Moh Hasan. (Foto: Dokumentasi Pribadi)
BEBERAPA hari terakhir, jagat maya seperti dapur gosip yang sedang mendidih. Gara-gara konflik dua warga di Malang, antara Yai Mim dan Sahara. Tapi, mendadak suku Madura ikut diseret, ditarik, lalu ditendang ke jurang stereotip.
Lucunya, yang bertengkar cuma dua orang, tapi yang dihukum seluruh satu pulau: Madura.
Logika macam apa ini? Mungkin hanya logika makhluk hidup yang saat penciptaan dahulu tak kebagian jatah otak dan hati, sehingga tak punya kemampuan empati dan prasangka baik.
Belakangan, muncul slogan satire yang keren: “Kalau mau hidup bahagia, hindari bertetangga dengan klan M.”
Huruf ‘M’ di sini bukan “Malaikat”, tapi merujuk pada plat nomor kendaraan Madura.
Wah, luar biasa! Ternyata untuk menjadi bangsa bijak di negeri ini cukup dengan membaca plat nomor. Tak perlu baca sejarah, tak perlu kenal orangnya, cukup lihat huruf M, selesai!
Tapi lucunya, ketika koruptor tertangkap, tidak ada seekor makhluk yang bilang: “Kalau mau hidup bahagia, hindari bertetangga dengan klan si anu.”
Cara pandang yang juling, seringkali menimbulkan penilaian yang absurd. Lho, kok bisa? Karena rupanya, menurut mereka (makhluk yang masih berproses sebagai manusia), mengatakan setiap perbuatan jahat dari Madura disebut “budaya”, namun yang kejahat dari suku lain disebut “oknum”.
Seorang konten kreator asal Madura, Afta Nasarulloh, sudah menampar kesadaran publik lewat videonya. Ia membaca komentar-komentar yang menyebut Madura sebagai hama, perusuh, suka menyerobot tanah, dan pemarah.
Bayangkan, hama!
Faktanya, sejarah berkata lain. Suku Madura itu keras kepala. Iya memang. Tapi keras kepala untuk bertahan hidup. Ketika tanah tandus, mereka merantau. Ketika dihina, mereka bekerja.
Ketika dikatakan “hama”, mereka malah buka Warung Madura 24 jam, bisa saja tempat para penghina belanja tengah malam dengan muka ngantuk. Ironis, bukan? Dihina di siang hari, tapi diberi rezeki sekaligus menjadi penolong kebutuhan di malam hari bagi orang yang sama.
Prasangka etnis adalah kebodohan yang diwariskan turun-temurun, dan setiap kali viral, kita wariskan lagi lewat comment section.
Tak heran kalau Indonesia makin banyak warganet, tapi makin sedikit warga negara. Warganet suka menghakimi, sedangkan warga negara mau mengerti dan menerima falasafah "Bhineka Tunggal Ika."
Di bagian masyarakat mana pun sama-sama punya “oknum” di suku masing-masing. Tapi tidak semua oknum bisa dijadikan cermin untuk menilai seluruh masyarakat.
Apabila orang-orang mulai menormalisasi cara pandang "satu berarti semua," bisa saja Jawa harus disangka koruptor, setiap orang Batak pemarah, setiap orang Bugis perompak, setiap orang Sunda licin, setiap orang Betawi cerewet. Kalau logika itu diadopsi, maka selesai sudah republik ini jadi katalog prasangka, bukan persaudaraan.
Jadi, untuk orang-orang yang mengatakan “Madura itu hama,” perlu diakui juga dengan jujur dan adil. Berapa banyak makhluk manusia yang sudah terbantu dengan keberadaan “hama” itu, tertolong dari kelaparan tengah malam, karena hanya Warung Madura yang mau buka saat warung lain sudah tutup.
Ada oknum dari makhluk manusia membuat kalimat satire seperti ini, “hindari klan M agar hidup bahagia." Sekadar untuk diketahui, huruf M itu juga ada di kata “Manusia”. Jadi, jka ada seseorang menghindari atau bahkan menghapus M, yang tersisa cuma “anusia”, dan itu memang cocok untuk makhluk yang kehilangan rasa.
Penting untuk disadari, Indonesia tidak akan bubar karena perbedaan suku, tapi akan hancur karena kehilangan logika dan empati. Kalau ada sekelompok orang masih menilai manusia dari plat nomor, alamat, atau logat, itu berarti mereka sedang memarkir akal sehat di tempat yang salah.
Moh HasanReporter RMOLJatim