Arief Poyuono. (Foto: Dokumentasi Pribadi)
SEBAGAI orang yang selalu mengikuti dinamika ekonomi nasional, saya melihat kebijakan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang menyuntikkan dana sebesar Rp200 triliun ke perbankan Himpunan Bank-Bank Milik Negara alias Himbara sebagai sebuah inisiatif berani yang patut diapresiasi.
Langkah ini, yang pada dasarnya bertujuan untuk memperbesar jumlah uang beredar di pasar, bisa menjadi katalisator utama bagi pemulihan ekonomi kita yang masih rapuh pasca-pandemi.
Bayangkan saja: dengan likuiditas yang lebih melimpah, suku bunga diprediksi akan merosot, membuka pintu lebar bagi konsumen untuk meminjam dana guna membeli rumah impian atau mobil keluarga, sekaligus memudahkan pelaku usaha mengakses kredit untuk meluncurkan proyek-proyek inovatif.
Akibatnya, roda konsumsi masyarakat akan berputar lebih kencang, sementara bisnis-bisnis kita semakin termotivasi untuk berinvestasi, yang pada gilirannya mendorong permintaan barang dan jasa melonjak tinggi.
Dari situ, efek domino yang positif akan mengalir deras dan sektor bisnis yang melihat lonjakan permintaan tak akan tinggal diam; mereka akan memperluas produksi, menimbun bahan baku lebih banyak, dan yang terpenting, membuka lowongan pekerjaan baru untuk menyerap tenaga kerja yang selama ini menganggur.
Ini bukan sekadar teori; ini adalah resep klasik untuk pertumbuhan ekonomi yang holistik, di mana Produk Domestik Bruto (PDB) kita bisa kembali melambung, menciptakan lingkaran keutamaan yang memberi manfaat bagi seluruh lapisan masyarakat.
Saya yakin, jika dikelola dengan baik, kebijakan moneter seperti ini bisa menjadi tonggak sejarah bagi pemerintahan saat ini dalam membangun fondasi kemakmuran jangka panjang.
Namun, seperti pisau bermata dua, euforia ini tak boleh membuat kita lalai terhadap bayang-bayang risikonya. Yang paling mengkhawatirkan adalah potensi inflasi yang membengkak, di mana uang beredar yang bertambah cepat melebihi kemampuan ekonomi kita untuk menghasilkan barang dan jasa secara proporsional, sehingga harga-harga merangkak naik tanpa kendali.
Inflasi bukan musuh yang asing; ia akan menggerus daya beli rakyat kita, membuat setiap rupiah yang kita pegang terasa semakin ringkih, di mana belanja bulanan untuk kebutuhan pokok pun jadi beban berat.
Lebih dari itu, tanpa pengawasan ketat, peningkatan likuiditas ini berisiko memicu gejolak ekonomi yang tak terduga -- bukan pertumbuhan stabil, melainkan fluktuasi liar yang bisa menjerumuskan kita ke jurang resesi baru. Pengalaman global, dari krisis 2008 hingga gejolak pasca-stimulus pandemi, mengajarkan kita bahwa kebijakan ekspansif tanpa rem bisa berujung bencana.
Karena itu, menurut saya, keberhasilan injeksi dana ini bergantung pada sinergi llyang kuat antara kebijakan moneter dan pemerintah tak boleh hanya mengandalkan Bank Indonesia; ia harus turun tangan langsung dengan mendorong investasi di sektor-sektor krusial seperti infrastruktur, pendidikan, dan layanan kesehatan, yang tak hanya menciptakan lapangan kerja instan tapi juga memperkuat daya saing jangka panjang.
Saya merekomendasikan pemotongan pajak yang strategis baik untuk individu agar pendapatan disposable mereka melonjak dan konsumsi pun ikut naik, maupun untuk perusahaan agar laba bersih mereka bisa dialokasikan ke investasi modal, riset, dan pengembangan. Saat resesi mengintai, defisit anggaran yang terkendali justru bisa menjadi senjata ampuh untuk merangsang aktivitas ekonomi, asal dikelola dengan transparan.
Lebih lanjut, efisiensi belanja negara harus menjadi prioritas utama; proyek-proyek raksasa seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) dan infrastruktur nasional perlu diawasi ketat agar setiap rupiah benar-benar menghasilkan
multiplier effect yang maksimal.
Saya juga percaya bahwa pemberdayaan rakyat melalui Pendidikan -- mulai dari sekolah rakyat hingga program vokasi yang inklusif -- adalah kunci untuk memastikan pertumbuhan ini merata, bukan hanya menguntungkan segelintir elite.
Bayangkan jika setiap pemuda kita dilatih keterampilan yang relevan; itu akan mengubah wajah ketenagakerjaan kita. Dan jangan lupakan peran sektor swasta: kolaborasi pemerintah-swasta dalam proyek strategis bisa mempercepat realisasi ide-ide brilian.
Yang lebih memberi harapan terhadap pertumbuhan ekonomi dengan adanya Kolaborasi antara pemerintah dan sektor swasta sudah dilakukan dengan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) yang meluncurkan surat utang bernama Patriot Bond.
Di mana hasil dana dari obligasi tersebut akan diinvestasikan untuk sektor energi, transisi, dan lainnya yang merupakan bagian dari kebijakan pemerintahan Prabowo Subianto dan surat utang itu diterbitkan untuk memperkuat kemandirian pembiayaan nasional yang tidak lagi bertumpu pada utang G to G atau pada IMF dan lainnya. Hal ini agar mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional hingga mencapai target pemerintahan Prabowo.