor 3,1 menggambarkan situasi penegakan keadilan yang semakin mundur. Pemutihan dosa masa lalu melalui rencana penulisan ulang sejarah dengan mengabaikan fakta pelanggaran HAM 1998, pelanggengan impunitas melalui penetapan Presiden Soeharto sebagai pahlawan nasional, hingga represi terhadap banyaknya pembela HAM, merupakan bukti rendahnya komitmen penegakan hak atas keadilan,” bebernya.

Absennya Kementerian HAM dalam berbagai kasus pelanggaran HAM semakin menguatkan bahwa Kementerian HAM hanyalah sekadar institusionalisasi HAM yang dilakukan Presiden Prabowo untuk mendistraksi publik dan membangun persepsi bahwa Presiden memiliki komitmen kuat dalam pemajuan HAM. 

“Tanpa memastikan lembaga ini benar-benar bekerja optimal sebagai ujung tombak dalam menjalankan tanggung jawab negara dalam jaminan penghormatan dan pemenuhan hak asasi manusia,” ungkapnya.
 
Beberapa langkah progresif ditunjukkan oleh negara dalam upaya menguatkan hak turut serta masyarakat dalam pemerintahan, sekalipun skor pada indikator ini hanya menyentuh angka 3,0. Progresi dalam upaya menjamin peluang partisipasi masyarakat secara inklusif melalui pesta demokrasi dikukuhkan dalam Putusan MK No. 62/PUU-XXII/2024 yang diputus pada Januari 2025. 

Putusan a quo menjadi harapan baru untuk memutus hegemoni partai dalam presidential threshold yang selama ini didominasi oleh partai-partai besar dan sarat akan politik transaksional. 

“Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 169/PUU-XXII/2024 tertanggal 30 Oktober 2025 juga menjadi semangat baru untuk memastikan perempuan dapat berpartisipasi sepenuhnya dan mendapat hak yang sama dalam memegang peran kepemimpinan di seluruh jenjang pengambilan keputusan dalam Alat Kelengkapan Dewan di DPR,” pungkasnya.

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Pasutri Kurir Narkoba

Rabu, 03 Desember 2025 | 04:59

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Berjuang Bawa Bantuan Bencana

Kamis, 04 Desember 2025 | 05:04

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Cegah Penimbunan BBM

Jumat, 05 Desember 2025 | 02:00

UPDATE

Rais Syuriyah PBNU: Ada Indikasi Penetrasi Zionis

Sabtu, 13 Desember 2025 | 23:49

Prabowo: Saya Tidak Punya Tongkat Nabi Musa, Tapi Semua Bekerja Keras

Sabtu, 13 Desember 2025 | 23:42

Mohammad Nuh Jabat Katib Aam PBNU Kubu Sultan

Sabtu, 13 Desember 2025 | 23:19

Konstitusionalitas Perpol Nomor 10 Tahun 2025

Sabtu, 13 Desember 2025 | 23:18

Pemeriksaan Kargo Diperkuat dalam Pemberantasan Narkoba

Sabtu, 13 Desember 2025 | 23:11

Korban Meninggal Akibat Banjir dan Longsor Sumatera Tembus 1.006 Jiwa

Sabtu, 13 Desember 2025 | 22:53

Aktivis 98 Bagikan Paket Bantuan Tali Kasih Natal untuk Masyarakat

Sabtu, 13 Desember 2025 | 22:52

Kader Pemuda Katolik Bali Cetuskan Teori PARADIXIA Tata Kelola AI Indonesia

Sabtu, 13 Desember 2025 | 22:39

Ketika Jabatan Menjadi Instrumen Pengembalian Modal

Sabtu, 13 Desember 2025 | 22:35

Tokoh Muda Dukung Prabowo Kejar Lompatan Gizi dan Pendidikan Indonesia

Sabtu, 13 Desember 2025 | 22:29

Selengkapnya