Cover buku 'Sang Nakhoda: Ketika Aku Mimpi Menjadi Presiden’. (Foto: Dokumentasi RMOL)
CITA-cita Indonesia sebagai negara maritim tak pernah habis dimakan waktu. Ratusan artikel dan jurnal sudah dihasilkan oleh para pemikir maritim Indonesia. Mimpi mulia yang terus berkelanjutan dari era Ir. Djuanda Kartawidjaja ini terus menggelinding di silih berganti pemerintahan.
Sosok presiden sebagai pimpinan tertinggi di negara dianggap penting dalam membawa hidup dan berkembangnya cita-cita ini. Harapan dan euforia sempat membumbung tinggi di era pemerintahan Joko Widodo dengan visi poros maritim dunia. Namun perjalanan selama 10 tahun membuat para pejuang maritim di negeri ini gigit jari.
Di era pemerintahan Prabowo Subianto saat ini porsi maritim makin mengecil, kendati masih tertuang dalam Asta Cita terkait ekonomi biru, harapan menjadi negara maritim harus tetap menyala.
Terkait itu, Sang Nakhoda (nama samaran) mengeluarkan uneg-unegnya dalam sebuah buku mengenai gagasan menuju negara maritim. Buku berjudul ‘Sang Nakhoda: Ketika Aku Mimpi Menjadi Presiden’ yang diterbitkan Madani Kreatif Publisher mengulas tentang konsepsi maritim dalam bahasa populis dan penuh satire dalam melihat kondisi yang ada.
Mengutip gagasan A.T Mahan, salah satu syarat dalam mencapai negara maritim yakni adanya karakter pemerintah yang bervisi kelautan. Penulis syarat ini menjadi kunci di Indonesia yang memang didukung dengan letak geografis dan kejayaan bahari masa lampau.
Dengan karakter pemerintah, maka dengan segala kebijakannya mampu membentuk karakter rakyat yang bercirikan bahari. Oleh karena itu, buku setebal 157 halaman ini mengupas cita-cita penulis jika dirinya menjadi presiden. Segudang kebijakan maritim yang berlandaskan Pancasila dan Wawasan Nusantara menjadi marwah pemerintahan hingga Indonesia disegani di seantero jagat.
Dengan keyakinan bahwa sejarah akan berulang, buku ini mengajak para pembaca untuk memahami konsep kemaritiman secara hakiki. Berangkat dari irisan kebangsaan, adat istiadat hingga ketuhanan. Semuanya diramu dalam bahasa renyah yang khas untuk menghadapi tantangan zaman.
Buku ini juga mengaitkan kondisi geopolitik global yang seiring berjalannya waktu kian menunjukkan eskalasinya. Perang besar seakan menjadi keniscayaan. Lalu siapkah kita? Dalam menghadapi berbagai ancaman maritim yang ada saat ini, negara seakan ngos-ngosan mencari solving problem. Akhirnya tidak sedikit harus melibatkan kerja sama internasional dengan negara kawasan.
Kompleksitas masalah itu dapat dilihat dari visi, nomenklatur kelembagaan, SDM hingga infrastruktur dan teknologi. Semuanya menjadi makin pelik ketika Indonesia dihadapkan dengan masalah ekonomi dan boncosnya APBN.
Ancaman
middle trap income yang terus menghantui hingga kegagalan bonus demografi menjadi persoalan rumit yang juga diulas dalam buku ini. Solusinya bertumpu pada karakter kepemimpinan, mampukah menjalankan Pancasila dan UUD 1945 dengan murni serta konsekuen? Perubahan (amandemen) UUD 1945 juga sedikit disinggung oleh penulis. Dekrit presiden bisa menjadi alternatif dalam menjawab karut marut ketatanegaraan dan kebijakan saat ini.
Setidaknya anak muda sebagai generasi penerus bangsa mampu meresapi nilai tersebut untuk menjadi modal besar dalam menuju Indonesia Emas 2045. Bahkan seperti mimpi Sang Nakhoda, generasi muda saat ini kelak menjadi pucuk pimpinan yang diharapkan mampu membawa kejayaan bangsa.
Pesan Sang Nakhoda, bangunlah dari tidur panjangmu. Dimulai dari memahami satu langkah, maka perlahan-lahan engkau akan memahami seribu langkah. Setelah itu engkau akan memahami seribu langkah. Setelah itu engkau akan melihat jalan yang terang dan diliputi rasa percaya diri. Hal yang lebih menakutkan adalah bila engkau tidak memahami hakikat dirimu, sehingga terjebak dalam kebingungan dan penderitaan. Pilihan ada di tangan anda–bangun dan bangkit untuk mempercepat perubahan dinamis di negeri ini atau tidur dengan pulas setelah itu bablas.