Ilustrasi. (Foto: Dokumentasi Penulis)
Ilustrasi. (Foto: Dokumentasi Penulis)
Jelang fajar 16 Oktober 2025, bangsa Indonesia kembali diajak merenungi arah perjalanan hukumnya: Apakah hukum kita masih menjadi cahaya bagi keadilan, atau telah berubah menjadi alat kekuasaan yang menzalimi rakyatnya..?
Pertanyaan ini melahirkan kesadaran mendalam: sudah saatnya Indonesia menegakkan kembali dimensi profetik dalam kebijakan hukum nasional, sebuah paradigma yang menautkan hukum dengan nilai-nilai ilahiah dan akal budi manusia.
Dalam hukum positif modern, norma diukur dari sah tidaknya prosedur formal. Namun dalam hukum profetik, ukuran kebenaran bukan hanya legalitas, tetapi juga moralitas, spiritualitas, dan keadilan ilahiyah. Karena itu, pembaruan hukum nasional tidak cukup hanya lewat amandemen peraturan, ia harus dimulai dari revolusi ruhani dalam hukum itu sendiri.
Krisis Paradigma Hukum dan Hilangnya Dimensi Profetik
Krisis hukum Indonesia dewasa ini tidak semata disebabkan lemahnya lembaga penegak hukum, tetapi lebih dalam dari itu: hilangnya kesadaran profetik dalam penyusunan dan pelaksanaan hukum.
Hukum nasional telah terjebak dalam paradigma positivistik, yang menuhankan prosedur dan mengabaikan nurani. Akibatnya, hukum sering sah tetapi tidak adil, dan kebijakan sering legal tetapi menzalimi rakyat.
Nilai langit yaitu keadilan (‘adl), amanah, rahmah, dan hikmah telah tergantikan oleh kepentingan ekonomi, politik, dan oligarki. Maka, hukum kehilangan cahayanya, dan keadilan pun menjadi komoditas yang bisa diperjualbelikan.
Padahal Allah SWT menegaskan:
“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata, dan telah Kami turunkan bersama mereka Kitab dan neraca (keadilan), supaya manusia dapat menegakkan keadilan.”
(QS. Al-?ad?d (57): 25)
Ayat ini adalah fondasi politik hukum profetik : setiap hukum yang menegakkan keadilan adalah hukum yang sesuai dengan kehendak Allah; sedangkan hukum yang menindas, meski sah secara formal, sejatinya melawan kehendak langit.
Politik Hukum Islam: Fondasi Keadilan yang Menyeluruh
Dalam teori Politik Hukum Islam (siyasah syar‘iyyah), hukum tidak berdiri netral di ruang kosong. Ia harus menjadi instrumen moral publik untuk menegakkan maq??id asy-syar?‘ah, yaitu perlindungan terhadap agama, jiwa, akal, harta, dan kehormatan manusia.
Negara yang mengabaikan nilai profetik akan terjerumus menjadi negara prosedural, bukan negara peradaban. Imam Ibn Taymiyyah pernah menegaskan dalam As-Siy?sah asy-Syar‘iyyah :
“Sesungguhnya Allah menegakkan negara yang adil walaupun kafir, dan tidak menegakkan negara yang zalim walaupun Muslim.”
Artinya, keadilan adalah nilai transenden yang berlaku universal. Negara yang menegakkan keadilan akan kokoh, bahkan tanpa kesamaan agama; sedangkan negara yang zalim pasti akan runtuh, meski seluruh warganya beriman.
Mengapa Hukum Harus Kembali ke Dimensi Profetik?
Pertama, hukum tanpa ruh profetik adalah hukum tanpa hati. Ia mungkin mampu menghukum, tapi tak mampu memanusiakan. Hukum profetik menjadikan keadilan bukan hanya soal pasal, tapi juga soal nurani.
Kedua, nilai profetik bersifat universal. Kebenaran (al-?aqq), keadilan (‘adl), amanah, rahmah, dan hikmah adalah nilai semua agama. Maka hukum profetik bukan hukum eksklusif Islam, tetapi hukum yang menghidupkan fitrah kemanusiaan.
“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiy?’ (21): 107)
Ketiga, hukum profetik membangun peradaban, bukan sekadar ketertiban.
Tujuan hukum bukan sekadar mengatur, tetapi mendidik. Ia menuntun manusia untuk jujur, amanah, dan berakhlak, sebagaimana Nabi Muhammad Saw membangun masyarakat Madinah dengan prinsip keadilan universal.
Nilai-Nilai Langit dalam Struktur Hukum Profetik
Pertama, Tauhid (Ketuhanan) : Menegaskan bahwa sumber hukum tertinggi hanyalah Allah, bukan kepentingan manusia.
Kedua, ‘Adl (Keadilan) : Menjadi timbangan Allah di bumi alat ukur moral peradaban.
Ketiga, Amanah (Kejujuran dan Tanggung Jawab) : Mengikat kekuasaan agar tak disalahgunakan.
Keempat, ?Ra?mah (Kasih Sayang) : Hukum berpihak kepada yang lemah, bukan kepada yang berkuasa.
Kelima, ??ikmah (Kebijaksanaan): Menyatukan nalar hukum dengan kebeningan spiritual.
“Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama yang lurus; tetaplah di atas fitrah Allah yang menciptakan manusia menurut fitrah itu.” (QS. Ar-R?m (30): 30)
Fitrah manusia adalah cinta kepada keadilan dan kebenaran. Maka hukum profetik sesungguhnya adalah hukum fitrah, bukan sekadar hukum formal.
Bukti Nyata Penyimpangan Hukum Nasional
Kenyataan di Indonesia menunjukkan banyak hukum kehilangan ruh langit :
Pertama, Produk hukum yang berpihak pada oligarki. Revisi UU Minerba, Omnibus Law Cipta Kerja, dan regulasi lingkungan banyak mengorbankan hak rakyat kecil.
Kedua, Ketimpangan penegakan hukum. Pejabat dan konglomerat sering lolos dari jerat pidana, sementara rakyat kecil dihukum tanpa belas kasih.
Ketiga, legislasi tanpa etika spiritual. Hukum disusun bukan berdasarkan kebenaran, tetapi transaksi politik. Padahal dalam Islam, legislasi adalah ibadah politik.
Keempat, diamnya sebagian ulama dan akademisi. Ketika nurani ilmuwan bungkam, hukum kehilangan cahaya petunjuknya.
Rekomendasi: Agenda Reformasi Hukum Profetik
Pertama, integrasi nilai profetik dalam legislasi nasional. Setiap RUU harus diuji berdasarkan prinsip tauhid, keadilan, amanah, rahmah, dan hikmah.
Kedua, Pembentukan Dewan Etika Profetik Nasional. Berisi ulama lintas agama, akademisi, dan ahli hukum untuk menilai moralitas setiap kebijakan.
Ketiga, Reformasi pendidikan hukum nasional. Kurikulum hukum harus memuat maq??id asy-syar?‘ah dan etika profetik agar lahir generasi penegak hukum berakhlak.
Keempat, Audit moral dan spiritual bagi aparat hukum. Hakim, jaksa, dan polisi wajib menjalani pelatihan tazkiyah an-nafs (penyucian jiwa) sebagai syarat profesionalisme.
Kelima, Kolaborasi ulama–akademisi–pemimpin bangsa. Ulama menjaga nurani, akademisi menjaga rasio, pemimpin menjaga pelaksanaan. Inilah sinergi segitiga emas hukum profetik.
Panggilan Iman dan Keadilan
Dimensi profetik adalah jantung hukum yang hidup. Tanpanya, hukum menjadi gelap; dengannya, hukum menjadi cahaya bagi bangsa. Reformasi hukum profetik bukan sekadar kebutuhan akademik, ia adalah panggilan iman dan tanggung jawab moral bangsa Indonesia.
Hukum harus kembali kepada tujuannya, menegakkan keadilan, menumbuhkan kasih, dan menghadirkan rahmat bagi seluruh alam.
Laksma TNI (Purn) Jaya Darmawan, M.Tr.Opsla.
Mahasiswa Pascasarjana S3 UIN STS Jambi tahun 2025
Populer
Senin, 01 Desember 2025 | 02:29
Minggu, 30 November 2025 | 02:12
Jumat, 28 November 2025 | 00:32
Kamis, 27 November 2025 | 05:59
Jumat, 28 November 2025 | 02:08
Jumat, 28 November 2025 | 04:14
Kamis, 27 November 2025 | 03:45
UPDATE
Jumat, 05 Desember 2025 | 15:44
Jumat, 05 Desember 2025 | 15:41
Jumat, 05 Desember 2025 | 15:38
Jumat, 05 Desember 2025 | 15:27
Jumat, 05 Desember 2025 | 15:18
Jumat, 05 Desember 2025 | 15:13
Jumat, 05 Desember 2025 | 15:08
Jumat, 05 Desember 2025 | 14:57
Jumat, 05 Desember 2025 | 14:48
Jumat, 05 Desember 2025 | 14:39