Berita

Gubernur Sumatera Utara, Bobby Afif Nasution. (Foto: Artificial Intelligence)

Publika

Kadis Mundur Berjemaah dan Dinamika Kekuasaan Bobby Nasution

KAMIS, 23 OKTOBER 2025 | 21:17 WIB

FENOMENA pengunduran diri beberapa Kepala Dinas (Kadis) di lingkungan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprov Sumut) sejak awal masa kepemimpinan Gubernur Bobby Nasution menjadi sorotan publik.

Beberapa pejabat eselon II, termasuk Kepala Dinas Ketahanan Pangan, Tanaman Pangan, dan Hortikultura, Rajali serta Kepala Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman, Hasmirizal Lubis, diketahui mengajukan surat pengunduran diri dengan alasan pribadi seperti kesehatan dan fokus pada keluarga.

Namun, di tengah atmosfer perubahan birokrasi yang cepat, publik memunculkan spekulasi adanya tekanan politik dan ketidakselarasan dengan gaya kepemimpinan baru.


Dari sudut pandang sosiologi, peristiwa ini tidak hanya sekadar pergantian jabatan administratif, melainkan juga mencerminkan dinamika struktur kekuasaan, konflik peran birokrasi, dan proses legitimasi sosial dalam pemerintahan daerah.

Artikel ini mencoba mengurai makna sosial di balik pengunduran diri tersebut dengan menggunakan pendekatan sosiologi organisasi, teori kekuasaan, serta analisis simbolik terhadap relasi antara individu dan institusi.

Birokrasi sebagai Arena Kekuasaan dan Legitimasi Baru

Max Weber dalam teorinya tentang otoritas rasional-legal menekankan bahwa birokrasi adalah sistem yang bekerja berdasarkan aturan formal dan hierarki yang sah. Namun, dalam praktik politik lokal Indonesia, birokrasi kerap menjadi arena negosiasi kekuasaan, tempat kepentingan politik dan loyalitas personal turut berperan.

Kepemimpinan baru, seperti halnya Bobby Nasution di Sumut, membawa gaya dan visi baru yang menuntut penyesuaian cepat. Dalam 100 hari masa kerjanya, beberapa pejabat dicopot atau diganti dengan alasan kinerja dan penyegaran organisasi.

Proses ini menciptakan reorganisasi kekuasaan di tubuh birokrasi: siapa yang dipercaya, siapa yang tidak lagi dianggap efektif, dan siapa yang memilih mundur sebagai bentuk respons terhadap tekanan struktural tersebut.

Dari perspektif sosiologi kekuasaan, pengunduran diri dapat dilihat sebagai strategi legitimasi ganda. Di satu sisi, bagi pimpinan, hal itu menunjukkan ketegasan dan arah perubahan; di sisi lain, bagi pejabat yang mundur, langkah itu dapat berfungsi sebagai cara menjaga martabat sosial dan menghindari konfrontasi langsung dengan kekuasaan.

Konflik Peran dan Agensi Individu Birokrat

Sosiologi organisasi menyoroti bahwa individu di dalam birokrasi tidak hanya tunduk pada struktur, tetapi juga memiliki kapasitas untuk bertindak — atau yang disebut agensi. Pejabat yang memilih mengundurkan diri bukan sekadar “korban” perubahan kekuasaan, melainkan aktor yang menegosiasikan posisinya dalam sistem sosial baru.

Bagi sebagian Kadis, pengunduran diri bisa dimaknai sebagai bentuk role exit — yaitu proses meninggalkan peran sosial tertentu ketika tuntutan peran tersebut tidak lagi sesuai dengan nilai, kemampuan, atau kenyamanan pribadi.

Alasan kesehatan, keluarga, atau pendidikan (seperti yang pernah diungkapkan Kadis BKAD Rahmadani Lubis) menunjukkan adanya aspek rasionalitas adaptif. Mereka mungkin menyadari bahwa lingkungan kerja di bawah pimpinan baru menuntut ritme dan loyalitas yang berbeda, sehingga memilih keluar secara terhormat.

Namun demikian, di sisi lain, fenomena ini juga menunjukkan adanya role strain atau ketegangan peran — ketika tuntutan kinerja tinggi, perubahan gaya kepemimpinan, dan tekanan politik bertabrakan dengan harapan pribadi maupun profesional. Dalam konteks seperti ini, pengunduran diri menjadi bentuk kompromi sosial yang relatif aman.

Mekanisme Kontrol Sosial dan Sanksi Tak Tertulis

Dari perspektif sosiologi kekuasaan Michel Foucault, kekuasaan tidak hanya bekerja melalui aturan formal, tetapi juga melalui mekanisme pengawasan dan disiplin yang tersirat. Dalam konteks birokrasi daerah, pengunduran diri seringkali bukan semata keputusan sukarela, melainkan hasil dari kontrol sosial lembut (soft control).

Ketika pimpinan menuntut perubahan cepat, pejabat yang dianggap tidak memenuhi ekspektasi bisa mengalami tekanan moral, sosial, atau psikologis tanpa perlu diberhentikan secara eksplisit. Pengunduran diri kemudian menjadi bentuk “sanksi sosial halus” — menjaga wibawa institusi tanpa menciptakan konflik terbuka.

Fenomena ini juga memperlihatkan adanya dualitas narasi: narasi resmi yang menekankan alasan pribadi, dan narasi publik yang mencurigai adanya tekanan politik. Perbedaan dua narasi ini menunjukkan bahwa dalam sistem sosial birokrasi, apa yang dikatakan secara formal tidak selalu mencerminkan realitas sosial yang sesungguhnya.

Media, Persepsi Publik, dan Legitimasi Sosial

Media memainkan peran penting dalam membentuk makna sosial dari peristiwa birokrasi. Dalam kasus ini, media lokal seperti Tribun Medan, Kompas Medan, dan Top Metro News tidak hanya memberitakan fakta administratif, tetapi juga mengangkat isu spekulatif tentang tekanan, konflik, dan gaya kepemimpinan.

Melalui perspektif sosiologi simbolik, cara media membingkai (framing) peristiwa pengunduran diri menentukan bagaimana publik menilai legitimasi pemerintahan baru. Bila media menekankan aspek “penyegaran dan kinerja”, publik akan memaknai pengunduran diri sebagai tanda reformasi positif. Namun, bila yang ditonjolkan adalah isu tekanan atau ketidakharmonisan, kepercayaan sosial dapat menurun.

Dengan demikian, pengunduran diri para Kadis tidak hanya berdampak pada struktur internal pemerintahan, tetapi juga pada legitimasi sosial Gubernur sebagai pemimpin yang baru. Dalam konteks politik lokal, legitimasi sosial ini sangat penting untuk mempertahankan stabilitas dukungan publik.

Dampak Sosial-Organisasional: Stabilitas dan Moral Birokrasi

Dari sisi sosiologi organisasi, tingkat turnover pejabat tinggi memengaruhi stabilitas lembaga dan moral aparatur di lapisan bawah. ASN yang bekerja di bawah Kadis yang mundur harus menyesuaikan diri dengan gaya dan prioritas pimpinan baru, yang berpotensi menimbulkan ketidakpastian kerja.

Jika pergantian terlalu sering, birokrasi bisa mengalami disruption of continuity — gangguan dalam kesinambungan kebijakan, terutama di bidang yang memerlukan program jangka panjang seperti ketahanan pangan, perumahan, dan keuangan daerah.

Selain itu, loyalitas pegawai dapat bergeser dari loyalitas terhadap institusi menjadi loyalitas terhadap figur pimpinan tertentu, sebuah gejala yang menurut Pierre Bourdieu menandai reproduksi kekuasaan simbolik dalam birokrasi.

Dengan demikian, meskipun pergantian pejabat dapat dimaknai sebagai upaya reformasi, dampak sosial jangka panjangnya harus diwaspadai agar tidak menimbulkan budaya ketidakstabilan birokrasi.

Refleksi Kritis: Reformasi atau Rekonstruksi Kekuasaan?

Pertanyaan sosiologis yang paling penting adalah: apakah fenomena pengunduran diri ini merupakan bagian dari reformasi birokrasi yang sehat, atau sekadar rekonstruksi kekuasaan dengan wajah baru?

Jika alasan utama adalah peningkatan kinerja dan profesionalisme (dengan mekanisme seleksi terbuka dan evaluasi kinerja yang objektif), maka fenomena ini mencerminkan proses adaptasi yang wajar. Namun, bila didorong oleh faktor politis atau relasi patronase, maka ia justru memperlihatkan reproduksi kekuasaan lama dalam bentuk baru — di mana loyalitas lebih dihargai daripada kompetensi.

Analisis ini menunjukkan bahwa sosiologi tidak sekadar menilai siapa yang mundur, tetapi juga menelaah struktur sosial yang memungkinkan atau mendorong pengunduran diri itu terjadi.

Kesimpulan

Pengunduran diri sejumlah Kepala Dinas di Sumatera Utara di bawah kepemimpinan Gubernur Bobby Nasution mencerminkan dinamika sosial-politik yang kompleks. Dari perspektif sosiologi, fenomena ini dapat dibaca sebagai interaksi antara struktur kekuasaan, agensi individu, dan legitimasi sosial.

Di satu sisi, ia menunjukkan semangat pembaruan dan disiplin birokrasi; di sisi lain, memperlihatkan bagaimana kekuasaan bekerja melalui mekanisme sosial yang halus — tekanan simbolik, kontrol informal, dan legitimasi publik melalui media.

Birokrasi daerah akan dinilai bukan dari seberapa banyak pejabat yang mundur, tetapi dari seberapa jauh pergantian tersebut meningkatkan profesionalisme dan kepercayaan masyarakat.

Hanya dengan transparansi, kontinuitas kebijakan, dan sistem merit yang kuat, reformasi birokrasi dapat benar-benar menjadi proses sosial yang bermakna, bukan sekadar perubahan kosmetik dalam struktur kekuasaan.

Dr Bakhrul Khair Amal
Pengamat sosial dan politik yang juga dosen di Universitas Negeri Medan (Unimed)

Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Usut Tuntas Bandara Ilegal di Morowali yang Beroperasi Sejak Era Jokowi

Senin, 24 November 2025 | 17:20

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

UPDATE

Duka Banjir di Sumatera Bercampur Amarah

Jumat, 05 Desember 2025 | 06:04

DKI Rumuskan UMP 2026 Berkeadilan

Jumat, 05 Desember 2025 | 06:00

PIER Proyeksikan Ekonomi RI Lebih Kuat pada 2026

Jumat, 05 Desember 2025 | 05:33

Pesawat Perintis Bawa BBM

Jumat, 05 Desember 2025 | 05:02

Kemenhut Cek Kayu Gelondongan Banjir Sumatera Pakai AIKO

Jumat, 05 Desember 2025 | 05:00

Pemulihan UMKM Terdampak Bencana segera Diputuskan

Jumat, 05 Desember 2025 | 04:35

Kaji Ulang Status 1.038 Pelaku Demo Ricuh Agustus

Jumat, 05 Desember 2025 | 04:28

Update Korban Banjir Sumatera: 836 Orang Meninggal, 509 Orang Hilang

Jumat, 05 Desember 2025 | 04:03

KPK Pansos dalam Prahara PBNU

Jumat, 05 Desember 2025 | 03:17

Polri Kerahkan Kapal Wisanggeni 8005 ke Aceh

Jumat, 05 Desember 2025 | 03:03

Selengkapnya