Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi (Kolase RMOL)
Pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno, menilai bahwa dinamika politik di Indonesia sering kali tidak bisa ditebak.
Ia menyebut bahwa faktor utama dalam penentuan calon presiden dan wakil presiden bukan semata popularitas, melainkan hasil dari kesepakatan elite politik.
“Jika diulas, banyak nama-nama yang dulu mungkin tidak pernah populer atau diperhitungkan, tapi kemudian tiba-tiba dijagokan untuk maju sebagai calon wakil presiden,” ujar Adi, lewat kanal Youtube miliknya dikutip Minggu, 2 November 2025.
Adi mencontohkan pasangan-pasangan presiden dan wakil presiden di masa lalu yang sempat mengejutkan publik.
“Dulu siapa yang membayangkan bahwa SBY ketika maju untuk kedua kalinya, calon wakil presidennya adalah Boediono. Keduanya sama-sama orang Jawa dan nasionalis. Padahal biasanya ada kombinasi Jawa dan non-Jawa, atau nasionalis dan Islam,” jelasnya.
Hal serupa juga terjadi pada periode kedua Presiden Joko Widodo. Menurut Adi, pemilihan KH Ma’ruf Amin sebagai wakil Jokowi pada Pilpres 2019 adalah keputusan yang tidak banyak diprediksi.
“Padahal dulu ada banyak nama populer seperti Mahfud MD yang dinilai punya kapasitas dan disukai publik. Tapi pada akhirnya, Jokowi memilih KH Ma’ruf Amin, sosok yang tidak pernah diperhitungkan dan bahkan elektabilitasnya tidak pernah muncul di radar survei,” ujarnya.
Dari contoh-contoh tersebut, Adi menyimpulkan bahwa keputusan politik di Indonesia kerap ditentukan oleh faktor elite, bukan sekadar tingkat keterkenalan atau hasil survei.
“Faktor determinannya adalah persoalan elite politik yang ada di negara kita, termasuk juga soal majunya calon wakil presiden,” jelasnya.
Adi juga menyinggung proses politik yang mengantarkan Gibran Rakabuming Raka menjadi calon wakil presiden pada 2024 lalu. Menurutnya, munculnya nama Gibran merupakan hasil dari kesepakatan elite yang tidak terlepas dari putusan Mahkamah Konstitusi yang kala itu menimbulkan kontroversi.
“Nama-nama seperti Sandiaga Uno, Erick Thohir, atau Sri Mulyani saat itu sangat populer, tapi justru yang maju adalah Gibran yang sebelumnya tidak pernah masuk radar survei,” katanya.
Adi menegaskan, popularitas atau elektabilitas bukan jaminan untuk bisa maju dalam kontestasi politik.
“Bekal populer, disukai, dan seterusnya itu tidak menjamin apapun untuk bisa maju, sekalipun hanya sebatas calon wakil presiden,” tegasnya.
Lebih jauh, Direktur Parameter Politik Indonesia itu menyoroti cepatnya perubahan preferensi publik terhadap tokoh-tokoh politik di tanah air.
“Di Indonesia memang gampang memvonis hitam putihnya seseorang. Cepat suka, tapi juga cepat benci,” ujarnya.
Ia mencontohkan fenomena pergeseran perhatian publik terhadap figur-figur politik baru. Beberapa bulan lalu, Dedi Mulyadi sempat digadang-gadang maju di 2029 sebagai calon wakil presiden karena viral dan ekspos politik yang luar biasa.
"Tapi tak lama kemudian muncul nama Purbaya. Baru dua bulan menjabat Menteri Keuangan, kesukaan publik kepada Dedi mulai berkurang dan beralih kepada Purbaya,” ungkapnya.
Adi menutup dengan catatan bahwa perubahan opini publik di Indonesia sangat dinamis.
“Sebelumnya muncul nama Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, Gibran Rakabuming Raka, dan AHY. Tapi hari ini, seakan jarum jam berubah total dan semua orang terfokus pada Purbaya Yudhi Sadewa,” pungkasnya.