SEJAK Shin Tae-yong (STY) dipecat oleh PSSI, saya sudah punya firasat nggak enak. Ini bukan soal fanatisme terhadap pelatih Korea Selatan itu, tapi karena keputusannya terasa janggal dan buru-buru. Firasat saya sederhana: PSSI lagi-lagi jatuh ke tangan kepentingan politik.
Padahal, di bawah STY, timnas menunjukkan progres nyata. Ranking FIFA naik dari posisi 173 pada 2020 menjadi 134 pada Juni 2024. Permainan kita mulai punya arah, intensitas pressing tinggi, dan mental pemain muda seperti Marselino Fedinan, Witan Sulaeman, hingga Justin Hubner tumbuh luar biasa. Tapi justru di saat performa itu membaik, STY dilepas begitu saja.
Dari situ, saya langsung curiga -- bau politiknya mulai tercium. Apalagi, keputusan itu datang tak lama setelah gonjang-ganjing soal dukungan PSSI terhadap agenda politik tertentu di level nasional. Ini bukan tuduhan tanpa dasar. Dalam sejarah PSSI, aroma politik selalu hadir dalam tiap pergantian pucuk kepemimpinan -- mulai dari era Nurdin Halid, Djohar Arifin, hingga sekarang di bawah Erick Thohir.
Dan ketika Patrick Kluivert diumumkan sebagai pengganti STY, kecurigaan saya berubah jadi keyakinan. Kluivert memang legenda besar saat masih bermain di Barcelona dan timnas Belanda. Tapi di dunia kepelatihan, catatannya minim prestasi. Berdasarkan data Transfermarkt, sejak 2008 Kluivert hanya pernah melatih dua tim secara penuh: FC Twente U-21 dan Curacao. Sisanya, ia hanya menjabat asisten pelatih atau direktur teknik tanpa pencapaian signifikan.
Lalu kenapa orang dengan rekam jejak seperti itu ditunjuk untuk menggantikan STY yang sedang membawa timnas ke arah positif? Jawabannya jelas bukan soal kemampuan teknis. Ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar strategi dan formasi -- ada kepentingan.
Dan gejalanya makin kuat terlihat ketika laga perdana pada putaran keempat Kualifikasi Piala Dunia 2026 melawan Arab Saudi berlangsung. Formasi yang diturunkan Kluivert terasa aneh. Pemain-pemain inti yang biasa tampil disiplin di bawah STY justru disimpan, sementara beberapa pemain yang belum nyetel malah dipaksakan main.
Hasilnya, permainan terlihat kacau, kehilangan bentuk. Banyak pengamat sepak bola menyebut, susunan pemain itu “nggak nyambung dengan logika taktik.”
Beberapa analis di media luar bahkan menyoroti keputusan itu.
Gulf Today menulis, “Indonesia tampil tanpa keseimbangan, seolah tidak punya rencana permainan.”
Kalau Anda paham dunia taruhan internasional, pola seperti ini sering terjadi. Ketika hasil pertandingan bisa ditebak aneh -- bukan kalah karena taktik, tapi karena formasi yang anomali.
Saya bukan menuduh langsung, tapi mari jujur: sepak bola dunia memang tak sepenuhnya bersih. Dan jika federasi kita tak punya benteng integritas kuat, sangat mudah terseret dalam arus kotor itu.
Sekarang, kita lihat siapa di puncak semua keputusan: Erick Thohir. Ia dikenal sebagai figur kuat di pemerintahan dan bisnis. Tapi publik tentu masih ingat, kasus pemecatan komisaris dan direksi BUMN ASDP -- yang justru terjadi setelah mereka melaporkan dugaan korupsi ke Kementerian BUMN.
Menurut laporan
Tempo dan CNN Indonesia (Mei 2024), dua pejabat itu dicopot tak lama setelah menyampaikan temuan ke Erick Thohir. Ini menimbulkan tanda tanya besar soal standar integritas dan keberpihakan terhadap transparansi.
Dan jangan lupa: Erick juga memegang dua jabatan strategis sekaligus -- Menpora dan Ketua PSSI. Dalam tata kelola pemerintahan modern, itu sudah jelas
conflict of interest. Bagaimana mungkin seseorang bisa bersikap objektif mengatur olahraga nasional, termasuk sepak bola, sementara dia juga ketua federasi olahraga paling besar dan berpengaruh?
Lucunya, sebagian publik justru memuji rangkap jabatan itu. Katanya, “biar efisien, toh orangnya kompeten.” Padahal, efisiensi bukan berarti semua kekuasaan dikonsentrasikan di satu tangan. Itulah bibit otoritarianisme dalam dunia olahraga?"samar tapi berbahaya.
Lihat saja bagaimana gaya kepemimpinan Erick di PSSI -- lebih korporatis daripada partisipatif. Semua keputusan besar, termasuk soal pelatih, dilakukan tertutup.
Publik dan pecinta sepak bola cuma bisa tahu hasil akhir dari jumpa pers atau unggahan Instagram. Padahal, sepak bola itu milik rakyat. Harusnya keputusan besar seperti itu dikomunikasikan secara terbuka, bukan seperti rapat direksi perusahaan.
Kalau ditarik benang merahnya, semua langkah ini menunjukkan satu hal: sepak bola Indonesia sedang dikendalikan bukan untuk prestasi, tapi untuk kepentingan. Entah itu politik, bisnis, atau bahkan judi. Polanya sudah terlalu jelas untuk diabaikan.
Saya bukan anti Erick Thohir, bukan juga pendukung STY garis keras. Saya cuma pemaen bola kampung yang masih percaya bahwa sepak bola itu sederhana: kerja keras, jujur, dan kompak. Tapi kalau sudah dicampuri kepentingan politik dan uang besar, yang tersisa dari sepak bola kita cuma seragam dan kekecewaan.
Ironisnya, sebagian dari kita cepat melupakan ini semua. Begitu tim menang lawan tim kecil di Piala AFF, semua langsung euforia, seolah semuanya baik-baik saja. Padahal, sistem pembinaan masih amburadul, liga masih rawan
match fixing, dan kebijakan PSSI masih jauh dari transparan.
Harusnya, dari pemecatan STY sampai penunjukan Kluivert, publik bisa menarik kesimpulan tegas: ini bukan soal sepak bola, tapi soal siapa yang punya kuasa mengatur arah sepak bola Indonesia. Dan kalau arah itu tetap dibiarkan seperti ini, jangan berharap kita bisa bicara banyak di Piala Dunia 2026.
Karena pada akhirnya, sepak bola kita bukan lagi tentang siapa yang terbaik di lapangan, tapi siapa yang paling punya kepentingan di balik layar.
Agung NugrohoPemerhati sepak bolaCatatan Referensi:
1. Antara (2024): “Ranking FIFA Indonesia naik ke posisi 134 dunia di bawah asuhan Shin Tae-yong.”
2. Tempo (2024): “Dua pejabat ASDP dicopot setelah laporkan dugaan korupsi ke Kementerian BUMN.”
3. Transfermarkt (2025): Data rekam karier Patrick Kluivert sebagai pelatih.
4. Gulf Today (2025): Laporan analisis laga Indonesia vs Arab Saudi, yang menyoroti formasi tak konsisten.
5. CNN Indonesia (2024): “Erick Thohir rangkap jabatan Menpora dan Ketua PSSI, menuai kritik publik.”