Berita

Ilustrasi BBM

Publika

Monopoli Oligarki BBM

RABU, 01 OKTOBER 2025 | 16:31 WIB

RAKYAT tidak pernah minta keistimewaan. Rakyat cuma mau BBM yang jujur, takaran pas, kualitas jelas, harga masuk akal. Titik. Dan ketika syarat sesederhana itu gagal dipenuhi, jangan salahkan siapa-siapa kalau kepercayaan pindah alamat.

Hari ini orang beli di Pertamina bukan karena cinta, tapi karena terpaksa. Begitu ada pilihan yang lebih fair, rakyat akan pergi tanpa menoleh. Itu bukan drama, itu logika konsumen yang waras.

Masalahnya, ketika kepercayaan mulai bergerak ke SPBU non-Pertamina, stok mereka mendadak kosong. 


Bukan karena rakyat tak mau beli, tapi karena pasokan dicekik oleh skema yang disebut pengaturan impor, kuota, dan “base fuel” satu pintu. Narasinya rapi, yaitu untuk stabilitas, untuk ketersediaan, untuk keseimbangan neraca. 

Realitasnya berantakan: pom-pom non-Pertamina berhenti jualan berminggu-minggu, sementara publik dipaksa percaya bahwa semuanya baik-baik saja. Kalau ini disebut persaingan sehat, standarnya sedang sakit.

Mari luruskan. Undang-undang tak melarang swasta menjual BBM. Mereka boleh ikut sepanjang berizin, standar terpenuhi, dan persaingan dijaga. Yang terjadi di lapangan bukan larangan terang-terangan, tapi penguncian jalur pasok. 

Ketika impor dipersempit, kuota dipatok, dan sumber “base fuel” dikendalikan dari satu gerbang, kompetisi tinggal slogan di spanduk. 

Swasta boleh hidup-asal bergantung. 

Pasar boleh terbuka-asal kuncinya di satu tangan. Itu bukan tata niaga, itu kontrol.

Publik sendiri sudah punya memori panjang. Kasus “oplosan”, kecurangan takaran, servis asal-asal, jaringan SPBU yang tak takut pada aturan-semua itu bukan isapan jempol di mata rakyat kecil yang hartanya bocor tiap tetes. 

Silakan bantah dengan konferensi pers, rakyat akan kembali ke satu pertanyaan telanjang: kenapa kepercayaan lari? Kalau jawabannya menyalahkan rumor, sementara buktinya antrean kecewa di jalanan, ya jangan kaget kalau kata “penyamun” keluar dari mulut orang yang bensinnya diakali. 

Orang tak marah karena benci BUMN. Orang marah karena haknya dicurangi, dan itu berkali-kali.

Di sini letak masalah yang paling getir: ketika rakyat mulai mencari SPBU alternatif karena merasa lebih aman dan lebih jujur, yang terjadi bukan pembenahan di tubuh raksasa, melainkan penggembosan ruang gerak kompetitor. 

Dalihnya teknis, tetapi efeknya politis, bahwa reputasi Pertamina diselamatkan bukan dengan integritas, melainkan dengan chokehold atas rantai pasok. Dan kalaupun ada kesepakatan “joint surveyor, open book, harga adil,” rakyat sudah terlalu sering melihat bagaimana kata-kata bagus jadi stiker penutup retakan.

Apakah ini murni soal kebijakan? Jangan naif. 

Di negeri yang rel keretanya dilumasi “uang pelicin”, sangat mungkin jalur pasok BBM juga penuh persekongkolan. 

Birokrat berwarna yang mengatur keran, pengusaha SPBU yang menunggu restu, pejabat yang bertugas mengawasi tapi terlalu dekat dengan yang diawasi-semuanya mungkin, semuanya masuk akal, dan semuanya pernah terjadi di sektor lain. 

Bahkan hipotesis paling sinis pun terasa realistis, bahwa kompetitor yang tak bisa dikalahkan reputasi dan layanan, dikandangkan lewat administrasi. Lawan yang tak bisa dikubur di pasar, dimatikan stoknya di hulu.

Silakan sebut ini teori, tetapi faktanya SPBU non-Pertamina kehabisan BBM, berkali-kali, sementara rakyat disuruh maklum.

Jadi berhenti pura-pura. Kalau benar negara ingin melindungi publik, buka datanya sekarang juga. 

Buka siapa pemilik tiap SPBU, buka arus “base fuel” per perusahaan, buka formula harga dan margin real, buka kuota dan prioritas pasok mingguan, bukan poster nasionalisme tiap kali ada krisis. 

Kemudian buka audit kualitas BBM secara real time, bukan rilis yang muncul setelah viral. Buka semua kontrak dan skema logistik, biar publik bisa hitung dan bandingkan. Transparansi bukan ancaman buat yang bersih; transparansi hanya menakutkan bagi yang hidup dari lumpur.

Pertamina harus memilih. Kembali menjadi BUMN yang melayani, atau tetap menjadi mesin rente yang disayang elite dan dibenci pelanggan. 

Kalau pilihannya yang kedua, jangan minta rakyat setia. Konsumen tidak berutang setia pada pelaku usaha - apalagi kalau pelakunya menggunakan regulasi sebagai pentungan. Konsumen hanya berutang setia pada akal sehatnya sendiri: cari harga wajar, kualitas benar, takaran jujur.

Di saat swasta - asing atau pribumi - mampu memberi itu, rakyat pergi dari Pertamina tanpa pidato perpisahan. Sederhana. Dan untuk para pengendali kebijakan, berhentilah menutup cacat dengan pagar kawat. 

Anda bisa menahan kompetitor hari ini, tapi tidak bisa menahan memori publik besok. 

Anda bisa “mengamankan” pasok di atas kertas, tapi tidak bisa memaksa mesin rakyat percaya lagi ketika businya sudah aus oleh kebohongan. 

Kalau regulator berubah jadi gatekeeper kepentingan, jangan salahkan kami kalau kami menyebutnya apa adanya: ini monopoli terselubung yang merusak, bukan manajemen energi yang modern.

Opini ini bukan ajakan membenci BUMN. Ini tuntutan agar BUMN kembali ke mandatnya: milik rakyat, dikelola untuk rakyat, diawasi oleh rakyat. Kalau itu terasa berat, mungkin karena terlalu lama BUMN diperlakukan sebagai sapi perah politik, bukan institusi publik. Kalau itu terdengar ofensif, bagus. Artinya saraf moral kita belum mati.

Kepada Pertamina, anda mau diselamatkan? Berhenti bersembunyi di balik regulasi. 

Segera adili pemain “oplosan” dalam jaringan Anda sendiri, perbaiki rantai kontrol mutu, pasang metering yang bisa diakses publik, jadikan open book bukan jargon, hentikan main mata dengan siapa pun yang memonopoli keran. 

Saat itu dilakukan, rakyat akan kembali - bukan karena kewajiban, tapi karena percaya. Sampai hari itu tiba, jangan heran kalau kalimat paling jujur dari mulut konsumen adalah ini: kalau ada SPBU independen yang lebih murah dan lebih jujur, kami pergi. Dan Anda tidak berhak marah.

Negara yang sehat tidak butuh musuh imajiner. Negara yang sehat butuh pasar yang fair, pengawas yang independen, dan BUMN yang paham malu. 

Jika semua itu Anda anggap “keras”, dengarkan suara pompa di malam hari ketika mobil-mobil melewati SPBU Anda yang terang namun sepi: itu bukan kebetulan, itu vonis.

Kita tidak sedang mencari siapa yang paling gagah berteriak “merah putih”. Kita sedang menagih yang paling sederhana: jujur. Kalau itu pun masih dinegosiasikan, maka benar kata rakyat: Pertamina, bereskan rumahmu. Atau bersiaplah ditinggalkan, tanpa drama, tanpa maaf.

Tim Litbang Lingkar Study Data dan Informasi (LSDI)

Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

Evakuasi Banjir Tapsel

Kamis, 27 November 2025 | 03:45

UPDATE

Tragedi Nasional dari Sumatra dan Suara yang Terlambat Kita Dengarkan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:44

Produktivitas Masih di Bawah ASEAN, Pemerintah Susun Langkah Percepatan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:41

Lewat Pantun Cak Imin Serukan Perbaiki Alam Bukan Cari Keributan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:38

Bank Mandiri Sabet 5 Penghargaan BI

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:27

Liga Muslim Dunia Siap Lobi MBS untuk Permudah Pembangunan Kampung Haji Indonesia

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:18

Banjir Rob di Pesisir Jakarta Berangsur Surut

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:13

RI–Timor Leste Sepakat Majukan Koperasi

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:08

Revisi UU Cipta Kerja Mendesak di Tengah Kerusakan Hutan Sumatera

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:57

Bahlil Telusuri Dugaan Keterkaitan Tambang Martabe dengan Banjir Sumut

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:48

BI: Cadangan Devisa RI Rp2.499 Triliun per Akhir November 2025

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:39

Selengkapnya