PIDATO Presiden Prabowo Subianto pada Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-80 di New York, 23 September 2025, mencerminkan reposisi Indonesia dalam diplomasi global. Indonesia menegaskan komitmen pada multilateralisme, keadilan internasional, serta solidaritas kemanusiaan, khususnya terkait isu Palestina, perubahan iklim, dan reformasi tata kelola global.
Dalam forum ini, Presiden Prabowo menekankan pengalaman historis Indonesia sebagai bangsa terjajah sekaligus mitra aktif PBB sejak awal kemerdekaan. Rencana konkret Indonesia meliputi kesiapan mengirim 20.000 pasukan penjaga perdamaian, kontribusi finansial, penyediaan pangan global, serta target menuju net zero emission sebelum 2060. Pidato ini bukan sekadar simbolis, melainkan peta jalan diplomasi Indonesia menuju peran lebih besar dalam tata dunia yang adil, damai, dan berkelanjutan.
Pendahuluan
Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-80 di New York, Amerika Serikat, yang berlangsung pada 23 September 2025, menjadi momentum penting bagi diplomasi Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto. Indonesia menempati urutan ketiga dalam daftar penyampaian pidato setelah Presiden Brasil dan Presiden Amerika Serikat, menandai posisi yang strategis dalam forum internasional. Kehadiran ini bukan hanya seremonial, melainkan wujud artikulasi kepentingan nasional Indonesia di tengah tantangan global yang semakin kompleks. Presiden Prabowo membawa narasi historis Indonesia sebagai bangsa yang pernah hidup dalam kolonialisme, namun kini berdiri sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, sekaligus kekuatan menengah yang memainkan peran penting dalam percaturan geopolitik.
Penting dicatat bahwa perjalanan diplomasi Indonesia selalu terkait erat dengan sejarah berdirinya PBB. Pada 28 September 1950, Indonesia resmi diterima sebagai anggota ke-60 PBB setelah perjuangan panjang memperoleh pengakuan internasional. Bantuan lembaga-lembaga PBB seperti UNICEF, FAO, dan WHO sangat berperan dalam pembangunan awal Indonesia. Warisan ini membentuk basis bagi komitmen Indonesia untuk terus mendukung multilateralisme, termasuk dalam konteks pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Dengan demikian, pidato Presiden Prabowo dapat dipahami sebagai kelanjutan dari tradisi diplomasi Indonesia yang konsisten berpihak pada solidaritas kemanusiaan, kedaulatan negara berkembang, dan keadilan internasional.
Analisis Masalah
Dalam pidatonya, Presiden Prabowo mengangkat berbagai problem global yang mencerminkan krisis multilateralisme. Pertama, isu Palestina kembali ditegaskan sebagai luka kolektif umat manusia. Penolakan terhadap keadilan dan legitimasi bagi Palestina dinilai sebagai kontradiksi mendasar dengan prinsip-prinsip Piagam PBB. Indonesia menegaskan bahwa diam di hadapan penderitaan rakyat Palestina hanya akan memperdalam krisis legitimasi PBB.
Kedua, masalah ketidakadilan global diperkuat dengan kutipan dari Thucydides, bahwa “yang kuat melakukan apa yang mereka bisa, sementara yang lemah menderita apa yang mereka harus.” Doktrin ini dianggap berbahaya dan bertentangan dengan raison d’être PBB. Presiden Prabowo menekankan bahwa kekuatan tidak dapat menjadi dasar hukum internasional; sebaliknya, kebenaran dan keadilanlah yang seharusnya menjadi dasar tatanan dunia.
Ketiga, perubahan iklim disorot melalui pengalaman langsung Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Presiden Prabowo menyampaikan fakta kenaikan permukaan laut di pesisir utara Jakarta yang mencapai 5 cm per tahun, sehingga memaksa pemerintah membangun tanggul laut raksasa sepanjang 480 km dalam waktu 20 tahun ke depan. Pernyataan ini bukan sekadar retorika, melainkan bukti empiris bahwa Indonesia berada di garis depan dampak krisis iklim global.
Masalah lain yang turut diangkat adalah ketidakpastian pangan, energi, dan air. Meski demikian, Indonesia justru memposisikan diri sebagai negara surplus pangan dengan mencatat produksi beras tertinggi dalam sejarah pada tahun 2025, sehingga mampu mengekspor ke negara lain, termasuk memberikan bantuan kepada Palestina. Data ini menunjukkan bahwa Indonesia tidak hanya menyuarakan masalah, tetapi juga menawarkan solusi berbasis pengalaman domestik.
Solusi
Presiden Prabowo tidak hanya memaparkan masalah global, tetapi juga menawarkan solusi konkret. Pertama, terkait perdamaian dan keamanan internasional, Indonesia menegaskan komitmennya sebagai salah satu kontributor terbesar pasukan penjaga perdamaian PBB. Presiden bahkan menyatakan kesiapan untuk mengirim hingga 20.000 personel ke wilayah konflik seperti Gaza, Ukraina, Sudan, dan Libya, jika dimandatkan oleh Dewan Keamanan dan Majelis Umum PBB. Pernyataan ini menegaskan bahwa Indonesia siap memikul tanggung jawab kolektif, tidak sebatas retorika diplomatik.
Kedua, di bidang pangan, Indonesia memosisikan diri sebagai calon lumbung pangan dunia. Dengan produksi beras yang mencapai titik tertinggi, Indonesia berupaya membangun rantai pasok yang tangguh melalui pertanian cerdas iklim (climate-smart agriculture). Hal ini diharapkan tidak hanya menjamin ketahanan pangan domestik, tetapi juga berkontribusi pada stabilitas global.
Ketiga, dalam isu perubahan iklim, Presiden Prabowo menyatakan komitmen Indonesia untuk mencapai net zero emission paling lambat tahun 2060, bahkan lebih awal. Program reforestasi 12 juta hektare lahan terdegradasi serta pergeseran dari energi fosil ke energi terbarukan menjadi strategi utama. Mulai tahun depan, tambahan kapasitas listrik Indonesia sebagian besar akan berasal dari sumber energi terbarukan.
Keempat, terkait tatanan dunia yang adil, Indonesia kembali menegaskan dukungannya pada solusi dua negara (two-state solution) dalam konflik Israel-Palestina. Menurut Presiden Prabowo, hanya dengan keberadaan negara Palestina yang merdeka dan jaminan keamanan bagi Israel, perdamaian sejati dapat terwujud. Ini merupakan solusi jangka panjang yang berpijak pada realitas geopolitik dan sejarah peradaban.
Aksi
Implementasi dari solusi yang ditawarkan menuntut langkah aksi yang jelas. Pertama, di ranah diplomasi multilateral, Indonesia perlu memperkuat koalisi dengan negara-negara berkembang dan anggota G77 untuk mendorong reformasi PBB, khususnya reformasi Dewan Keamanan yang selama ini dianggap tidak representatif. Dengan dukungan 42 negara pada isu Palestina, Indonesia memiliki basis legitimasi yang kuat
untuk memainkan peran sebagai mediator dan katalisator konsensus global.
Kedua, di sektor keamanan internasional, kesiapan mengirim 20.000 pasukan perdamaian memerlukan rencana operasional yang terukur. Hal ini termasuk koordinasi dengan TNI, Kementerian Pertahanan, serta Kementerian Luar Negeri untuk memastikan kesiapan logistik, finansial, dan hukum. Indonesia dapat memanfaatkan pengalaman sebelumnya dalam misi UNIFIL di Lebanon dan MINUSCA di Republik Afrika Tengah sebagai referensi operasional.
Ketiga, dalam isu pangan, langkah konkret berupa ekspor beras ke negara-negara terdampak konflik perlu diinstitusionalisasikan melalui mekanisme kerja sama Selatan-Selatan (South-South Cooperation). Dengan demikian, diplomasi pangan Indonesia tidak hanya bersifat ad hoc, tetapi juga berkelanjutan sebagai instrumen soft power.
Keempat, terkait perubahan iklim, pembangunan tanggul laut raksasa sepanjang 480 km harus diposisikan sebagai proyek global, bukan hanya domestik. Kerja sama dengan lembaga internasional seperti Green Climate Fund dan Bank Dunia dapat menjadi instrumen pembiayaan. Dengan begitu, Indonesia dapat menunjukkan kepemimpinan dalam aksi iklim yang berbasis solusi nyata, bukan slogan.
Penutup
Pidato Presiden Prabowo di Sidang Majelis Umum PBB ke-80 dapat dibaca sebagai reposisi strategis Indonesia di panggung internasional. Dari perspektif historis, Indonesia menegaskan kembali identitasnya sebagai bangsa yang lahir dari penderitaan kolonialisme, namun kini siap berkontribusi aktif bagi perdamaian dan keadilan global. Dari perspektif geopolitik, Indonesia berusaha mengokohkan diri sebagai kekuatan menengah dengan kapasitas hard power melalui kontribusi pasukan perdamaian, sekaligus soft power melalui diplomasi pangan dan komitmen iklim.
Pidato ini juga menunjukkan sintesis antara visi moral dan strategi praktis. Di satu sisi, Prabowo menegaskan prinsip universal tentang kesetaraan manusia dan hak asasi; di sisi lain, ia menghadirkan rencana konkret seperti ekspor beras, pembangunan tanggul laut, reforestasi 12 juta hektare, dan kesiapan mengirim pasukan perdamaian. Dengan demikian, pidato ini tidak hanya bersifat retoris, tetapi juga performatif, yaitu mengikat Indonesia dalam komitmen nyata yang dapat diverifikasi oleh komunitas internasional.
Ke depan, tantangan terbesar terletak pada konsistensi implementasi di tingkat domestik maupun internasional. Apakah Indonesia mampu merealisasikan target net zero emission lebih awal dari 2060? Apakah Indonesia mampu mengirim 20.000 pasukan perdamaian dengan kesiapan penuh? Apakah diplomasi pangan dapat diinstitusionalisasi sebagai instrumen politik luar negeri? Pertanyaan-pertanyaan ini akan menjadi tolok ukur kredibilitas Indonesia di mata dunia.
Dr. Surya Wiranto, SH MH
Penulis adalah purnawirawan Laksamana Muda TNI Angkatan Laut, Penasihat Indo-Pacific Strategic Intelligence (ISI), Anggota Senior Advisory Group IKAHAN Indonesia?"Australia, Dosen Program Pascasarjana Keamanan Maritim Universitas Pertahanan Indonesia, Ketua Departemen Kejuangan PEPABRI, Anggota FOKO, Sekretaris Jenderal IKAL Strategic Centre (ISC) dan Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Maritim Indonesia (IIMS). Beliau juga aktif sebagai Pengacara, Kurator, dan Mediator di firma hukum Legal Jangkar Indonesia