Berita

Ilustrasi. (Foto: Dokumentasi RMOL)

Publika

Krisis Paradoks Indonesia

KAMIS, 23 OKTOBER 2025 | 06:40 WIB | OLEH: JIMMY H SIAHAAN

EKONOMI adalah argumen politik. Ekonomi bukanlah dan tidak akan pernah menjadi sebuah ilmu. Tidak ada kebenaran objektif dalam ekonomi yang dapat ditetapkan secara independen dari penilaian politik, dan seringkali moral. 

Oleh karena itu, ketika dihadapkan dengan argumen ekonomi, Anda harus mengajukan pertanyaan kuno 'Cui bono?' (Siapa yang diuntungkan?). Hal ini yang pertama kali dipopulerkan oleh negarawan dan orator Romawi Marcus Tullius Cicero (Ha-Joon Chang)

Presiden Prabowo Subianto menegaskan bahwa Indonesia memilih jalan tengah antara sistem ekonomi kapitalisme dan sosialisme. 


Sebab, kata dia, solusi terbaik bagi Indonesia adalah merumuskan jalan sendiri yang berpijak pada karakter bangsa. 

“Saya memilih jalan tengah, mengambil yang terbaik dari sosialisme dan yang terbaik dari kapitalisme,” ujar Prabowo dalam pidatonya di Forum Ekonomi Internasional St. Petersburg (SPIEF) 2025, Jumat, 20 Juni 2025.

Ia menyebut kapitalisme murni hanya menghasilkan ketimpangan. Sementara sosialisme murni tidak realistis karena cenderung membuat orang enggan bekerja. 

"Tapi jalan kita adalah jalan tengah. Kita ingin menggunakan kreativitas dari kapitalisme. Inovasi, inisiatif, ya, kita butuh itu," ungkapanya. 

"Namun kita juga butuh intervensi pemerintah untuk mengatasi kemiskinan, kelaparan, dan untuk melindungi yang lemah," lanjutnya.

Bahkan pada kesempatan itu, Prabowo juga mengkritik negara-negara di Asia Tenggara yang cenderung mengikuti kekuatan besar dunia. Akibatnya, terjadi dominasi model ekonomi neoliberal dan pasar bebas tanpa banyak campur tangan negara. 

"Elit Indonesia mengikuti pendekatan ini. Akibatnya, menurut saya, kita gagal menciptakan arena persaingan yang adil bagi semua lapisan rakyat," katanya.  

Meski ekonomi Indonesia tumbuh rata-rata 5 persen per tahun dalam tujuh tahun terakhir, Prabowo menilai hal itu belum menghasilkan pemerataan kesejahteraan.

 “Kekayaan tetap berada di tangan segelintir orang,  kurang dari 1 persen populasi. Dan menurut saya, ini bukan formula keberhasilan,” ujarnya. 

Oleh karena itu, Prabowo menegaskan bahwa setiap negara harus mengikuti filosofi ekonomi yang sesuai dengan budaya dan latar belakangnya sendiri. 

Populisme adalah sebuah konsep yang kontroversial untuk berbagai sikap politik yang menekankan gagasan "rakyat biasa," seringkali bertentangan dengan elit yang dianggap ada.  

Populisme sering dikaitkan dengan sentimen anti-kemapanan dan anti-politik. Istilah ini berkembang pada akhir abad ke-19 dan telah diterapkan pada berbagai politisi, partai, dan gerakan sejak saat itu, seringkali dengan nada yang merendahkan. 

Jalan Ketiga 

Seperti "Jalan Ketiga" adalah posisi politik yang cenderung beraliran tengah yang berusaha untuk mendamaikan politik kanan-tengah dan kiri-tengah dengan menggabungkan kebijakan ekonomi liberal dan demokrasi sosial.

Jalan Ketiga adalah rekonseptualisasi demokrasi sosial. Jalan ini mendukung program workfare alih-alih kesejahteraan, program pelatihan kerja, kesempatan pendidikan, dan program pemerintah lainnya yang memberikan bantuan kepada warga negara, alih-alih bantuan sosial. 

Dipopulerkan oleh Keynesianisme, namun pada saat itu kontras dengan meningkatnya popularitas neoliberalisme dan Gerakan Kanan Baru yang dimulai pada akhir tahun 1970-an dan sepanjang tahun 1980-an. 

Kubu Sosial Demokrat

Di Amerika Serikat, pendukung utama Jalan Ketiga adalah Presiden Bill Clinton. Di Inggris, pendukung sosial demokrat Jalan Ketiga, Tony Blair, mengklaim bahwa sosialisme yang ia advokasi berbeda dari konsepsi sosialisme tradisional dan berkata:

"Sosialisme jenis saya adalah serangkaian nilai yang didasarkan pada gagasan keadilan sosial. Sosialisme sebagai bentuk determinisme ekonomi yang kaku telah berakhir, dan memang seharusnya begitu.” 

Blair menyebutnya sebagai "sosialisme" yang melibatkan politik yang mengakui individu sebagai saling bergantung secara sosial dan menganjurkan keadilan sosial, kohesi sosial, nilai yang sama bagi setiap warga negara, dan kesempatan yang sama. 

Kebijakan yang didukung oleh pendukung Jalan Ketiga yang menggambarkan diri mereka sendiri bervariasi berdasarkan wilayah, keadaan politik, dan kecenderungan ideologis. 

Pendukung Jalan Ketiga umumnya mendukung kemitraan publik-swasta , komitmen terhadap konservatisme fiskal, yang menggabungkan kesetaraan kesempatan dengan tanggung jawab pribadi,peningkatan modal manusia dan sosial, dan perlindungan lingkungan.

Tetapi bahkan dalam mengejar tujuan-tujuan ini, pendukung "Jalan Ketiga" berbeda dalam kebijakan mereka, karena prioritas yang saling bertentangan. 

Anthony Giddens, pengarang buku "Jalan Ketiga" misalnya  yang percaya bahwa masyarakat harus lebih inklusif terhadap orang lanjut usia menyerukan penghapusan usia pensiun sehingga orang dapat keluar dari dunia kerja kapan pun mereka telah menabung cukup.

Presiden Prancis Emmanuel Macron melakukan yang sebaliknya, menaikkan usia pensiun untuk menyeimbangkan anggaran. Saat ini menjadi masalah utama Perancis.

Pemerintahan Bill Clinton, yang dipengaruhi oleh karya ilmuwan politik kontroversial Charles Murray, kurang bersahabat dengan negara kesejahteraan dibandingkan Tony Blair. 

Saat ini hubungan Presiden Prabowo dengan Presiden Macron dan mantan PM Inggris sangat erat. Terbukti dalam kasus penyelesaian Gaza,  ketiganya dalam satu front untuk adanya perdamaian.

Legasi Sang Begawan

Sebuah artikel berjudul, "Daddy's issue" dalam majalah The Economist, 16 Agustus, hal 30, terbetik,  Soemitro memahami bahwa ekonomi negara berkembang menghadapi tantangan keseimbangan yang rumit. Kebijakannya bertujuan untuk menarik investasi asing sekaligus membangun kapasitas kelembagaan Indonesia secara berkelanjutan.

Sebaliknya, putranya memilih untuk menukar stabilitas fiskal dengan program-program yang mencolok dan menarik suara, yang justru memperkuat kekuasaannya dan tidak banyak membantu pertumbuhan jangka panjang. 

Pemerintahannya memadukan kontrol otoriter dengan pengeluaran populis. 
Ini adalah parodi dari warisan Sumitro yang sesungguhnya: "kebijakan fiskal yang disiplin dan lembaga-lembaga yang kuat" yang sangat dibutuhkan Indonesia.

Perlu Reformasi Institusi 

Disebut sebagai, korporasi raksasa Danantara bermodalkan Rp1.000 triliun merupakan singkatan dari Daya Anagata Nusantara. "Daya" memiliki makna kekuatan, "Anagata" memiliki makna masa depan, dan "Nusantara memiliki makna tanah air. Danantara ini bertujuan untuk berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 8 persen dan membawa Indonesia menuju Indonesia Emas 2045. Diresmikan, 24 Februari 2025.

Ada 80.000  Koperasi Merah Putih yang dapat meminjam Rp2 hingga 3 miliar dari Bank Merah Putih. Hal ini juga merupakan program di pedesaan dengan penuh harapan yang besar bagi kehidupan rakyat.

Disamping program MBG, makanan bergizi bagi 80 juta anak2 yang merupakan generasi muda harapan bangsa. Di samping program Sekolah Rakyat dan Proyek Cold Storage bagi nelayan.

Dalam masa kekuasaannya satu tahun pertama kekuasaan pemerintahan Presiden Prabowo dengan Kabinet Merah Putihnya dalam posisi penuh harapan yang besar namun disamping kekhawatiran yang besar. 

Antara optimisme dan pesimisme. Harapan dan kekhawatiran dapat dikatakan berimbang 50/50. Ibarat, sebuah pertandingan sepak bola dengan hasil skor draw.

Peristiwa "Duka Agustus"

Indonesia tergolong negara berpenghasilan menengah ke atas dan anggota G20. Indonesia memiliki PDB nominal yang besar dan termasuk di antara negara-negara dengan ekonomi terbesar di dunia.

Meskipun mengalami pertumbuhan ekonomi, negara ini menghadapi masalah yang berkelanjutan. periode kesulitan ekonomi pada tingginya kemiskinan dan lapangan pekerjaan yang sedikit.

Pada akhir Agustus 2025, terdapat protes baru sebagai respons terhadap berbagai isu, termasuk meningkatnya keterlibatan militer dalam peran sipil dan pengeluaran pemerintah yang kontroversial.

Laporan dari organisasi seperti Departemen Luar Negeri AS menyoroti kekhawatiran yang berkelanjutan terkait isu-isu hak asasi manusia, termasuk perilaku polisi, kondisi penjara, dan independensi peradilan.

Kesimpulannya, istilah "Krisis paradoks Indonesia"merujuk pada "Duka Agustus" peristiwa spesifik namun juga, pada kombinasi yang kompleks dan paradoks antara kemajuan ekonomi dengan tantangan sosial-ekonomi dan politik yang terus-menerus merebaknya peristiwa korupsi.

*Penulis adalah Eksponen Gema 77/78


Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

Evakuasi Banjir Tapsel

Kamis, 27 November 2025 | 03:45

UPDATE

Tragedi Nasional dari Sumatra dan Suara yang Terlambat Kita Dengarkan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:44

Produktivitas Masih di Bawah ASEAN, Pemerintah Susun Langkah Percepatan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:41

Lewat Pantun Cak Imin Serukan Perbaiki Alam Bukan Cari Keributan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:38

Bank Mandiri Sabet 5 Penghargaan BI

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:27

Liga Muslim Dunia Siap Lobi MBS untuk Permudah Pembangunan Kampung Haji Indonesia

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:18

Banjir Rob di Pesisir Jakarta Berangsur Surut

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:13

RI–Timor Leste Sepakat Majukan Koperasi

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:08

Revisi UU Cipta Kerja Mendesak di Tengah Kerusakan Hutan Sumatera

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:57

Bahlil Telusuri Dugaan Keterkaitan Tambang Martabe dengan Banjir Sumut

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:48

BI: Cadangan Devisa RI Rp2.499 Triliun per Akhir November 2025

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:39

Selengkapnya