Ilustrasi kepala daerah. (Foto: Istimewa)
PLATO dalam karyanya yang berjudul Republic mengonstruksikan negara ideal sebagai negara yang dipimpin oleh filsuf yang memiliki tidak hanya pengetahuan tetapi juga kebijaksanaan yang mendalam.
Sementara itu, dalam dunia yang semakin tidak hanya kompleks tetapi juga sarat dengan ketidakpastian, perubahan dan ambiguitas ini, peran pejabat publik di kita sangat krusial dalam pengambilan keputusan yang berdampak pada masyarakat luas.
Pejabat tidak hanya dituntut untuk memiliki keterampilan teknis dan manajerial yang baik, tetapi juga harus memiliki kedalaman pemikiran dan pandangan yang luas.
Oleh karena, sejalan dengan pesan moral Plato, salah satu cara untuk mencapai hal ini adalah dengan menerapkan filsafat dalam praktik kepemimpinan dan pengambilan keputusan mereka. Artikel ini akan membahas mengapa pejabat perlu berfilsafat, bagaimana filsafat dapat mempengaruhi kebijakan publik, dan contoh-contoh nyata implementasinya.
Mengapa Pejabat Perlu Berfilsafat?Filsafat sebagai disiplin ilmu yang mengajarkan cara berpikir kritis dan analitis, dapat membantu pejabat dalam berbagai aspek.
Pertama, filsafat mendorong para pemimpin untuk mempertanyakan asumsi-asumsi yang ada dan mengeksplorasi pemikiran di balik berbagai kebijakan dari sudut pandang etis dan moral. Dalam konteks ini, pejabat yang berfilsafat cenderung lebih terbuka terhadap kritik dan masukan dari masyarakat serta mampu mengambil keputusan yang lebih bijaksana.
Kedua, dengan berfilsafat, pejabat dapat mengembangkan visi yang lebih jelas dan mendalam tentang tujuan dan nilai yang ingin dicapai melalui kebijakan publik. Filsafat mengajarkan tentang nilai-nilai seperti keadilan, kebenaran, dan utilitas yang dapat menjadi pedoman dalam merumuskan kebijakan. Selain itu, pejabat yang berfilsafat juga lebih siap menghadapi konsekuensi dari keputusan mereka dan memahami dampaknya terhadap masyarakat secara luas.
Ketiga, pejabat yang berfilsafat dapat meningkatkan komunikasi dan hubungan sosial dengan berbagai pihak stakeholder. Kemampuan untuk berdialog dan berargumentasi dengan baik, yang merupakan hasil dari pemikiran filosofis, sangat penting dalam proses pembuatan kebijakan yang melibatkan banyak pihak. Dalam dunia yang sarat dengan berbagai kepentingan, kemampuan untuk menjembatani perbedaan pandangan adalah suatu keharusan.
Filsafat dan Kebijakan PublikFilsafat berperan penting dalam proses pembuatan kebijakan publik. Ini dapat dilihat dari dua perspektif utama: etika dan epistemologi. Dalam hal etika, pejabat yang memiliki pemahaman filsafat akan mampu mengidentifikasi dan menganalisis berbagai isu moral yang dapat timbul dalam kebijakan yang mereka buat. Mereka bisa mempertimbangkan apa yang adil dan tidak adil bagi masyarakat, serta dampak dari kebijakan tersebut terhadap kelompok-kelompok yang kurang terwakili.
Dari perspektif epistemologi, pejabat perlu memahami bagaimana pengetahuan dan informasi diperoleh dan digunakan dalam proses pembuatan kebijakan. Pemahaman tentang berbagai teori pengetahuan dan metode penelitian dapat membantu pejabat dalam mengevaluasi data dan informasi yang ada, sehingga keputusan yang diambil menjadi lebih rasional dan berbasis bukti.
Sebagai contoh konkret, dalam pembuatan kebijakan terkait perubahan iklim, seorang pejabat yang berfilsafat akan mempertimbangkan aspek moral dari tindakan yang diambil, termasuk dampaknya terhadap generasi mendatang. Mereka akan berdebat tentang tanggung jawab moral kita terhadap lingkungan dan bagaimana kebijakan dapat mencerminkan nilai-nilai keberlanjutan.
Praksis Filsafat dalam Kebijakan PublikBeberapa negara telah mengadopsi pendekatan berbasis filsafat dalam kebijakan publik mereka. Misalnya, Skandinavia dikenal dengan model kesejahteraan sosialnya yang sangat dipengaruhi oleh pemikiran egalitarian. Pejabat di negara-negara ini sering mengacu pada prinsip-prinsip keadilan sosial dan kesejahteraan publik saat merumuskan kebijakan, yang tercermin dalam dukungan terhadap pendidikan dan layanan kesehatan universal.
Di Indonesia, upaya untuk menerapkan Pancasila sebagai dasar filosofi negara juga dapat menunjukkan pentingnya pemikiran filsafat dalam pembuatan kebijakan. Pancasila sejatinya bukan hanya kumpulan nilai, tetapi juga merupakan panduan moral yang mendasari pengambilan keputusan di berbagai sektor. Jika hal tersebut dapat tercipta maka akan terdapat sinergi antara nilai-nilai budaya dan praktik pemerintahan, yang bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang adil dan beradab.
KesimpulanKesadaran akan pentingnya filsafat dalam pengambilan keputusan publik sangatlah penting bagi pejabat. Filsafat memberikan alat berpikir yang kritis, membantu pejabat memahami nilai dan etika yang perlu dipegang dalam menjalankan amanah publik.
Melalui pemikiran filosofis, pejabat dapat merumuskan kebijakan yang tidak hanya efektif dan efisien tetapi juga Etis dan berdampak terhadap kepentingan publik secara luas sesuai dengan misi suci konstitusi melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Sepertinya kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto sudah mengarah pada arsy filosofis tersebut sebagaimana terefleksikan dalam prioritas kebijakan yang sangat memperhatikan masyarakat miskin. Namun, untuk mendapatkan hasil yang ideal perlu didukung oleh para pejabat yang berfilsafat.[
Dadan Sidqul AnwarAnalis Kebijakan Ahli Madya pada Direktorat Advokasi Kebijakan, Lembaga Administrasi Negara RI