Berita

Ilustrasi (Foto: Artificial Inteligen)

Publika

Eropa: Paket Lengkap Bunuh Diri Energi

SABTU, 18 OKTOBER 2025 | 11:42 WIB | OLEH: YUSRA ABDI*

ENERGI bukan sekadar komoditas. Ia adalah prasyarat semua aktivitas fisik, biologis, dan ekonomi. 

Vaclav Smil menyebut energi sebagai mata uang universal, karena sama seperti uang dalam ekonomi, energi menjadi medium pertukaran di dunia nyata. Setiap proses, mulai dari fotosintesis, metabolisme, transportasi, industri, hingga komputasi, bergantung pada aliran energi. Pertanian, misalnya, mengandalkan sinar matahari, tenaga kerja manusia dan hewan, serta bahan bakar fosil untuk menggerakkan mesin dan pupuk kimia. Tanpa energi, sistem produksi dan kehidupan akan runtuh.

Karena itu, pemahaman tentang energi bukan sekadar persoalan teknis, melainkan kunci bagi keberlangsungan peradaban. Energi dapat diukur dengan satuan fisik yang seragam—joule, kilowatt-jam, kalori—sehingga bisa dibandingkan lintas sektor. Kita bisa mengetahui berapa energi yang dibutuhkan untuk menghasilkan baja dibandingkan dengan energi yang menggerakkan pusat data kecerdasan buatan. Dengan perspektif ini, terlihat jelas “harga fisik” dari setiap aktivitas, yang sering tersembunyi di balik fluktuasi harga uang.


Sejarah peradaban menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi dan kompleksitas sosial selalu berjalan beriringan dengan kenaikan konsumsi energi per kapita. Revolusi besar dalam sejarah manusia adalah revolusi energi: dari otot manusia dan hewan, ke angin dan air, lalu ke bahan bakar fosil, listrik, dan nuklir. Setiap transisi bukanlah pergantian instan, melainkan rekonstruksi mendasar terhadap fondasi kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Karenanya pasar energi yang murah dan stabil menjadi krusial bagi perkembangan ekonomi sebuah negara dan kawasan.

Perang Rusia-Ukraina yang pecah Februari 2022 banyak mengubah struktur pasar energi di Eropa. Sanksi ekonomi yang dijatuhkan Uni Eropa terhadap Rusia dibalas dengan pengurangan pasokan gas alam dari Rusia, sumber energi yang selama ini menjadi tulang punggung industri Eropa. Akibatnya, Eropa kehilangan akses terhadap energi murah dan stabil, memicu krisis energi dan lonjakan biaya produksi yang memukul daya saing industri.

Sebelum perang, harga kontrak gas pipa Rusia ke Eropa melalui Nord Stream hanya sekitar  6 - 7 Dolar AS per MMBTU pada 2018–2019, mengikuti stabilitas harga minyak. Sebaliknya, LNG dari Amerika Serikat—setelah memperhitungkan biaya pencairan, pengapalan, regasifikasi, dan distribusi—berkisar antara 13-18 Dolar AS per MMBTU. Struktur biaya yang lebih tinggi ini membuat energi di Eropa menjadi salah satu yang termahal di dunia. Harga listrik di Eropa kini 158 persen lebih tinggi, sementara harga gas 345 persen lebih tinggi dibandingkan di Amerika. Dalam kondisi seperti ini sulit bagi industri Eropa (Uni Eropa) untuk bersaing dengan AS maupun Asia.

Sebagai respons atas melemahnya ekonomi, Komisi Eropa meluncurkan “Kompas Daya Saing” (Competitiveness Compass) pada Januari 2025, yang diilhami oleh Laporan Mario Draghi bertajuk The Future of European Competitiveness (September 2024). Draghi menilai bahwa Eropa menghadapi tantangan eksistensial akibat melambatnya pertumbuhan dan produktivitas yang tertinggal jauh dari Amerika Serikat. Ia menyoroti tiga penyebab utama: kegagalan memanfaatkan revolusi digital, lonjakan biaya energi pasca hilangnya pasokan Rusia, serta ketidakstabilan geopolitik.

Mario Draghi, mantan Perdana Menteri Italia ini memperingatkan bahwa tanpa peningkatan produktivitas yang radikal, Eropa harus mengorbankan ambisi sosial dan target dekarbonisasi. Ia mengusulkan diversifikasi sumber energi, investasi lebih dari €1 triliun untuk transisi energi bersih, penguatan rantai pasokan, serta reformasi struktural untuk menurunkan harga energi. Namun, implementasinya terbentur kenyataan bahwa energi alternatif seperti LNG Amerika secara struktural jauh lebih mahal dari gas Rusia.

Di atas kertas, diversifikasi energi terdengar logis. Namun kenyataannya, LNG Amerika (AS) secara struktural jauh lebih mahal daripada gas pipa Rusia. Kesepakatan UE untuk membeli LNG AS senilai 750 miliar Dolar AS (2025–2028) sering dikritik sebagai “bunuh diri energi.” Alih-alih memperkuat daya saing, keputusan ini memperlemah pondasi industri Eropa, terutama Jerman. 

Model industri Jerman yang selama ini bertumpu pada energi Rusia murah, permintaan tinggi dari Cina, serta payung keamanan AS kini runtuh serentak. Para analis menggambarkan mahalnya harga energi di Eropa sebagai  sebagai krisis yang dibuat sendiri (self-inflicted crisis), yang diperburuk oleh sanksi terhadap Rusia. Krisis ini dituduh menyebabkan deindustrialisasi, penurunan ekonomi, dan ketergantungan geopolitik terhadap Amerika.

Seruan untuk memboikot energi dari Rusia tidak sepenuhnya diikuti oleh anggota Uni Eropa.  Hongaria, yang mendapat 80 persen pasokan minyak mentahnya dari Rusia, menolak menghentikan impor dengan alasan  keterbatasan infrastruktur pipa era Soviet. Menteri Luar Negeri Péter Szijjártó menegaskan bahwa pasokan energi adalah persoalan fisik, bukan politik. Perdana Menteri Viktor Orbán memperingatkan, pemutusan total hubungan energi dengan Rusia bisa memangkas ekonomi Hungaria hingga 4 persen.

Fakta merosotnya ekonomi Eropa dapat dilihat dari negara industri terbesar Eropa, Jerman. Produksi industri Jerman berada dalam kondisi keterpurukan total (total free fall) seiring dengan masuknya negara tersebut ke tahun ketiga resesi. Jerman telah banyak memindahkan industri ke Eropa Timur, Polandia yang dominan dengan pembangkit batubara dan Hungaria yang mendapatkan pasokan energinya dari Rusia. Jerman akan berhenti menjadi kekuatan industri untuk pertama kalinya dalam 150 tahun dan ini membuat partai oposisi meradang di parlemen. 

Alice Weidel, salah satu pemimpin partai Alternative für Deutschland (AfD), di parlemen Jerman (Bundestag) membuka kenyataan pahit ini.  Menurutnya saat ini jumlah kebangkrutan di Jerman terus bertambah, dimana untuk tahun ini saja diperkirakan akan terdapat 22.000 perusahaan yang mengalami kebangkrutan. “Bapak Kanselir Federal, saya tahu anda tidak ingin mendengarkan angka-angka ini. Setidaknya hari ini anda duduk di sini dan tidak melarikan diri saat oposisi berbicara. Anda perlu mendengarkan data ini, dan kami menunggu Anda untuk menanggapinya dengan cara tertentu”, demikian kritiknya dihadapan Kanselir Jerman Friedrich Merz di parlemen Oktober ini.

Di Belanda perusahaan-perusahaan kimia mengikuti industri kimia Jerman, tidak mampu bersaing dengan Cina, mengalami kerugian dan menutup pabriknya satu per satu. Pabrik LyondellBasell di kawasan industri Rotterdam yang memproduksi propilen oksida adalah salah satu dari lima pabrik kimia yang menghentikan produksi di Belanda tahun ini— dan menimbulkan kehebohan. Pabrik itu dianggap relatif muda, dengan usia 22 tahun. Belum lama ini, pabrik tersebut baru saja direnovasi besar-besaran untuk mengurangi emisi dengan investasi sebesar 250 juta USD. “Pabrik ini termasuk instalasi yang paling efisien di jenisnya” ujar Van Klaveren, Wakil Presiden Penjualan Bahan Kimia Global & Keberlanjutan.

Krisis energi telah mempercepat perambatan deindustrialisasi di Eropa. Sektor manufaktur Perancis, misalnya, kini hanya menyumbang 9,43 persen dari PDB, turun tajam dari rata-rata historis 15,4 persen. Pergeseran konsumsi menuju jasa, perubahan preferensi investasi, dan lemahnya ekspor manufaktur semakin menekan sektor industri. Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur jatuh di bawah 50, menandakan adanya kontraksi.

Perancis juga didera dengan adanya krisis fiskal Prancis yang didorong oleh defisit anggaran yang tinggi (hampir 6 persen dari PDB). Utang publik mencapai sekitar 115 persen dari PDB dan ini membuat lembaga pemeringkat menurunkan peringkat kredit Perancis, membuat biaya pinjaman menjadi lebih mahal.

Sebanyak 64 persen pimpinan manufaktur menganggap biaya energi sebagai risiko terbesar bagi bisnis mereka. Beberapa perusahaan bahkan mempertimbangkan penutupan atau relokasi ke luar negeri demi bertahan hidup. Situasi ini menunjukkan bagaimana energi murah bukan sekadar keuntungan ekonomi, melainkan syarat mutlak bagi keberlangsungan industri. 

Di Inggris, kekhawatiran serupa muncul dimana hampir dua pertiga produsen khawatir akan pemadaman listrik musim dingin ini dan 70 persen perusahaan memprediksi kenaikan biaya energi. Kelompok industri “Make UK”yang mewakili sektor manufaktur dan industri di Inggris memperingatkan bahwa pemotongan dukungan finansial pemerintah dapat memperburuk kehilangan pekerjaan dan penurunan output. 

Negara-negara Eropa yang terlibat terhadap genosida Israel, dengan moralitas palsu berulang kali memberikan sanksi keras untuk menekan Rusia. Kaja Kallas, Wakil Presiden Komisi Eropa 19 September lalu mengumumkan paket baru sanksi ke 19 Uni Eropa terhadap Rusia dengan membatasi “shadow fleet” kapal pengangkut LNG Rusia dan melarang reasuransi untuk kapal-kapal tersebut. UE juga mempertimbangkan untuk mempercepat penghentian penggunaan LNG Rusia dari 2028 menjadi 1 Januari 2027, sebagai bagian dari rencana RePowerEU. Langkah ini didorong oleh tekanan AS, khususnya dari Presiden Donald Trump, untuk menekan perdagangan energi dengan Rusia. 

Tidak puas menekan Rusia, Uni Eropa juga kemudian menekan mitra dagangnya melalui arahan Corporate Sustainability Due Diligence Directive (CSDDD) yang disahkan pada 2024. CSDDD ini dianggap berisiko besar bagi QatarEnergy, eksportir LNG ke Eropa karena ancaman denda hingga 5 persen dari pendapatan global. Aturan ini mewajibkan perusahaan besar di UE untuk mengidentifikasi dan memperbaiki pelanggaran hak asasi manusia serta dampak lingkungan dalam rantai pasokan mereka.
 
Meskipun Parlemen Eropa berupaya melunakkan aturan tersebut, Menteri Energi Qatar Saad al-Kaabi menilai perubahan itu belum menyelesaikan kekhawatiran utama mereka. Qatar yang memasok 12–14 persen kebutuhan LNG Eropa sejak perang Rusia-Ukraina, memperingatkan bahwa regulasi ini dapat membuat mereka sulit melanjutkan bisnis di pasar Eropa. Kaabi menegaskan, ketentuan yang terlalu menekan justru akan merugikan konsumen Eropa dan mengancam daya saing ekonomi kawasan dan karenanya Qatar akan menghentikan pasokan LNG jika peraturan ini tetap dilakukan.

Ancaman penghentian pasokan LNG dari Qatar menjadikan harga gas akan meningkat dan prospek ekonomi Eropa semakin tidak menentu, dan jika benar dilaksanakan maka ini merupakan “paket lengkap” bunuh diri energi bagi Eropa.


Penulis adalah Energy Investment & PPP Specialist pada ENRI-Indonesia



Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Usut Tuntas Bandara Ilegal di Morowali yang Beroperasi Sejak Era Jokowi

Senin, 24 November 2025 | 17:20

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

UPDATE

Duka Banjir di Sumatera Bercampur Amarah

Jumat, 05 Desember 2025 | 06:04

DKI Rumuskan UMP 2026 Berkeadilan

Jumat, 05 Desember 2025 | 06:00

PIER Proyeksikan Ekonomi RI Lebih Kuat pada 2026

Jumat, 05 Desember 2025 | 05:33

Pesawat Perintis Bawa BBM

Jumat, 05 Desember 2025 | 05:02

Kemenhut Cek Kayu Gelondongan Banjir Sumatera Pakai AIKO

Jumat, 05 Desember 2025 | 05:00

Pemulihan UMKM Terdampak Bencana segera Diputuskan

Jumat, 05 Desember 2025 | 04:35

Kaji Ulang Status 1.038 Pelaku Demo Ricuh Agustus

Jumat, 05 Desember 2025 | 04:28

Update Korban Banjir Sumatera: 836 Orang Meninggal, 509 Orang Hilang

Jumat, 05 Desember 2025 | 04:03

KPK Pansos dalam Prahara PBNU

Jumat, 05 Desember 2025 | 03:17

Polri Kerahkan Kapal Wisanggeni 8005 ke Aceh

Jumat, 05 Desember 2025 | 03:03

Selengkapnya