Ilustrasi. (Foto: Pixabay)
BAHASA sering kita sebut sebagai jantung kebudayaan. Tetapi jarang kita menyadari betapa dalam pengaruhnya terhadap cara berpikir, pola ilmu, bahkan nasib sebuah bangsa. Bahasa ibu–bahasa pertama yang kita pelajari sejak kecil adalah pusaka yang tak ternilai. Dari sanalah terbentuk kesadaran, logika, dan imajinasi. Maka wajar bila bahasa ibu selalu layak dilestarikan, di manapun dan kapanpun.
Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional, pernah menegaskan: “Bahasa adalah pendorong tumbuhnya jiwa kebangsaan.” Inilah fondasi awal: tanpa bahasa, kesadaran nasional sulit terbentuk.
Jangan Sibuk Mengklaim Bahasa Terbaik
Mari jujur: terlalu sering kita mendengar klaim seolah ada bahasa yang lebih unggul dibanding lainnya. Padahal, bahasa apa pun yang mengiringi manusia dari lahir hingga wafat, itulah bahasa yang paling mulia baginya. Tidak perlu membandingkan. Setiap bahasa yang mampu melahirkan peradaban adalah bukti keunggulannya sendiri.
Bahasa adalah Modal, Bukan Sekadar Alat
Di era global, bahasa tidak lagi berhenti pada ranah identitas. Ia kini menjadi instrumen keilmuan, perdagangan, bahkan mesin ekonomi.
Ilmu pengetahuan tersimpan dalam berbagai bahasa, maka menguasainya berarti membuka pintu pengetahuan. Perdagangan lintas negara tidak mungkin berjalan tanpa bahasa bersama.
Bahkan, bahasa kini jadi strategi bisnis. Seorang kreator Korea bisa sukses besar di Indonesia hanya dengan berbahasa Indonesia. Begitu pula musisi yang menerjemahkan lagunya ke bahasa Jepang lalu diterima luas di pasar Jepang. Bahasa adalah modal. Yang pandai menggunakannya, akan menang.
Belajar Bahasa adalah Pilihan, Bukan Paksaan
Menguasai banyak bahasa jelas nilai tambah. Tapi tidak mempelajarinya juga sah, asalkan orang sadar konsekuensinya. Ada yang belajar bahasa untuk ilmu, ada yang demi uang, ada pula yang sekadar ikut tren. Semua sah. Yang salah adalah jika kebebasan memilih ini dilarang atau diremehkan.
Bahasa Menyatukan Bangsa
Dalam sejarah Indonesia, bahasa terbukti menjadi perekat utama. Bahasa Indonesia diwajibkan di sekolah, digunakan di televisi, radio, hingga ruang publik. Hasilnya? Anak Papua bisa berbincang dengan orang Aceh tanpa hambatan. Inilah kekuatan sesungguhnya: bahasa yang menyatukan ratusan etnis dalam satu bangsa.
Bung Karno pernah berujar: “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai bahasanya sendiri.” Kalimat ini bukan sekadar retorika, melainkan pengingat bahwa bahasa adalah senjata persatuan, bukan hanya simbol komunikasi.
Kedaulatan Lebih dari Sekadar Bahasa
Namun, mari jangan terkecoh. Kedaulatan sejati sebuah negara tidak ditentukan hanya oleh bahasa. Bahasa memang lambang persatuan, tetapi urusan kedaulatan ada pada fiskal, moneter, pajak, dan kebijakan ekonomi. Apa gunanya kita berbahasa Indonesia, kalau produk asing bisa masuk bebas tanpa memberi nilai tambah bagi negeri ini?
Contoh konkret: bila ada produsen asing menjual produk di Indonesia, maka syarat kedaulatan seharusnya jelas--bangun pabrik di sini, serap tenaga kerja kita, dan bayar pajak untuk rakyat kita. Itu baru kedaulatan.
Penutup
Bahasa adalah fondasi, tetapi jangan berhenti di sana. Ia membentuk pikiran, menyatukan bangsa, dan membuka pintu dunia. Tapi kedaulatan sejati hanya terjamin bila bahasa bersanding dengan keberanian ekonomi: fiskal yang kuat, pajak yang adil, dan industri yang berdiri di tanah air sendiri.
Bahasa memang persatuan, tapi ekonomi adalah kedaulatan. Dan bangsa ini harus berani menjaga keduanya.
Muchamad Andi Sofiyan
Penggiat literasi dari dari Republikein StudieClub