Berita

CEO Danantara Rosan Roeslani. (Foto: RMOL/Alifia)

Bisnis

Ekonom Khawatir Danantara Bertumpu pada Utang di Tengah Defisit Fiskal

SELASA, 18 NOVEMBER 2025 | 22:32 WIB | LAPORAN: ALIFIA DWI RAMANDHITA

Sejumlah ekonom yang tergabung dalam  Aliansi Ekonom Indonesia (AEI) mempertanyakan fondasi pembiayaan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) karena dinilai tidak sesuai dengan kondisi fiskal Indonesia saat ini. 

Dalam pertemuan dengan jajaran pimpinan Danantara, di antaranya Muliaman Hadad, Pandu Sjahrir, Rohan Hafas, dan Reza Yamora Siregar, para ekonom menekankan bahwa model pendanaan Danantara menyisakan tanda tanya besar. 

Pasalnya, Indonesia tercatat mengalami defisit fiskal selama dua dekade terakhir, serta defisit transaksi berjalan dalam sebagian besar 15 tahun terakhir. 


Kondisi itu dianggap tidak lazim karena sovereign wealth fund (SWF) umumnya dibentuk oleh negara-negara yang tengah menikmati surplus, seperti produsen minyak atau negara dengan cadangan devisa berlebih.

Ketidakjelasan sumber pendanaan ini dikhawatirkan AEI dapat mendorong ketergantungan pada utang, yang pada akhirnya berimbas pada pengelolaan utang nasional yang kini sudah berada di kisaran 40 persen dari PDB. 

“SWF umumnya dibentuk pada kondisi surplus, hal yang Indonesia tidak hadapi akhir-akhir ini. Sehingga, kebutuhan pendanaan yang besar menimbulkan pertanyaan tentang seberapa jauh Danantara akan bergantung pada utang dan bagaimana hal itu akan mempengaruhi manajemen utang nasional,” kata AEI dalam pernyataan resmi yang diterima redaksi di Jakarta pada Selasa, 18 November 2025.

AEI menilai ekspansi pembiayaan Danantara ke depan justru semakin berpotensi menekan ruang investasi domestik. Terbaru institusi itu berencana menyuntikkan dana Rp20 triliun untuk peternak ayam pemasok dapur Makan Bergizi Gratis (MBG).

"Muncul kekhawatiran bahwa ekspansi pembiayaan Danantara justru akan menimbulkan crowding-out terhadap sektor swasta, meningkatkan biaya modal, dan mengurangi ruang gerak investasi domestik,” ujar Teuku Riefky.

Selain itu, pengalihan dividen BUMN ke Danantara dipandang mengurangi potensi penerimaan negara yang sebelumnya masuk ke APBN, sehingga memperbesar urgensi tata kelola pendanaan yang transparan dan akuntabel.

Sementara terkait tata kelola, para ekonom menyoroti tantangan fundamental yang dihadapi Danantara, tidak hanya terkait transparansi dan pelaporan, tetapi juga rangkap jabatan, potensi konflik kepentingan, serta ketidakjelasan mekanisme meritokrasi dalam penunjukan pejabat di Danantara maupun BUMN. 

“Tekanan politik terhadap Danantara hampir tak terhindarkan mengingat besarnya kepentingan yang terlibat,” imbuh Mervin G. Hamonangan.


Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

Evakuasi Banjir Tapsel

Kamis, 27 November 2025 | 03:45

UPDATE

Tragedi Nasional dari Sumatra dan Suara yang Terlambat Kita Dengarkan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:44

Produktivitas Masih di Bawah ASEAN, Pemerintah Susun Langkah Percepatan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:41

Lewat Pantun Cak Imin Serukan Perbaiki Alam Bukan Cari Keributan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:38

Bank Mandiri Sabet 5 Penghargaan BI

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:27

Liga Muslim Dunia Siap Lobi MBS untuk Permudah Pembangunan Kampung Haji Indonesia

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:18

Banjir Rob di Pesisir Jakarta Berangsur Surut

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:13

RI–Timor Leste Sepakat Majukan Koperasi

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:08

Revisi UU Cipta Kerja Mendesak di Tengah Kerusakan Hutan Sumatera

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:57

Bahlil Telusuri Dugaan Keterkaitan Tambang Martabe dengan Banjir Sumut

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:48

BI: Cadangan Devisa RI Rp2.499 Triliun per Akhir November 2025

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:39

Selengkapnya