JELANG 30 September 2025, bangsa Indonesia kembali berdiri di persimpangan sejarah, ketika ingatan kolektif kita diarahkan pada tragedi paling kelam: Gerakan 30 September/PKI 1965. Namun, sesungguhnya peristiwa berdarah itu bukanlah kali pertama Partai Komunis Indonesia (PKI) mempertontonkan wajah kebiadabannya.
17 tahun sebelumnya pada 1948, dunia telah menyaksikan sebuah tragedi memilukan yang dikenal sebagai Peristiwa Madiun dengan salah satu episodenya yang paling mengerikan: Tragedi Sumur Soco, Magetan, Jawa Timur.
Dari Undangan Palsu Menjadi Neraka Bagi Ulama dan Santri
Kisah tragis ini berawal dari sebuah undangan rapat yang mengatasnamakan Bupati Magetan. Para tokoh agama, ulama pesantren, dan pemuka masyarakat diundang untuk hadir, seolah-olah dalam pertemuan resmi. Tanpa curiga, sekitar 200 tokoh hadir, termasuk Kyai Soelaiman, pengasuh Pondok Pesantren Ath-Thohirin, Mojopurno. Namun, undangan itu hanyalah jebakan. Di balik pintu rapat, sudah menunggu tentara PKI dari Front Demokrasi Rakyat (FDR) dengan senjata terhunus.
Sebagian tawanan dibawa ke Pabrik Gula Rejosari Gorang-Gareng. Mereka dimasukkan ke dalam gudang, lalu diberondong senjata api hingga meregang nyawa di lautan darah. Sisanya, termasuk Kyai Soelaiman, dinaikkan ke kereta Kertapati dan digiring ke Desa Soco, tempat di mana lubang besar telah digali: bukan untuk perlindungan, tetapi sebagai kuburan massal.
Di sanalah puncak kekejaman berlangsung. Ratusan ulama dan santri dipaksa masuk ke dalam lubang. Mereka dikubur hidup-hidup, disiksa dengan senjata tajam, dan ditimbun dengan batu serta tanah. Jeritan memilukan, tangisan, dan dzikir yang bergema dari dalam sumur terdengar hingga tujuh hari lamanya. Hingga kini, Sumur Soco masih berdiri sebagai saksi bisu kebiadaban manusia yang kehilangan akal sehat karena digerakkan oleh ideologi.
PKI dan Perubahan Watak Manusia Menjadi Sadis
Pertanyaan besar muncul: bagaimana mungkin sesama anak bangsa bisa begitu kejam terhadap bangsanya sendiri? Kajian historis dan empiris menunjukkan bahwa ideologi komunisme dengan doktrin materialisme, atheisme, dan revolusi proletariat mampu menyingkirkan nurani manusia.
Pertama, doktrin komunisme menafikan nilai ketuhanan. Dalam ajaran PKI, agama dianggap “candu masyarakat”. Akibatnya, manusia kehilangan rujukan moral tertinggi, sehingga perilaku keji dianggap sah demi kepentingan ideologi.
Kedua, komunisme menekankan perjuangan kelas (class struggle) yang melahirkan permusuhan horizontal. Sesama anak bangsa diposisikan sebagai musuh hanya karena berbeda pandangan, latar sosial, atau peran di masyarakat.
Ketiga, praktik indoktrinasi PKI dilakukan secara sistematis, mulai dari organisasi buruh, tani, hingga lembaga pendidikan. Hal ini menghasilkan dehumanisasi: manusia diperlakukan bukan sebagai makhluk bermartabat, tetapi sebagai alat atau penghalang revolusi.
Sejarah mencatat, di banyak negara, komunis selalu menorehkan jejak darah: Revolusi Bolshevik di Rusia (1917), Revolusi Kebudayaan di Tiongkok (1966), hingga genosida Khmer Merah di Kamboja (1975). Indonesia pun tak luput, dari Madiun 1948 hingga G30S 1965.
Dasar Hukum dan Kewajiban Negara Mengingatkan Generasi
Secara hukum, bangsa Indonesia telah menetapkan garis tegas mengenai keberadaan PKI dan ajarannya:
Pertama, Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966: tentang Pembubaran PKI, pernyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah NKRI, serta larangan penyebaran ajaran komunisme, marxisme, dan leninisme.
Kedua, Pasal 29 ayat (1) UUD 1945: menegaskan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Ideologi atheis-komunis jelas bertentangan dengan dasar konstitusional ini.
Ketiga, Pasal 28J ayat (2) UUD 1945: menjelaskan bahwa kebebasan individu dibatasi oleh penghormatan terhadap nilai agama, moral, dan ketertiban umum. PKI dengan doktrin revolusinya melanggar prinsip tersebut.
Keempat, UU No. 27 Tahun 1999: melarang perbuatan yang menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme, marxisme, leninisme dalam segala bentuknya.
Dengan demikian, secara yuridis maupun moral, negara berkewajiban menjaga memori kolektif bangsa agar peristiwa tragis seperti Sumur Soco tidak terhapus atau diputarbalikkan.
Kajian Empiris: Ideologi vs Kemanusiaan
Kajian empiris menunjukkan bahwa korban utama kekejaman PKI selalu berasal dari lapisan masyarakat religius dan nasionalis. Ulama, kiai, santri, hingga tokoh pemerintahan daerah menjadi sasaran. Ini membuktikan bahwa PKI tidak sekadar gerakan politik, tetapi juga gerakan anti-nilai, anti-agama, dan anti-bangsa.
Di Sumur Soco, 200 ulama dan santri dikubur hidup-hidup. Peristiwa ini menjadi bukti empiris bahwa ideologi PKI mampu merusak perikemanusiaan seseorang, hingga tega melakukan tindakan yang bahkan tak dilakukan oleh hewan buas. Hewan membunuh untuk bertahan hidup, tetapi manusia yang terindoktrinasi ideologi komunis membunuh demi ambisi ideologi.
Penutup: Peringatan Abadi untuk Bangsa
Hari ini, Monumen Sumur Soco berdiri bukan hanya sebagai situs sejarah, tetapi juga sebagai prasasti peringatan abadi. Bangsa Indonesia harus mengambil pelajaran bahwa ideologi yang menafikan Tuhan dan menyingkirkan kemanusiaan hanya akan melahirkan kehancuran.
Memperingati tragedi ini bukanlah membuka luka lama, melainkan membangun benteng kesadaran nasional: bahwa Pancasila, dengan dasar Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Demokrasi, dan Keadilan Sosial, adalah satu-satunya jalan yang menjaga bangsa ini tetap bermartabat.
Sumur Soco adalah saksi bisu, sekaligus alarm sejarah yang terus berdetak: “Jangan pernah biarkan PKI dan ideologi komunisme hidup kembali di bumi Indonesia.”
Laksma TNI (Purn) Jaya Darmawan, M.Tr.Opsla Pemerhati kebangsaan