Berita

Ilustrasi (Foto: Artificial Intelligence)

Publika

Beda Kelas: Moral Hukum & Pemburu Rente

SABTU, 25 OKTOBER 2025 | 14:05 WIB | OLEH: FIRMAN TENDRY MASENGI

SAMA-SAMA bangsa Melayu dengan beragam etnis. Malaysia selalu ingin lebih unggul terhadap Indonesia dalam hal apa pun. Tapi soal kereta cepat pemimpin dan rakyat Malaysia punya sikap berbeda dengan Indonesia. 
Inilah beda kelas dan beda sikap antara Mahathir & Jokowi. 

Dalam ekonomi politik global, keputusan untuk membangun atau membatalkan proyek infrastruktur besar bukan semata-mata soal beton dan rel; ia adalah refleksi dari moralitas kekuasaan dan kedewasaan hukum fiskal. Perbandingan antara pembatalan proyek High-Speed Rail (HSR) Kuala Lumpur–Singapura oleh Mahathir Mohamad dan kelanjutan Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) oleh Joko Widodo bukan hanya memperlihatkan dua pilihan ekonomi, tetapi dua pandangan dunia: antara kedaulatan fiskal dan ketergantungan geopolitik, antara kehati-hatian hukum dan euforia pembangunan.

Mahathir dan Rasionalitas Fiskal: Kedaulatan yang Dibayar Tunai

Mahathir dan Rasionalitas Fiskal: Kedaulatan yang Dibayar Tunai

Ketika Malaysia membatalkan proyek HSR pada tahun 2021, keputusan itu tidak diambil tanpa risiko hukum. Malaysia diwajibkan membayar kompensasi sebesar 102,815,576 Dolar Singapura kepada Singapura sebagai konsekuensi kontraktual. Namun Mahathir memandang langkah ini bukan sebagai kerugian, melainkan biaya penyelamatan kedaulatan fiskal.

Dalam perspektif hukum bisnis internasional, kompensasi tersebut merupakan implementasi prinsip pacta sunt servanda — perjanjian harus ditepati. Malaysia tidak melarikan diri dari tanggung jawab hukumnya, tetapi memanfaatkan instrumen hukum kontrak internasional sebagai bentuk disiplin fiskal. Pembatalan dilakukan melalui mekanisme yang sah, sesuai termination clause yang telah dinegosiasikan dalam bilateral agreement dengan Singapura.

Secara ekonomis, Mahathir menunjukkan rasionalitas klasik: lebih baik membayar satu triliun hari ini daripada menanggung utang puluhan triliun esok hari. Dalam paradigma hukum internasional, langkah itu adalah wujud dari debt risk mitigation, sebuah konsep yang menempatkan kedaulatan fiskal di atas tekanan politik dan ekonomi eksternal.

Mahathir tidak sedang anti-Tiongkok. Ia hanya menolak tunduk pada logika “debt diplomacy” yang sering menjebak negara-negara berkembang ke dalam debt trap — skema geopolitik yang membungkus imperialisme ekonomi dalam kontrak investasi.

Jokowi dan Ambisi Infrastruktur: Legalitas Tanpa Moralitas Fiskal

Berbeda total dengan Mahathir, Presiden Jokowi memilih untuk melanjutkan proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) dengan risiko yang luar biasa besar. Ia berjanji proyek ini akan murni Business-to-Business (B2B) tanpa jaminan APBN. Namun kemudian, melalui Peraturan Presiden Nomor 93 Tahun 2021, janji itu dibatalkan secara sepihak oleh pemerintah sendiri.

Dari perspektif hukum publik dan hukum bisnis internasional, perubahan itu bukan hanya pelanggaran moral, melainkan pembelokan prinsip kontraktual antara negara dan rakyatnya. Dalam sistem hukum modern, negara adalah fiduciary bagi rakyat — pemegang amanah yang tidak boleh memindahkan risiko komersial menjadi beban fiskal tanpa dasar rasional yang memadai.

Ketika biaya proyek melonjak dari 6,07 miliar Dolar AS menjadi 7,26 miliar Dolar AS, negara turun tangan menalangi utang BUMN kepada investor Tiongkok. Artinya, utang komersial swasta berubah menjadi utang publik, dan rakyat dipaksa membayar harga dari kegagalan manajemen korporasi. Secara hukum, tindakan ini menyerempet pelanggaran asas kepercayaan publik (public trust doctrine) dan asas akuntabilitas fiskal (fiscal responsibility principle).

Lebih jauh, dalam perspektif lex mercatoria (hukum dagang internasional), pembalikan skema B2B menjadi state-backed liability tanpa melalui parliamentary consent dapat dikategorikan sebagai bentuk moral hazard negara — penyalahgunaan kapasitas hukum negara untuk menutupi kesalahan manajerial entitas bisnis milik negara.

Utang dan Kedaulatan: Antara Diplomasi dan Kolonialisasi Baru

Perbandingan kedua proyek ini menyingkap perbedaan paling fundamental antara kedaulatan hukum dan ketergantungan politik. Mahathir memahami hukum bisnis internasional bukan sebagai ancaman, tetapi sebagai instrumen untuk menegosiasikan kedaulatan. Jokowi, sebaliknya, menggunakannya sebagai pembenaran bagi proyek yang secara hukum publik menimbulkan beban struktural terhadap rakyat.

China melalui Belt and Road Initiative (BRI) tidak sekadar menjual teknologi, tetapi menanamkan struktur ketergantungan melalui skema pinjaman berbasis jaminan negara. Banyak negara di Afrika dan Asia Tenggara telah merasakan akibatnya — dari Sri Lanka hingga Laos — ketika aset publik dijadikan jaminan utang yang gagal bayar.

Mahathir menolak jebakan itu dengan membayar kompensasi satu kali. Jokowi, sebaliknya, memilih mempertaruhkan generasi fiskal berikutnya. Dalam bahasa hukum bisnis internasional, Malaysia mengakhiri kontrak, Indonesia menggadaikan anggaran.

Legitimasi dan Etika Kebijakan Publik: Negara Sebagai Subjek Hukum dan Moral

Negara modern di bawah hukum publik internasional tidak hanya diukur dari kepatuhannya terhadap kontrak, tetapi juga terhadap etika fiskal. Ketika negara menandatangani perjanjian bisnis lintas batas, ia tidak boleh melepaskan perannya sebagai pelindung kepentingan rakyat.

Mahathir bertindak sebagai guardian of the treasury, sementara Jokowi tampil sebagai entrepreneur of debt — seorang pemimpin yang menganggap utang sebagai alat legitimasi pembangunan. Dalam tatanan hukum bisnis internasional, keduanya sah secara hukum, namun hanya satu yang bermoral secara fiskal.

Keberanian Mahathir membayar ganti rugi menunjukkan supremasi hukum atas ambisi politik. Sebaliknya, keberanian Jokowi menabrak janji publik menunjukkan subordinasi hukum di bawah kekuasaan. Satu berutang pada hukum, satu berutang pada citra.

Antara Kontrak, Risiko, dan Warisan
Dari perspektif hukum bisnis internasional, kasus Mahathir dan Jokowi menjadi pelajaran mendasar tentang tanggung jawab kontraktual dan kedaulatan fiskal.
Malaysia: membayar kompensasi 102,8 juta Dolar AS adalah implementasi prinsip good faith dalam kontrak internasional — sebuah tindakan hukum yang menegakkan kehormatan negara.

Indonesia: mengubah skema B2B menjadi proyek berbasis APBN adalah bentuk state interference yang merusak kredibilitas fiskal dan kepercayaan investor.

Mahathir menegakkan kedaulatan dengan disiplin hukum. Jokowi menukar kedaulatan dengan utang geopolitik. Yang satu menolak diperbudak kontrak, yang lain menulis kontrak sebagai bentuk perbudakan baru.

Di Rel yang Berbeda, Menuju Takdir yang Berbeda

Dalam filsafat hukum ekonomi internasional, negara yang sehat bukanlah negara yang berani berutang, tetapi yang berani menolak utang. Hukum bisnis internasional seharusnya tidak menjadi sarana penjeratan, melainkan alat pembebasan — sebagaimana Mahathir menafsirkan kontrak sebagai wujud kehati-hatian, bukan pengikat abadi terhadap rakyat.

Sementara Indonesia terus memuja Whoosh sebagai simbol kemajuan, sejarah mungkin akan mencatatnya sebagai kereta yang melaju di atas utang dan dusta publik. Di sisi lain, Malaysia akan dikenang karena berhenti di stasiun hukum, membayar kompensasi, dan menjaga kehormatan fiskal.

Antara dua rel ini, dunia melihat perbedaan mendasar:
Mahathir memimpin dengan hukum, Jokowi memimpin  tanpa kalkulasi.
Yang satu berhenti agar negaranya selamat, yang lain melaju tanpa tahu di mana rem berada.

Penulis adalah founder RECHT Institute 

Populer

UPDATE

Selengkapnya