Berita

R. Haidar Alwi. (Foto: Dokumentasi Pribadi)

Publika

Setop Benturkan TNI-Polri

KAMIS, 09 OKTOBER 2025 | 01:12 WIB

PERNYATAAN mantan Kepala BAIS TNI, Soleman Ponto, tentang Polri kembali menuai perhatian. Bukan karena bobot argumennya, melainkan karena bias dan aroma provokatif yang menyertainya.

Alih-alih menyampaikan kritik yang konstruktif, Ponto justru terjebak dalam narasi yang berpotensi membenturkan institusi TNI dengan Polri, bahkan mendiskreditkan Polri di mata masyarakat.

Dua poin pernyataan Ponto yang disorot antara lain soal penerimaan hibah dari pihak ketiga dan penugasan anggota di luar struktur Polri.


Keduanya menampilkan ketidakobjektifan yang mencolok, seolah-olah Polri menjadi pihak tunggal yang layak dicurigai.

Dalam kritik pertamanya, Ponto menyebut Polri menerima hibah dua hektare tanah dari Agung Sedayu Group untuk pembangunan asrama Brimob.

Ponto menarasikan hal itu dengan nada insinuatif, seolah-olah hibah tersebut mengandung kepentingan terselubung.

Padahal, dalam praktik kenegaraan, hibah dari pihak ketiga bukan hal tabu selama dilakukan secara transparan dan sesuai aturan.

Ironisnya, TNI sebagai institusi yang pernah menaungi Ponto juga menerima hibah dalam skala yang tidak kalah besar namun tak pernah menjadi bahan kritiknya.

Data menunjukkan, TNI menerima 11.250 unit rumah dinas Kodim dari PT Hutama Andalan Karya Abadi (HAKA), dana CSR Rp57,5 miliar dari 14 perusahaan, puluhan ribu meter persegi keramik dari PT Arwana Citra Mulia Tbk, serta kendaraan dan genset dari PT Respati Solusi Rekatama dan PT Antam.

Semua itu diterima atas nama sinergi pembangunan pertahanan negara, dan tidak pernah dianggap bermasalah.

Maka ketika hibah kepada Polri disampaikan dengan kacamata negatif, sementara hibah kepada TNI diabaikan begitu saja, sulit untuk tidak menyimpulkan bahwa kritik Ponto bersifat berpura-pura bahkan cenderung mengandung agenda terselubung.

Kritik keduanya pun tak kalah kontroversial. Ponto mengungkit data bahwa ada 4.351 anggota Polri bertugas di luar struktur institusi, lalu menyebut hal itu sebagai penyimpangan.

Padahal, Ponto menutup mata terhadap kenyataan bahwa di tubuh TNI sendiri terdapat 4.472 prajurit yang juga ditugaskan di berbagai instansi sipil.

Penugasan lintas struktur bukan pelanggaran, melainkan mekanisme resmi negara untuk menempatkan personel dengan kompetensi khusus di sektor strategis.

Bila fenomena ini diterima sebagai hal yang wajar di lingkungan TNI, mengapa tiba-tiba menjadi masalah besar ketika terjadi di Polri? 

Sikap seperti ini bukan hanya tidak objektif, tapi juga membangun persepsi timpang seolah-olah TNI steril dan Polri bermasalah.

Bahaya dari narasi semacam ini tidak bisa diabaikan begitu saja. Pernyataan publik dari seorang mantan pejabat intelijen senior membawa pengaruh besar terhadap opini masyarakat.

Ketika narasi itu tidak didasarkan pada keseimbangan data, ia menjadi bahan bakar bagi polarisasi dan gesekan antar-institusi. 

Di tengah upaya negara menjaga soliditas TNI-Polri sebagai dua pilar pertahanan dan keamanan nasional, framing seperti ini justru menabur benih ketegangan yang berpotensi mengganggu keharmonisan kelembagaan.

Dengan kata lain, apa yang disampaikan Ponto bukan sekadar kritik,  tetapi retorika yang berisiko merusak.

Menurutnya, kritik memang perlu, namun harus lahir dari integritas dan intelektual, bukan motif emosional atau politik. 

Ketika seorang mantan Kepala BAIS mengabaikan keseimbangan fakta, maka kredibilitas argumennya runtuh di hadapan logika publik.

Apalagi jika kritik tersebut hanya ditujukan pada satu institusi, sementara fakta serupa di institusi lain sengaja diabaikan. Itu bukan bentuk kepedulian, melainkan penggiringan opini.

Ponto mungkin bermaksud tampil sebagai pengawas moral atas institusi Polri. Namun cara yang ia pilih menyerang Polri dengan tudingan sepihak tanpa dasar perbandingan yang adil, justru mengungkap maksud terselubung.

Kritiknya kehilangan karakter, tujuan, dan berubah menjadi serangan retoris yang lebih cenderung memecah-belah daripada memperbaiki. 

Dalam konteks negara yang masih memperjuangkan kepercayaan publik terhadap lembaga hukum dan keamanan, pernyataan seperti itu bukan hanya tidak produktif, tapi juga berbahaya.


R. Haidar Alwi
Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI)


Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

Evakuasi Banjir Tapsel

Kamis, 27 November 2025 | 03:45

UPDATE

Tragedi Nasional dari Sumatra dan Suara yang Terlambat Kita Dengarkan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:44

Produktivitas Masih di Bawah ASEAN, Pemerintah Susun Langkah Percepatan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:41

Lewat Pantun Cak Imin Serukan Perbaiki Alam Bukan Cari Keributan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:38

Bank Mandiri Sabet 5 Penghargaan BI

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:27

Liga Muslim Dunia Siap Lobi MBS untuk Permudah Pembangunan Kampung Haji Indonesia

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:18

Banjir Rob di Pesisir Jakarta Berangsur Surut

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:13

RI–Timor Leste Sepakat Majukan Koperasi

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:08

Revisi UU Cipta Kerja Mendesak di Tengah Kerusakan Hutan Sumatera

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:57

Bahlil Telusuri Dugaan Keterkaitan Tambang Martabe dengan Banjir Sumut

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:48

BI: Cadangan Devisa RI Rp2.499 Triliun per Akhir November 2025

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:39

Selengkapnya