LANGKAH pemerintah dalam beberapa bulan terakhir menunjukkan arah baru dalam pembangunan ekonomi nasional.
Di
tengah turbulensi geopolitik dan ancaman resesi global, Indonesia tidak
lagi menempatkan diri sebagai pasar terbuka tanpa arah ideologis,
melainkan sebagai negara yang sedang menegakkan kedaulatan ekonomi
melalui kebijakan yang terukur, selektif, dan berlandaskan moral
kebangsaan.
Kebijakan seperti Patriot Bond, restrukturisasi
Proyek Strategis Nasional (PSN), dan penguatan BUMN sebagai instrumen
pembangunan nasional mencerminkan pola baru yang dapat disebut sebagai
state-anchored capitalism — kapitalisme berporos pada
negara.
Model ini sejatinya sesuai dengan konsep kita sendiri
yang tercetus pada 1964 ekonomi "Banting Setir" Presiden Sukarno, yang
justru terbukti di Singapura Lee Kuan Yew pada 1972, China Tiongkok
tahun 1983 dalam pembaharuan Deng Xiao Ping.
Kemudian penjabaran
yang seharusnya dalam aspek ekonomi ketika Pak Harto 1986 menyatakan di
P4, bahwa Pancasila merupakan ideologi yang terbuka, di mana modal
swasta tetap aktif, namun arah dan loyalitasnya ditentukan oleh
kepentingan nasional, bukan pasar global.
Namun, kemauan politik
semacam ini hanya akan berhasil jika tidak dikhianati oleh mafia ekonomi
dan kaum spekulan, mereka yang menunggangi kebijakan negara untuk
kepentingan pribadi, atau yang memanipulasi isu ekonomi menjadi serangan
personal terhadap individu yang dicap “kapitalis global.”
Serangan
seperti itu bukan bentuk kritik moral, melainkan strategi pecah-belah
yang membangkitkan kebencian sosial dan menumbuhkan sentimen SARA (Suku,
Antar golongan, Ras, Agama) di tengah masyarakat.
Bila
dibiarkan, hal ini akan mengikis rasa persatuan nasional dan
menggagalkan transformasi menuju ekonomi berdaulat. Karena itu,
keberhasilan kebijakan ekonomi nasional memerlukan disiplin moral dan
kewaspadaan intelijen ekonomi terhadap infiltrasi kepentingan gelap yang
berupaya menyelewengkan arah perjuangan bangsa.
Purbaya Yudhi Sadewa dan Arus Baru Ekonomi BerdaulatPemikiran
dan langkah-langkah Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa memperkuat
arah baru ekonomi berdaulat ini. Dalam berbagai tulisan akademiknya di
buletin ekonomi moneter dan perbankan, serta makalah-makalahnya di
LPEM-UI, Purbaya menekankan pentingnya intervensi negara secara cerdas
(
smart state intervention) dalam menentukan arah
fiskal dan nilai tukar.
Berbeda dengan paradigma liberal yang
menyerahkan pasar pada mekanisme global, Purbaya menegaskan fiskal dan
moneter harus menjadi instrumen kedaulatan nasional. Bukan sekadar
penjaga stabilitas harga, melainkan motor pemerataan dan
industrialisasi.
Dalam kerangka ini, ia memandang bahwa:
- Nilai
tukar harus diarahkan bukan hanya pada kestabilan makro, tetapi juga
pada strategic competitiveness untuk memperkuat
ekspor dan investasi produktif domestik.
- Kebijakan fiskal
ekspansif yang disiplin diperlukan untuk memperkuat daya beli masyarakat
dan memeratakan manfaat pembangunan hingga lapisan terbawah.
- Integrasi kebijakan BUMN dan keuangan negara menjadi instrumen kedaulatan ekonomi, bukan sekadar efisiensi administratif.
- Transformasi
struktur industri nasional harus dimulai dari hulu — energi, pangan,
dan pertahanan — agar ekonomi tidak menjadi “subsistem” dari rantai
pasok global.
Pemikiran Purbaya tersebut menegaskan kelanjutan
dari cita-cita Sumitronomics (ekonomi berporos negara dan rakyat),
Ekonomi Pancasila ala Mubyarto, dan strategi “industrial policy” yang
pernah diusung Prof Habibie.
Ia berusaha membawa kembali
keseimbangan antara pasar, negara, dan rakyat (
market, state,
and society) ke dalam sistem yang lebih adil dan berdaulat.
Langkah
konkret Purbaya seperti pengendalian defisit anggaran secara adaptif,
penguatan koordinasi fiskal-moneter dengan BI, serta dorongan
pembentukan instrumen Patriot Bond dan pembiayaan PSN berbasis
sovereign leverage, menunjukkan keselarasan antara
filsafat kebijakan ekonomi nasional dan strategi intelijen ekonomi
negara.
Reafirmasi Historis dan MoralArah ini
menghidupkan kembali semangat Prof Sumitro Djojohadikusumo, arsitek
ekonomi bangsa, yang sejak 1950-an menegaskan bahwa Indonesia
membutuhkan ekonomi campuran — negara memimpin arah pembangunan, sektor
swasta menjadi mitra strategis, bukan lawan ideologis.
Sumitro
menekankan pentingnya membangun kapital nasional dan industri dasar agar
bangsa tidak tergantung pada modal asing. Ia bahkan menegaskan bahwa
pembangunan adalah tugas moral untuk memajukan kesejahteraan rakyat dan
menjaga martabat bangsa.
Pemikiran Sumitro sejalan dengan gagasan
Mubyarto tentang Ekonomi Pancasila, yang menempatkan keseimbangan
antara efisiensi ekonomi dan keadilan sosial sebagai ciri khas sistem
ekonomi Indonesia.
Dalam konteks kini, kebijakan re-nasionalisasi
kapital dan Patriot Bond adalah pembaruan terhadap ide-ide itu dengan
menyesuaikan diri pada tantangan global yang makin kompleks.
Secara
geopolitik, kebijakan ini memperkuat posisi Indonesia di tengah
pertarungan segitiga antara kapitalisme global Barat,
nasionalisme-ekonomi Asia, dan eksperimentasi multipolar BRICS.
Indonesia menegaskan pembangunan nasional bukan alat dominasi modal
asing, tetapi sarana untuk memperkuat daya tawar negara di fora
internasional.
Moral Intelijen dan Disiplin KebangsaanDari
sisi moral strategis, kemauan politik ini mengembalikan makna ekonomi
sebagai alat perjuangan nasional. Di masa lalu, nasionalisme ekonomi
menjadi fondasi perjuangan kemerdekaan.
Kini dalam bentuk baru,
ia menjelma menjadi nasionalisme finansial, di mana kekuatan kapital
tidak lagi menjadi ancaman, melainkan bagian dari pertahanan negara.
Fenomena
yang oleh publik disebut “Sembilan Haji” hendaknya tidak dipahami
sebagai daftar nama, tetapi sebagai simbol transformasi struktural dari
oligarki pasar bebas menuju kapital nasional yang berwatak moralistik
dan patriotik. Negara tidak lagi menjadi fasilitator pasar, melainkan
pemimpin moral dan ideologis dari peradaban ekonomi baru Indonesia.
Dengan
demikian, kebijakan ekonomi berdaulat bukan sekadar strategi
teknokratis, tetapi juga operasi intelijen moral — penataan ulang
kesetiaan ekonomi agar selaras dengan tujuan negara sebagaimana
tercantum dalam Pembukaan UUD 1945:
melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, serta memajukan
kesejahteraan umum.
PenutupKemauan
politik tanpa integritas moral adalah bara tanpa api. Ia mungkin
menghangatkan sesaat, tetapi tak akan menerangi jalan bangsa.
Dalam
masa transisi menuju kedaulatan ekonomi, musuh terbesar bukanlah
kekuatan asing semata, melainkan pengkhianatan dari dalam negeri — para
mafia dan spekulan yang menjadikan kebijakan publik sebagai ladang
transaksi pribadi.
Mereka memecah bangsa dengan narasi kebencian, mengadu rakyat dengan rakyat, lalu bersembunyi di balik jargon nasionalisme semu.
Oleh
karena itu, kemauan politik ekonomi berdaulat harus dijaga dengan
kesadaran intelijen nasional — kecerdasan untuk membedakan patriot
sejati dari aktor kamuflase.
Hanya dengan moral Pancasila dan
disiplin kebangsaan yang teguh, Indonesia dapat memastikan bahwa ekonomi
bukan menjadi alat segelintir orang, melainkan perisai dan pelita bagi
seluruh rakyat Indonesia.
A M HendropriyonoSekretaris Pengendalian Operasional Pembangunan Republik Indonesia (1995–1998)